Jumat
(15/7/2016) kemarin, Diskursus Salman kembali diadakan. Namun kali ini berbeda
dengan beberapa hari sebelumnya. Pertemuan kali ini membicarakan kelanjutan
akan kemana Diskursus Salman dibawa dan juga persoalan serta produk seperti apa
yang akan menjadi output dari diskusi pekanan. Suasana obrolan di ruang GSS D
Salman berlangsung cukup hangat. Di awali dengan paparan pendapat Alfathri,
Armahedi, Yasraf Amir Piliang, Acep Iwan Saidi, dan banyak peserta diskursus
yang lain. Saya juga sempat berpendapat untuk menimpali beberapa paparan dari
pembicara sebelumnya.
Sudah
sejak lama terjadi perdebatan apakah ada korelasi antara agama dan ipteks. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa agama (khususnya Islam) mengilhami para ilmuwan
masa kejayaan Islam menemukan aneka penemuan ilmiah yang berkontribusi terhadap
perkembangan saintek modern. Pendapat lain menyatakan bahwa perkembangan
saintek yang begitu maju seperti saat ini adalah karena menempatkan agama
terpisah dengan saintek modern. Pendapat terakhir ini mengemuka pasca
Renaisance yang terjadi di Eropa dimana di masa kegelapan (dark age) sebelumnya pihak gereja melakukan tindakan brutal
terhadap banyak ilmuwan yang berseberangan terhadap pendapat gereja.
Zaman
sekarang hampir dipastikan merujuk pada perkembangan saintek modern dari Barat
biarpun akhir-akhir ini banyak juga yang menyangkal saintek Barat itu sendiri
khususnya terkait korelasi negatif antara ipteks dan kesejahteraan manusia.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ipteks Barat telah mengubah peradaban dunia
yang cukup signifikan. Di zaman informasi seperti sekarang penggunaan teknologi
jelas tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Mengutip
pendapat Yasraf Amir Piliang kemarin, bahwa akan terasa ganjil jika definisi
budaya saat ini tidak menggunaan kata “teknologi”. Oleh karenanya kata beliau,
perlu adanya pendefinisian ulang terkait penjelasan manusia Indonesia dewasa
ini.
Korelasi
agama dan Ipteks juga antara agama dan budaya serta Ipteks dan Budaya menjadi
pembicaraan hangat banyak kalangan. Tak jarang terjadi pendapat yang justru
mengarah pada perdebatan yang tidak sehat alias debat kusir khsusunya di poin
pertama (agama dan ipteks). Titik temu antara dua kubu (agama mengilhami
saintek atau saintek terpisah dengan agama, dan seterusnya) hampir tidak pernah
terjadi. Saintek masihlah terpisah sangat jauh dalam kebudayaan manusia
Indonesia sehari-hari. Ia dipandang sebagai barang mewah yang letaknya hanya
berada di seputaran kampus. Berbeda halnya dengan agama Islam khususnya yang
telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat secara umum khususnya
pedesaan. Ini tak lain karena Islam terlah berakulturasi dengan budaya setempat
sejak masa yang sangat lama sebelum kolonial yang mengenalkan saintek kepada
pribumi.
Melek
Ipteks
Penguasaan
Ipteks sangat diperlukan bagi suatu masyarakat yang ingin berkembang. Tinggal
dipilih ipteks jenis apa yang memiliki dampak positif bagi masyarakat.
Penguasaan ipteks ini sendiri tak sekedar menggelontorkan dana sekian triliun
untuk riset namun yang lebih penting lagi bagaimana ipteks menjawab kebutuhan Negara.
Pengembangan Ipteks di Indonesia tak melulu seperti Barat, India, atau China
yang meriset perkembangan dunia angkasa luar dengan alat supercanggih. Ini
tidak berarti Indonesia menutup mata akan perkembangan Ipteks di luar sana.
Namun, bagaimana Ipteks menjadi semangat bersama segenap warga Indonesia. Hal
inilah yang lebih penting.
Indonesia
adalah negara dengan sebagian besar warganya adalah muslim. Maka dari sini
perlu dicarikan jalan keluar untuk menginternalkan pembahasan ipteks dalam
kajian-kajian agama. Bagaimana Ipteks
tak lagi sebagai lawan dari ajaran agama, namun justru perlu digalakkan
bagaimana Islam menjadi panduan moral perkembangan Ipteks. Termasuk juga
bagaimana pemanfaatan Ipteks mampu menjadikan kehidupan masyarakat lebih damai
dan harmoni. Saya sampai sekarang masih berkesimpulan bahwa Perkembangan Ipteks
tidak dihalang-halangi oleh ajaran agama, melainkan justru disempurnakan ke
hakikat ipteks itu sendiri.
No comments:
Post a Comment