Beberapa
waktu lalu saya berdiskusi dengan Kang Deni dari Lawang Buku terkait
perkembangan keilmuan di kampus dan selanjutnya mengerucut pada persoalan
rendahnya apresiasi masyarakat pada buku. Fakta ini sudah menjadi pengetahuan
umum jika memang budaya literasi di Indonesia rendah. Berbeda halnya dengan
masyarakat Eropa pasca renaissance
dimana di sana dunia literasi dihargai tinggi. Penghargaan ini sangat lumrah
karena pengetahuan termasuk di dalamnya sains adalah bagian dari budaya mereka.
Jika di Indonesia sains dan pengetahuan modern lain hanya dinikmati mereka yang
merasakan bangku kuliah, di Eropa orang-orang kampung pun membicarakan hal itu
di warung-warung kopi.
Dalam
kesempatan tersebut, saya juga mengangkat perkembangan teknologi yang sangat
masif di beberapa tahun ke depan. Zaman sekarang kita mengenal teknologi
informasi, di beberapa masa ke depan dunia akan bergegas ke mesin pintar yang
didasarkan pada intelegensia buatan (Artificial
Intelligence). Dalam konteks ilmu kesisteman dan matematika, akan
berkembang sistem kuantum dalam perhitungan numerik sebuah komputer. Dunia
sedang bergegas ke quantum algorithm
yang jelas sangat kompleks namun punya nilai efisiensi yang sangat tinggi.
Kondisi demikian akan menuntut perubahan dalam segala sisi kehidupan manusia,
mulai dari pola hidup, pola makan, pola life style, dan pola yang lain.
Perkembangan
dunia yang sangat masif ini tidak mendorong bangsa ini untuk sekedar melek dan
bergegas melakukan aksi. Menristek bisanya hanya menindak Perguruan Tinggi yang
keluarkan ijazah palsu, sementara mahasiswa di kampus ternama hanya bisa
membuat robot yang digunakan hanya di lomba-lomba saja. Kondisi ini jelas paradoks,
namun itu tak lantas membuat kita orang yang bisa mengendus perubahan hanya
diam saja. Biarpun kegiatan dalam ranah pengetahuan/intelektual tidak banyak
diapresiasi, namun semangat menumbuhkan knowledge
society tidak akan pernah padam. Satu diantara para pengendus perubahan
adalah para pegiat buku.
Pegiat
buku saya definisikan sebagai seorang/sekelompok orang yang menggunakan buku
sebagai alat untuk mereproduksi pengetahuan. Mereka terdiri dari para pedagang ‘ideologis’
buku, akademikus pengembang ilmu, periset berbagai cabang keilmuan, komunitas
yang memiliki ciri khas intelektual, media massa ‘ideologis’ pro-pengetahuan,
birokrat, pebisnis, dan professional lain yang memiliki ambisi kembangkan
pengetahuan. Karena cakupannya luas, dalam tulisan ini saya akan batasi di
pedagang buku.
Saya
melihat bahwa tak banyak pedagang buku skala UMKM kaya secara material. Umumnya
mereka berpenghasilan pas-pasan bahkan sangat kecil. Ini tak lain karena
permintaan (demand) akan buku kecil
juga. Jauh sebelum buku sampai pada tangan pedagang, buku dikreasi oleh penulis
dan penerbit dan ironinya dua entitas ini juga sama-sama kurang dihargai.
Banyak penerbit yang dulu pernah berjaya, empot-empotan
sekarang. Mungkin hanya Gramedia yang bisa dikatagorikan sebagai penerbit buku
besar. Dari sini kita melihat bahwa siklus buku mulai dari ranah gagasan
(penulis), kreasi (penerbit), distributor, pedagang, dan pembaca buku berjalan
secara diskret. Artinya tiada sistem yang rigid dari fenomena ini. Atas dasar
inilah, koperasi buku diadakan.
Salah
satu entitas anggota koperasi ini adalah para pedagang buku. Sementara sistem
yang dijalankan dalam koperasi ini berorientasi pada kesejahteraan para
anggotanya. Selain berfungsi sebagai simpan-pinjam, koperasi ini dapat membuat
penerbit buku secara mandiri yang mewadahi aktivitas berdagang para anggota.
Selain itu juga dapat berkoneksi dengan ‘sumber buku’ seperti para penerbit dan
juga entitas pegiat buku yang lain. Inti dasar dari koperasi ini adalah untuk
dapat mensejahterakan pedagang buku. Ide ini memang masih sulit dijalankan di
masa sekarang melihat banyak pedagang buku yang pragmatis, namun saya kira ada
harapan di masa mendatang.
No comments:
Post a Comment