Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts
Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts

Sunday, October 07, 2018

Buku Perdana

Lebih dari setahun saya ngerjain buku ini, tepatnya sejak Mei 2017 dan baru kelar cetak perdana 21 September 2018. Artinya 1 tahun 4 bulan. Lama pisan ! Bukan perkara memakai data-data di tesis magister trus menyajikannya dalam bahasa populer, namun saya harus ambil data lagi. Soalnya di tesis data yang saya ambil terbatas pada 2000-2003 dan untuk buku sampai 2018. Maka di sini saya harus bolak-balik ke hangar UAVINDO Nusantara, perusahaan yang saya riset untuk wawancara dengan direktur perusahaan, karyawan, dan engineer-nya. Juga pastinya ambil gambar. Belum lagi ditambah saya harus wawancara Pak Djoko, pendiri perusahaan, berkali-kali di kantornya di jurusan Aeronotika Astronotika ITB.

Dikatakan berat, berat banget pastinya soalnya ini adalah pengalaman perdana. Tapi semua itu terbayarkan setelah buku tercetak. Jerih payah selama ini terbayar lunas. Awalnya memang rencananya pembuatan buku ini hanya satu semester, akhir 2017 selesai dan di awal 2018 launching. Namun realitanya ternyata sulit. Pengerjaan buku ini di sisa waktu yang saya punya. Karena siang sebagaian besar waktu saya untuk meneliti dan kerja lain yang formal, biasanya saya kerjakan buku ini sore hari sampai malam di kedai kopi langganan saya. Selain waktu, saya harus spending uang yang cukup besar untuk proses penulisan buku ini.

Konten Buku

Buku ini menceritakan proses bertahan (survival) perusahaan UAV/drone yang didirikan oleh dosen Teknik Penerbangan, Pak Djoko Sardjadi. Nah, untuk menggambarkannya saya bagi dalam empat bab. Bab pertama bercerita tentang perusahaan startup teknologi itu apa sih. Di sini saya coba angkat definisi-definisi dari berbagai pegiat startup baik dari buku atau artikel yang mereka tulis. Bab kedua saya coba menceritakan tentang sejarah UAV di dunia termasuk di dalamnya saya singgung tentang pemanfaatannya di sipil/militer. Bab ketiga saya baru menceritakan terkait inti buku ini yakni cerita proses UAVINDO Nusantara, perusahaan yang saya angkat di buku ini, bertahan selama 18 tahun sebagai perusahaan teknologi. Bab keempat, terakhir, saya coba angkat lesson-learned dari apa yang terjadi pada UAVINDO. Ada dua titik tekannya, pertama  pelajaran bagi startup dan kedua pelajaran inovasi.


Pada awal penyusunan saya dipusingkan dengan alur buku ini. Karena bingung, saya seringkali ganti. Sampai pada akhirnya ketemu formula yang pas. Tidak dengan itu otomatis saya mudah menuliskannya karena banyak bahan-bahan tulisan baru yang harus saya baca, highlight, dan menuliskannya dalam draft. Sampai akhirnya draft jadi, saya kemudian sampaikan ke Pak Sonny dan Pak Djoko untuk diberikan masukan. Inipun beberapa kali saya menemui beliau-beliau. Sampai judul pun saya berkonsultasi dengan mereka berdua, pada akhirnya kemudian disetujui "STARTUP TEKNOLOGI : Lintasan yang Harus Ditempuh, Menarik Pelajaran dari PT UAVINDO Nusantara". Saya suka dengan judul ini.

Finishing

Jika proses pengerjaan konten pusingnya setengah mati, belum lagi ditambah dengan proses pengerjaan tata letak buku. Saya kerjakan buku dengan MS Word, lalu setelah draft saya rasa cukup saya pdf-kan. Selanjutnya saya bagikan ke beberapa tokoh untuk diberi testimoni dan kata pengantar. Untuk testimoni saya dapatkan dari orang-orang yang saya kenal seperti halnya Kang Gibran dari eFishery, Pak Wawan dari SBM, dan Ghozali EL09. Tambahan, saya meminta ketua unit robotika untuk memberikan testimoni juga. Saya sebenarnya meminta kata pengantar dari seorang pegiat industri kreatif, awalnya beliau menyetujui untuk memberi kata pengantar, setelah saya follow-up terus selama sebulan lebih, belia tak juga mengirimkan kata pengantar. Walhasil, buku saya terbit tanpa kata pengantar.

Proses layouting juga pusing sekali. Saya meminta kenalan yang dulu pernah kerja bareng di proses pengerjaan buku sebelumnya. Saya meminta dia layout trus ada yang keliru, saya betulkan dan begitu terus dan ini memakan waktu tiga bulanan bahkan mungkin lebih. Saya bahkan sudah tak terhitung bertemu dia sudah berapa kali. Ternyata teknologi Whatsapp dan Snipping Tool tidak cukup membantu, terpaksa manual datang langsung harus dipilih. Setelah pemberian nomor halaman rampung, saya baru berikan draft buku versi pdf ke penerbit ITB Press. Tak lama setelah cetak dummy, buku dicetak terbatas sejumlah 70 eksemplar.

Sunday, August 21, 2016

[RESENSI] Meng-IDEAL-kan Manusia ITB

Saya seolah dibawah ke ranah mahasiswa ITB 70-an dimana orang-orangnya penuh dengan ambisi dan gairah menjadi individu yang unggul di bidangnya masing-masing. Buku biru karangan Cardiyan H.I.S ini sedikit banyak gambarkan kondisi ITB saat itu. Orang-orang ITB baik mahasiswa maupun alumninya dikenal Percaya Diri yang tak ketulungan (baca : sombong). Ini tercermin di setiap penyambutan mahasiswa baru dengan spanduk “Selamat Datang Putera Puteri Indonesia Terbaik”. Selain itu, masyarakat ITB umumnya adalah lulusan terbaik dari SMA-SMA-nya. Di samping itu, di ITB sendiri dosennya juga banyak memberikan sentilan “Terbaik” kepada para mahasiswa. Atas dasar inilah, banyak dari mahasiswa ITB saat itu lantang berbicara di depan umum untuk sekedar demonstrasi dan sejenisnya. Tak jarang, mahasiswa ITB memimpin aneka aksi yang dilakukan mahasiswa Indonesia.

Buku ini selain menyingkap kondisi ITB saat itu juga memberikan alternatif rekomendasi bagaimana manusia ITB seharusnya. Menurut penulis, manusia ITB seharusnya memiliki watak wirausaha (entrepreneurship kalo sekarang) yang dapat berkontribusi pada pembangunan ekonomi. Untuk mencapainya dibututuhkan iklim pendidikan yang pas seperti halnya menjalin kerjasama yang solid dengan industri-industri dengan melibatkan mahasiswa selama aktif kuliah. Dalam ranah yang lebih luas, dibutuhkan duplikasi ITB di daerah-daerah lain agar distribusi kualitas pendidikan tinggi di bidang iptek merata. Harapannya ke depan, Indonesia memiliki banyak pengusaha di bidang industri strategis, tdk sekadar UKM yang tidak memiliki akar pengetahuan yg solid.

Kritik akan Isi Buku

Buku ini terlalu mengasumsikan pendidikan ITB sudah sangat ideal. Saya kira penulis terlalu bias ITB. Penulis juga kurang begitu menggali seberapa jauh kontribusi ITB (termasuk alumninya) terhadap pengembangan Iptek di tanah air disamping disajikan posisi ITB dan alumni-alumninya. Selain itu, buku ini kurang menjawab tantangan-tantangan mendasar yang akan dihadapi manusia ITB di abad 21. Saya kira mungkin karena buku ini ditulis sebelum milenium jadi kurang bisa menerka apa yang akan terjadi di abad tersebut. Terakhir, penulis terlalu optimis bahwa Indonesia kedepan (2045) akan maju dan kontribusi ITB atas hal ini sangat besar. Di sini, penulis kurang menyadari bahwa struktur industri dan iklim usaha di Indonesia kurang begitu memperhatikan pengembangan Iptek. Penulis juga seringkali mengambil sampel perusahaan top Amerika dan Jepang (umumnya IT dan elektronika), padahal jika memakai sampel Indonesia industri yang relevan justru di bidang kelautan dan pertanian.

Friday, August 12, 2016

Ideologi Saya Adalah Pramis

Saya baru menyelesaikan membaca buku ini tadi siang sekitar jam 14 dari kemarin jika tidak salah. Judul lengkap buku ini adalah "Ideologi Saya Adalah Pramis : Sosok, Pemikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta Toer" dan ditulis oleh penggemar Pram, Muhidin Dahlan. Buku ini seperti judulnya menggambarkan Pram dari interaksinya dengan penulis, kerabat, maupun dari keluarga terdekat. Pemikiran Pram digambarkan dari karya-karyanya terkhusus sembilan karya yang bagi penulis terbaik. Secara umum buku ini subjektif (opini) penulis terkait Pram. Dari sinilah sukar ditemukan pernyataan yang bernada kritik atas  diri maupun pemikiran Pram.

Membaca buku ini, Anda akan diperkenalkan dengan beberapa pandangan penulis atas karya-karya Pram, terkhusus yang monumental (dikenal luas publik). Juga perjalanan Pram dalam dunia kepenulisan dan sebagai tahanan politik. Tak ketinggalan terkait proses kematian Pram yang ditulis secara esklusif oleh penulis dalam rentang tiga hari menjelang penulis besar ini wafat. Penulis juga menyinggung sikap politik Pram di dunia kesastraan. Semuanya ini disampaikan penulis dalam bentuk kumpulan essay pendek. Maka jangan harap, Anda akan dapatkan penjelasan yang tuntas.

Mengenang Pram

Sebagai pengagum Pram, buku ini seolah menjadi pengingat saya akan karya-karya Pram yang sudah lama saya baca. Saya dibawa kembali oleh penulis untuk meraba-raba sosok Minke, Gadis Pantai, Midah, Ontosoroh, dan seterusnya. Otak saya terpacu untuk merangkai puzzle akan sosok-sosok yang digambarkan dalam bukunya. Ini semacam nostalgia bagi saya atas buku-buku karya Pram yang pernah saya baca. Mengingat Pram adalah salah satu penulis favorit saya, buku ini merangsang saya untuk kembali menelusuri dan menjejaji serta mengumpulkan (baca : membeli) karya-karya Pram yang dulu pernah saya lakukan.

Buku ini bagi saya adalah buku ringan jika dibandingkan saat membaca karya Pram dimana saat itu saya kudu mengernyitkan dahi mencari jawaban atas beberapa istilah atau paragraf yang ditulis Pram dalam bukunya. Biarpun demikian, saya mendapatkan satu pelajaran berharga setelah membacanya, yaitu "Menulis, menulis, dan menulis". Saya seolah diingatkan Pram bahwa tiada karya kepenulisan yang jelek. Menulis adalah proses pembiasaan. Seperti yang umum dikutip oleh banyak orang, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Thursday, August 11, 2016

Resensi Buku : Studi Strategi

Judul lengkap buku ini adalah Studi Strategi : Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional. Buku ini ditulis oleh Daoed Joesoef dan diterbitkan Penerbit Kompas. Tebal buku ini adalah 222 halaman. Buku ini berisi pandangan-pandangan Daoed Joesoef terkait persoalan bangsa dan negara, lebih spesifik lagi adalah kritik dan rekomendasi atas praktik pembangunan yang ada di Indonesia saat ini.

**

Indonesia dianugerasi dengan wilayah yang 2/3 adalah laut. Atas dasar geografis inilah, Indonesia kudunya menempatkan laut sebagai halaman depan rumah. Kebijakan-kebijakan militer juga pembangunan harus ditempatkan dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan. Faktor geografis inilah yang menjadi sentral untuk merencanakan pembangunan negara. Dari sinilah akan muncul konsep-konsep ; geopolitik, geostrategi, geoekonomi, geokultural, geopendidikan, dan geodiplomasi.

Pembangunan ini sendiri merupakan kajian multisiplin maka tidak dapat ditumpu hanya dalam satu parameter seperti pertumbuhan ekonomi. Daoed Joesoef seringkali mengulangi pandangannya bahwa arah pembangunan dari Orba sampai sekarang tdk berubah, tetap bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Atas dasar inilah, pembangunan diartikan dalam definisi yang sempit. Cabang ilmu ekonomika dan turunannya menjadi seolah cabang keilmuan primadona yang seolah dengan permainan statistik dapat mengubah keadaan suatu rakyat. Daoed menyoroti bahwa ekonomika memiliki keterbatasan dalam ranah menyingkap realitas human yang kompleks. Ekonomika menjadikan realitas geografis abstrak dan cenderung direduksi. Pandangan ini membuat munculnya kebijakan sembrono seperti halnya penumpasan RRI dan Permesta dengan militer. Para pemberontak dianggap separatis, padahal bisa jadi mereka melakukannya karena merasa tidak "diwongke" oleh Pemerintah Pusat.

Pembangunan harusnya dilakukan secara menyeluruh yang meliputi banyak dimensi, tidak sekedar ekonomik. Menurut Daoed, fungsi pembangunan adalah justru untuk mewujudkan wadah, "kemerdekaan" yang harus diisi, mentransformasikan "proklamasi kemerdekaan" menjadi "kemerdekaan riil" yang dinikmati bersama. Disinilah pembangunan tak sekedar mengandalkan angka-angka statistik, namun dengan juga melihat akar budaya masyarakat yang dipegangteguh jauh sebelum Indonesia merdeka.

Oleh karenanya, tak sekedar teknokratik an sich yang diperlukan, melainkan teknokratis filosofis yang memahami realitas pembangunan secara utuh.

Monday, August 08, 2016

Dimensi Manusia dalam Pembangunan


Apa yang saya pikirkan sekarang terkait posisi teknologi dalam pembangunan ternyata telah ditulis oleh seorang intelektual bernama Soedjatmoko dalam tulisannya berjudul "Teknologi, Pembangunan, dan Kebudayaan". Tulisan ini pertama kali Ia tulis di tahun 1972 dan diterbitkan pertama kali oleh LP3ES pada 1984 berjudul "Dimensi Manusia dalam Pembangunan".
***
Teknologi adalah sebuah sarana untuk menyelesaikan persoalan. Dalam konteks Indonesia sbg negara berkembang, teknologi diarahkan pada penciptaan lapangan kerja dalam bidang-bidang industri dan pertanian, dan harus kembangkan teknologi2 "menengah" (intermediate technology) yang sesuai dengan basis sumber-sumber. Konsekuensi dari ini adalah perlunya sistem pendidikan yang mengarah ke sana.
Dalam mewujudkan hal ini, Indonesia tak harus mengisolasi diri namun tetap berinteraksi aktif dengan negara-negara yg dikenal maju dalam bidang teknologi modern. Di sini para teknolog dituntut untuk mampu mengadopsi jenis teknologi yg sesuai dengan visi-misi negara. Artinya disini tidak ikut-ikutan dengan teknolog-teknolog Barat. Ide ini saya sebut sebagai "kemandirian berilmu pengetahuan".
Kemandirian ini akan mendorong kita sebagai sebuah bangsa yg berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dg negara-negara lain. Kita tak sekedar sbg objek negara2 lain (Soedjatmoko menyebutnya sbg konsumen belaka), melainkan mampu memproduksi sesuatu.
Dalam tulisannya, Soedjatmoko tak pernah katakan "Mengejar ketertinggalan negara-negara maju", namun Ia tekankan bahwa teknologi harus dapat menjawab kebutuhan bangsa. Karena Indonesia dianugerahi kekayaan alam didalamnya, maka sederhananya itu semua dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bangsa Indonesia sendiri.

*) diambil dari status facebook saya tanggal 24 Juli 2016

Wednesday, August 03, 2016

University in a Neoliberal World

Barusan kelar baca buku tipis karangan Alex Callinicos berjudul "Universities in a Neoliberal World". Buku ini secara umum berupa kritik atas pengaruh neoliberalisme di Perguruan Tinggi. Neoliberalisme ini faham yang digagas Margareth Thatcher dan Ronald Reagan di tahun 1980-an dimana intinya adalah bagaimana market (pasar) sebagai penggerak perekonomian. Impact dari ini adalah terjadinya arus besar-besar swastanisasi berbagai aset milik negara dengan dalih efisiensi dan sejenisnya.

