Setelah kemarin saya ceritakan petikan ide dari Pak
Budi Rahardjo, kini saya akan sampaikan petikan yang lain. Kan kemarin saya
tulis beberapa petikan ? Betul, dua petikan kan bisa dikatakan beberapa petikan
kan ? Hi hi hi. Oke, pada tulisan kali ini saya akan ceritakan terkait
bagaimana konsepsi entrepreneurial university
versi pelaku entrepreneurship yaitu
Pak Budi sendiri. Saya dulu pernah sih menulis terkait konsep ini di opini saya
yang formal, namun malas ah pake referensi-referensi buku kayak gitu. Mengapa ?
karena subjek penelitian di buku yang saya baca itu Barat, beda pisan ama ITB. Hehe
Pak Budi ini unik, beliau bukannya sering bicara
bahwa menjadi startup itu asik dan bla bla bla, namun beliau ini justru
ceritakan panjang lebar tentang kendala yang dihadapi seorang startup. Itupun
ditambah dengan “Bisa jadi yang akan Anda
rasakan beda dengan yang saya rasakan”. Nah ini kan menegangkan juga
menakutkan betul. Ya, Pak Budi pengen ceritakan apa adanya, tidak
melebih-lebihkan bahwa profesi bisnis startup ini lebih mulia dan berkasta lebih
tinggi dibandingkan yang lain. Tidak kayak gitu. Jika diperas lagi, beliau
pengen ceritakan betul bahwa entrepreneurship
adalah mental. Tidak ada rumus khusus untuk mempelajarinya (jadi inget Artificial Intelligence yang katanya
rumusnya tidak sesaklek kriptografi, hehe).
Oke kembali ke topik pembahasan. Pak Aca (nama
panggilan rektor kita semua, Pak Kadarsah Suryadi), di proses kampanye menjelang
Pemilihan Rektor beberapa waktu lalu mengenalkan konsep Entrepreneurial University. Intinya sih gini, ITB ingin mencetak
buanyuaaaaakkkkk sekali pengusaha muda. Nah, tapi kumaha ieu ? Ini yang sulit
kita saksikan hari ini hasilnya. Padahal Pak Aca kan udah hampir 2 tahun
menjadi rektor (cek ya barangkali saya salah). Lantas Pak Aca kita salahkan
begitu saya ? Jangan buru-buru gitu, saya bukan Jonru/tipikal pengamat politik.
Intinya ITB itu kompleks bahkan lebih kompleks dari bilangan kompleks. Di
dalamnya banyak sekali orang-orang dengan keminatan yang bueesar di bidang
tertentu. Saya pernah menemukan dosen saya baru pulang pagi hari dari
kantornya, ini kan jelas bahwa beliau ini tidur di kantornya. Nah, ini satu
indikasi bahwa orang-orang ITB umumnya punya determinasi yang tinggi di bidang
keilmuan.
Kembali ke topik pembahasan (2). Banyak pelaku bisnis
yang juga akademisi (saya ambil sampel dosen tesis dan Pak Budi doang, heu)
yang katakan bahwa setiap kita mendengar ungkapan Entrepreneurial University pasti langsung menyebut Stanford
University. Betul, kampus inilah yang berada dibalik berdirinya Silicon Valley,
yang melahirkan aneka bisnis di bidang IT seperti Google dan Facebook itu.
Konon iklim berbisnis startup di sangat di dorong. Sebagai contoh di sana ada
data terkait berapa banyak alumni Stanford yang berkiprah di dunia bisnis (di
ITB kan ada tracer study, iya sih
tapi masih g sedetail mereka). Iklim yang lebih riil di kampus itu saya belum tahu.
