Sunday, June 19, 2016

Koperasi Para Pedagang Buku

Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan Kang Deni dari Lawang Buku terkait perkembangan keilmuan di kampus dan selanjutnya mengerucut pada persoalan rendahnya apresiasi masyarakat pada buku. Fakta ini sudah menjadi pengetahuan umum jika memang budaya literasi di Indonesia rendah. Berbeda halnya dengan masyarakat Eropa pasca renaissance dimana di sana dunia literasi dihargai tinggi. Penghargaan ini sangat lumrah karena pengetahuan termasuk di dalamnya sains adalah bagian dari budaya mereka. Jika di Indonesia sains dan pengetahuan modern lain hanya dinikmati mereka yang merasakan bangku kuliah, di Eropa orang-orang kampung pun membicarakan hal itu di warung-warung kopi.

Dalam kesempatan tersebut, saya juga mengangkat perkembangan teknologi yang sangat masif di beberapa tahun ke depan. Zaman sekarang kita mengenal teknologi informasi, di beberapa masa ke depan dunia akan bergegas ke mesin pintar yang didasarkan pada intelegensia buatan (Artificial Intelligence). Dalam konteks ilmu kesisteman dan matematika, akan berkembang sistem kuantum dalam perhitungan numerik sebuah komputer. Dunia sedang bergegas ke quantum algorithm yang jelas sangat kompleks namun punya nilai efisiensi yang sangat tinggi. Kondisi demikian akan menuntut perubahan dalam segala sisi kehidupan manusia, mulai dari pola hidup, pola makan, pola life style, dan pola yang lain.

Perkembangan dunia yang sangat masif ini tidak mendorong bangsa ini untuk sekedar melek dan bergegas melakukan aksi. Menristek bisanya hanya menindak Perguruan Tinggi yang keluarkan ijazah palsu, sementara mahasiswa di kampus ternama hanya bisa membuat robot yang digunakan hanya di lomba-lomba saja. Kondisi ini jelas paradoks, namun itu tak lantas membuat kita orang yang bisa mengendus perubahan hanya diam saja. Biarpun kegiatan dalam ranah pengetahuan/intelektual tidak banyak diapresiasi, namun semangat menumbuhkan knowledge society tidak akan pernah padam. Satu diantara para pengendus perubahan adalah para pegiat buku.

Pegiat buku saya definisikan sebagai seorang/sekelompok orang yang menggunakan buku sebagai alat untuk mereproduksi pengetahuan. Mereka terdiri dari para pedagang ‘ideologis’ buku, akademikus pengembang ilmu, periset berbagai cabang keilmuan, komunitas yang memiliki ciri khas intelektual, media massa ‘ideologis’ pro-pengetahuan, birokrat, pebisnis, dan professional lain yang memiliki ambisi kembangkan pengetahuan. Karena cakupannya luas, dalam tulisan ini saya akan batasi di pedagang buku.

Saya melihat bahwa tak banyak pedagang buku skala UMKM kaya secara material. Umumnya mereka berpenghasilan pas-pasan bahkan sangat kecil. Ini tak lain karena permintaan (demand) akan buku kecil juga. Jauh sebelum buku sampai pada tangan pedagang, buku dikreasi oleh penulis dan penerbit dan ironinya dua entitas ini juga sama-sama kurang dihargai. Banyak penerbit yang dulu pernah berjaya, empot-empotan sekarang. Mungkin hanya Gramedia yang bisa dikatagorikan sebagai penerbit buku besar. Dari sini kita melihat bahwa siklus buku mulai dari ranah gagasan (penulis), kreasi (penerbit), distributor, pedagang, dan pembaca buku berjalan secara diskret. Artinya tiada sistem yang rigid dari fenomena ini. Atas dasar inilah, koperasi buku diadakan.

Salah satu entitas anggota koperasi ini adalah para pedagang buku. Sementara sistem yang dijalankan dalam koperasi ini berorientasi pada kesejahteraan para anggotanya. Selain berfungsi sebagai simpan-pinjam, koperasi ini dapat membuat penerbit buku secara mandiri yang mewadahi aktivitas berdagang para anggota. Selain itu juga dapat berkoneksi dengan ‘sumber buku’ seperti para penerbit dan juga entitas pegiat buku yang lain. Inti dasar dari koperasi ini adalah untuk dapat mensejahterakan pedagang buku. Ide ini memang masih sulit dijalankan di masa sekarang melihat banyak pedagang buku yang pragmatis, namun saya kira ada harapan di masa mendatang. 

0 komentar: