Dosen usia 40-an di kampus saya menceritakan pengalaman mendaftar sebagai dosen kepada saya, "Dulu zaman saya orang ditarik-tarik untuk menjadi dosen. Peminat dosen sepi sekali, hanya orang-orang yang benar-benar mengabdi dan tidak mata duitan", ungkap sang dosen. Benar sekali dulu profesi dosen bukanlah profesi yang ramai pelamar. Ia masih kalah jauh dengan profesi insinyur dan dokter. Di zaman tersebut, jadi dosen itu mudah bahkan di kampus besar pun. "Saya yang IPK-nya pas-pasan aja dikejar-kejar untuk jadi dosen", tambah sang dosen.
Kini, zaman berubah dimana profesi dosen diperebutkan banyak pihak. Bahkan ada jurusan di kampus besar yang harus waiting list menjadi dosen, padahal gajinya tidak seberapa. Teman saya bercerita bahwa Ia hanya digaji 1.8 juta per bulan di sebuah kampus negeri di Bengkulu, padahal Ia haruslah mengajar 60 mahasiswa dan beban SKS yang bisa dikatakan tidak sedikit. Juga selain itu, Ia mengatakan bahwa gaji per SKS di suatu kampus swasta di Bengkulu hanya Rp. 12.500,00, padahal sang dosen harus menempuh perjalanan berjam-jam ke kampus tersebut menelusuri hutan dari tempat tinggalnya. Teman lain saya bercerita bahwa rekan kerjanya di sebuah sekolah tinggi kedinasan di Bandung dengan mudah naik menjadi lektor kepala, padahal Ia tidak penuhi persyaratan fundamental seperti publikasi paper. Bahkan ada dosen senior yang tak juga pensiun karena merekayasa aturan kampus sehingga Ia tetap diberikan waktu untuk mengajar.
Saya juga kaget ketika dikatakan bahwa masa pensiun dosen berstatus lektor kepala sampai usia 65 tahun, sementara dosen berstatus guru besar pada usia 70 tahun, dan guru besar emiretus sampai usia 75 tahun. Padahal banyak sekali para guru besar yang tidak produktif meriset sama sekali. Ini kan konyol. Banyak sekali yang mengganggap jabatan profesor adalah profesi puncak dari karir seorang dosen. Di sini banyak sekali profesor yang mencari ketenaran untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Para profesor jebolan universitas ternama memegang lembaga kampus dan memanfaatkannya untuk menjadikannya tenar, syukur-syukur nanti masuk bursa calon menteri. Di sini profesor kehilangan marwah, posisi profesor tidak dijadikannya semakin rajin datang ke kampus bercengkerama dengan para kolega dosen yang lebih junior dan mahasiswa, melainkan bahkan sering menghilang dari kampus. Alasannya macam-macam mulai dari proyek, bertemu birokrat Pemerintah, pengabdian masyarakat, dan lainnya. Bukannya keilmuan yang dikembangkan, melainkan hanya berburu tanda-tangan sebagai pertanda ia dikenal dan terkenal.
Sejak zaman SBY, sertifikasi dosen menjadi penghasilan tambahan. Dosen yang telah memperoleh sertifikasi segera mencicil mobil dan mendaftar haji. Memang tidak semua namun saya kira ada. Sertifikasi dan juga gaji lainnya berkorelasi dengan jabatan sang dosen apakah Ia lektor, lektor kepala, atau guru besar. Atas dasar inilah, banyak sekali dosen yang ingin segera naik tingkat dengan mengakali syarat-syarat yang telah ditetapkan kementerian terkait. Paper dibuat abal-abal, bahkan di kampus-kampus kecil diplagiat betul. Di sini politik yang bermain, siapa yang dekat dengan atasan (baca kolega yang punya posisi strategis seperti di pimpinan rektorat, senat, dekanat, dan seterusnya) semakin mudah mendapatkan posisi yang diinginkan. Terkadang karena kondisi hal ini, perseteruan antardosen terjadi, terjadi kubu-kubu di antara dosen-dosen. Wajar aja jika kampus tak lebih sekedar balai pelatihan yang cuma mengajar (teaching) saja, tidak mengembangkan keilmuan, dosen-dosennya sibuk mengurusi naik pangkat !.
Sistem perekrutan dosen juga banyak sekali atas dasar kedekatan, tidak karena benar ia menguasai betul keilmuan yang digeluti (qualified). Nampaknya memang betul kampus telah menjadi komoditas dimana kampus sebagai supplier sementara mahasiswa sebagai demand. Logika dagang bermain, bagaimana kampus merekrut sebanyak mungkin mahasiswa biarpun ruangannnya tak lagi mencukupi, yang penting jurusan laku dan bisa memwisuda banyak mahasiswa dengan rerata IPK yang tinggi.
"Jika saya diterima, saya akan bekerja 4 jam per hari dan akan masuk di hari kerja senin-jumat tanpa dibayar", kata seorang lulusan S2 dari kampus ternama di Bandung yang akan melamar pekerjaan dosen di almamaternya tersebut.
1 komentar:
"Jika saya diterima, saya akan bekerja 4 jam per hari dan akan masuk di hari kerja senin-jumat tanpa dibayar"
Kerja bakti?
Post a Comment