Pages - Menu

Saturday, July 16, 2016

#Refleksi

Suatu ketika seorang anak muda memiliki ambisi yang luar biasa untuk bangsanya : "Saya ingin menjadi memajukan Indonesia. Negara ini sudah sekian lama dikuasai orang-orang yang pro-kemandekan, tidak pro-masa depan. Ini darurat, saya merasa terpanggil".

Anak muda ini pun semangat ketika membicaran masalah kebangsaan. Ia seringkali menyalahkan para birokrat negara yang menurutnya tidak tahu menahu bagaimana mengatur negara. "Dasar menteri ini goblok, tidak bisa apa-apa, coba saya yang mimpin. Akan ada perubahan yang signifikan di kementerian itu", ungkap pemuda itu suatu saat.

Pemuda ini terasa angker bagi sebagaian besar temannya. "Bawaannya kritik melulu anak ini, bosan saya", ungkap salah satu temannya. Ini membuat pemuda ini kemudian terasing, Ia bergabung dengan sesama orang terasing yang membicarakan masalah-masalah sosial-kemasyarakatan dan sering menyalahkan orang-orang yang tidak satu pandangan. Tak jarang juga, ia bersama teman-teman se-gank-nya sinis terhadap para pemuda kebanyakan. "Pemuda itu bodoh sekali, bisanya gitu doang. Padahal dia kan lulusan kampus ternama. Masak gini aja tidak bisa. Dasar robot-robot industri !", celoteh dia suatu saat.

Keterasingan itu berlanjut menjadi keterasingan yang hakiki. Ia pada akhirnya menganggap teman sesama gank-nya juga asing. Ia pun akhirnya sendiri. Fikirannya pun diolah secara sendiri. Ia enggan bertemu dengan orang-orang. Sampai akhirnya, Ia pun asing dengan dirinya sendiri. Ia tak kenal dengan siapa dirinya. Terkadang, Ia menyentuh-nyentuh dinding. "Ini alam nyata atau imajiner ?", tanyannnya suatu saat. Ia bangga ketika agak menyerupai tindakan John Nash yang menginap schizophrenia itu. "Biar sakit kayak gini tapi mirip John Nash, pintar !", lamunnya di suatu sore. Ia sukar bergaul dengan sesama orang. Ia pun meragui ajaran agama yang dipeluknya. Pemuda ini kehilangan pegangan. 

Di tengah kesendiriannya, Ia mencoba refleksi terkait kondisinya hari ini. Di pagi setelah subuh, Ia berjalan mengitari jalanan desa yang panjang dengan sawah-sawah masih terlihat hijau. Ia melihat buruh-buruh tani pergi ke sawah dengan mengendarai sepeda "onta"nya, juga burung "kuntul" yang berkerumun dan terbang rendah. Ia juga menyaksikan sekumpulan warga desa sarapan di sebuah warung kecil dari bambu. Di hari berikutnya anak muda ini kembali jalan dan melihat pemandangan serupa seperti hari lalu. Ia pun kemudian merenung, "Apakah dengan adanya keterbatasan materi yang membuat orang-orang itu menikmati kehidupan ?", "Apakah pasrah pada nasib adalah kunci kebahagiaan ?". Pertanyaan-pertanyaan itu memutari kepalanya sampai seratus kali. Ia kemudian berkaca pada dirinya hari ini, "Saya orang terdidik, berkecukupan secara materi, masih muda, mengapa seringkali saya stres ?". Pertanyaan-pertanyaan dengan redaksi lain bermunculan biarpun intinya tidak berbeda. Di hari berikutnya sampai tujuh hari setelahnya, muncul 1001 pertanyaan refleksi yang membuat Ia sampai pada satu kesimpulan, "Hidup itu sejatinya apa dan untuk apa ?".

Suatu saat, di sebuah surau ada seorang nenek yang di pagi gelap telah bersiap untuk sembahyang subuh. Wajahnya gelap dan giginya mengerikan, namun senyumnya renyah. Ia dengan rela menunggu iqomah yang setelah 20 menit pasca azan tidak kunjung datang. Ia ambil salat sunnah 2 rokaat sebelum salat fardlu, ditambah dengan zikir dan kalimat-kalimat thoyyibah komat-kamit dari bibirnya.

Tiba saatnya sang dai muda masuk surau dan sembahyang berjamaah diadakan.

Salat subuh kemudian diadakan dengan dai muda sebagai imamnya. Dengan nada syahdu, imam membaca ayat-ayat suci yang membuat bulu-kuduk anak muda ini merinding. "Assalamualaikum warohmatulloh", "Assalamualaikum warohmatulloh", salat dua rakaat ini diakhiri. Jamaah pun berdzikir, dan dengan disuasana yang hening dai muda membuka dengan kultum subuh, "Assalammualaikum warohmatullohi wabarokaatuh".

bersambung ...

No comments:

Post a Comment