![]() |
doc. google.com |
Abad 21 menuntut setiap individu memiliki keunikan tersendiri. Mampu
belajar hal baru adalah kompetensi yang tidak bisa ditawar jika ingin
berkompetisi secara global. Matematika mengajarkan itu. Ia berperan dalam menumbuhkan sikap percaya diri, gigih, mampu
mengevaluasi, dan membuat keputusan bagi insan yang mempelajarinya dengan
benar.
Hasil Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS)
2011 menunjukkan bahwa nilai rata-rata matematika siswa kelas VIII hanya 386 menempati urutan ke-38 dari 42 negara. Negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura berada di atas Indonesia.
Singapura bahkan di urutan kedua dengan nilai rata-rata 611 (Kompas, 2012). Indikator tersebut bisa
dijadikan rujukan bahwa ada ketidakberesan pengajaran matematika di sekolah
kita selama ini.
Metode Klasik vs Discovery Method
Proses belajar mengajar
matematika di kelas secara umum bersifat searah dan kaku. Murid masih diposisikan
sebagai objek sedang guru subjek yang serbatahu. Konsepsi matematika sekedar
diterangkan di depan kelas oleh guru kemudian murid mencatat. Guru kadangkala
memberikan latihan soal yang harus dikerjakan murid. Matematika menjelma
sebagai mata pelajaran yang menakutkan.
Metode Penemuan (discovery method) yang digagas oleh
George Polya (1969) penulis rasa sebagai metode yang tepat untuk mengajarkan
matematika di abad 21. Metode tersebut menuntut kreativitas murid dalam
menemukan suatu rumusan masalah dalam matematika. Murid menjadi subjek sedang
guru menjadi fasilitator.
Strategi Pembenahan
Metode diatas hanya dapat
direalisasikan oleh sekolah yang merdeka ; kreatif dan dinamis. Interferensi
pemerintah terhadap sekolah kecil. Pemerintah berposisi sebagai administrator alias penjaga rambu-rambu.
Ia membebaskan setiap sekolah untuk berkreasi, tidak seperti kurikulum 2013
yang terlihat dipaksakan.
*Essay 250 kata ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Teori Belajar Matematika
0 komentar:
Post a Comment