Mungkin akan dibahas di lain kesempatan (underline
kata ‘mungkin’ ya). Nah, kembali ke ITB. Niat Pak Aca sih baik dan saya yakin
beliau mengenal konsep entrepreneurship
yang cukup dari jurusannya di Teknik Industri (secara beliau professor di
sana). Namun, konsep ini tidak ujug-ujug
bisa terlaksana dengan hadirnya Pak Aca dengan idenya tentang Entrepreneurial University. Konsep ini
jika akan dilaksanakan kompleks sekali. Sistem pendidikan ITB, pola pengajaran,
aturan-aturan akademik, dan suasana di kampus ini harus sama sekali berbeda
dengan pola-pola sebelumnya. Itu harusnya, realitanya ? ITB tidak banyak
berubah. Periode Pak Aca dengan sebelumnya (Pak Loka) sulit bagi kita temukan
perbedaannya secara signifikan. Yang ketara dari ITB sekarang ya dorongan kepada
dosen-dosen ITB untuk publikasi paper. Nah, inikan sama saja dengan university pada umumnya. Ya, kita masih
universitas yang fokusnya ngajar di kelas. Kata Pak Budi, “Jadi
ini sebenarnya secara kenyataan teaching university. Jadi akui aja teaching
university.”
Lantas apa yang perlu dilakukan ITB ? Pendapat saya
tanggalkan konsep Entrepreneurial University
yang masih imajinatif ini. Kita fokus pada rakyat ITB (dosen dan mahasiswa,
karyawan gimana ? Itu beda konteks yak). Kita kan sama-sama tahu bahwa ITB itu
kumpulan orang-orang yang bergairah dan berhasrat menjadi orang top di bidang
tertentu. Nggak cuma dosen saja, mahasiswa juga (mudah kita dapati mahasiswa S1
yang balapan IPK-nya, hehe). Nah itu bagaimana mereka semua itu difasilitasi
dan diklaim sebagai bagian dari keunggulan ITB. ITB kudunya tidak membiarkan
mereka hidup dengan dunia mereka sendiri, tapi diemong. Sebagai contohnya Pak
Budi. Beliau aktif mementor mahasiswa di bidang startup dan juga memiliki
beberapa perusahaan di bidang IT. ITB dapat mengklaim kegiatan Pak Budi ini
sebagai bagian dari program kerja ITB mendorong mahasiswanya untuk
berwirausaha. Nanti ITB bisa gembar-gembor ke publik bahwa ITB berjasa untuk
menciptakan pengusaha-pengusaha Indonesia. Pak Budi mengakui sendiri sangat
boleh ITB melakukan ini justru beliau pengen ITB bersikap demikian. Ini cara
Stanford bisa dicontoh (ITB kan kiblatnya MIT ? Iya gitu, he he).
Langkah kedua adalah ITB membebaskan dan men-support betul mahasiswa untuk
berwirausaha selama studi. Pak Budi bercerita bahwa di kampus Luar Negeri sana
(Stanford dan Berkeley) mahasiswa diizinkan cuti selama satu semester untuk
fokus dalam kegiatan bisnis startup. Masa cuti ini tidak dimasukkan dalam masa
studi normal. Sebelum cuti, mahasiswa ini harus menghadap tim reviewer dari kampus untuk ditanyai kelayakan
bisnisnya. Jika oke, go !, jika tidak, Balik studi ya !. Nah, dalam prosesnya selama satu semester sang
mahasiswa ini gagal, dan dia pengen balik ke kampus, kampus mengizinkan, tidak
di-DO. Selain dua langkah ini, langkah lain adalah kampus kudu dinamis dengan
pola/ritme kerja yang sama-sekali berbeda baik dari pimpinan kampus, dosen,
mahasiswa, karyawan, dan lain sebagainya. Dinamisasi ini di-support betul. Sebagai contoh adalah
ditiadakannya jam malam. ITB terbuka 24 jam bagi segenap civitas akademika yang
ingin beraktivitas di dalamnya. Tidak kayak sekarang, jam 23.00 WIB mahasiswa
yang nongkrong di unit diusir begitu saja. ITB mendorong kreativitas mahasiwa
dengan diberikan kemudahan izin beraktivitas, akses pada stakeholders, dan sebagainya. Keluarannya tidak dengan menang di
berbagai perlombaan bisnis lo, tapi alumni-alumni ITB siap berbisnis khususnya
di bidang keilmuan yang digelutinya.
Oke itu aja dulu yak, ditunggu komentar-komentarnya.
Semoga kita tetap semangat J
![]() |
Pak Budi Rahardjo (2) |
No comments:
Post a Comment