Kajian dari buku ini terfokus pada wilayah Inggris. Di buku diceritakan bahwa sejak masa Thatcher berkuasa, banyak kampus-kampus di Inggris menjalin kerjasama besar-besaran dg dunia industri. Kampus-kampus yang dimaksud bukan seluruh kampus di daratan Inggris, melainkan kampus yg dianggap memiliki reputasi baik seperti Oxford, Cambridge, Imperial, LSE, dan sebagainya. Kampus-kampus ini diberi anggaran riset yg luar biasa besar. Adapun donaturnya selain dari pemerintah juga pihak swasta (industri). Dalam perkembangannya, kampus2 ini menjadi elit dan menjadi kampus top dunia. Ini menjadikan banyak mahasiswa asing (terbanyak China) studi di sana. Orang-orang asli Inggris yg notabene tidak beruntung secara ekonomi akhirnya terpinggirkan. Akses ke pendidikan tinggi (higher education) menjadi esklusif.

Hal lain yang muncul adalah biaya pendidikan yang tinggi. Muncul skema utang dari pembiayaan PT seperti student loan. Namun ini menurut penulis, implikasi justru jelek. Banyak mahasiswa yg pada akhirnya tdk mampu membayar. Impact selanjutnya yaitu banyaknya mahasiswa yang disamping studi juga bekerja baik full-time maupun part-time. Ini menjadikan beberapa dari mereka terkendala dalam masalah studi.

Neoliberalisme memunculkan persaingan yang sangat di kalangan banyak scholar. Aura PT menjadi seolah-olah menjadi sebuah korporasi. Banyak kampus  menerima mahasiswa yang banyak padahal sebenarnya kapasitasnya tdk cukup. Keadaan ini yang dikeluhkan oleh penulis. Dunia memang bergerak ke tatanan pasar bebas, namun PT seharusnya memiliki sikap untuk mempertahankan budaya diskusi dan mengkaji untuk memberikan sulusi bagi tatanan dunia ini. Kampus tidak boleh terlarut pada arus, tetapi dapat memberi warna pada arus tersebut.

Tuesday, August 02, 2016

The False Promise of the Entrepreneurial University

Saya barusan kelar baca cepat (karena g mudeng semua isinya, hehe) terkait Entrepreneurial University. Judul aslinya seperti yang saya tulis di judul tulisan ini. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia bunyinya gini "Janji yang keliru dari Entrepreneurial University (EU)". Buku ini tebalnya 129 halaman pdf.

Nah, konteks geografis dalam buku ini adalah Amerika Serikat. Secara di sana banyak sekali kampus yang mengadopsi konsep EU. Intinya kalo g salah begini. Beberapa kampus di AS coba meniru gaya Stanford University yg berhasil membuat lingkungan inkubator bisnis Silicon Valley. Mereka pengennya adopsi mentah2 aja tanpa faham betul potensi yang dimiliki wilayah dimana kampus2 itu berdiri. Akibatnya apa? Yang dipikirkan adalah paten dan beberapa karya akademik yg memiliki nilai ekonomik.

Sebagai contoh sebuah kampus di Wilwaukee AS pengen jadi Silicon Valley di bidang teknologi air (Water Technology) tapi akhirnya gagal. Mengapa? Karena lingkungannya tidak mendukung. Beda halnya dengan Israel dan Singapura yang dikenal lama maju di bidang ini. Artinya disini adalah berdirinya sebuah teknopolis dikarenakan ada kebutuhan, tidak sekedar keinginan.

Banyak juga yang menginginkan kampus itu penyedia segala macam kebutuhan industri. Ini juga keliru. Kampus itu sejatinya pencetak orang-orang yang memiliki keahlian tertentu yang nantinya akan digunakan di dunia kerja. Hubungan kampus dan industri sekedar hubungan yang proporsional.

Selanjutnya, spending dana untuk riset yang besar-besaran di kampus AS tidak serta merta akan otomatis menggeliatkan ekonomi di wilayah kampus berdiri. Sekaya bagaimanapun, kampus adalah lembaga pendidikan yg tujuan utamanya mendidik (to educate).

Tuesday, June 24, 2014

Tak Boleh Lelah dan Kalah !

Sebuah resensi dari Uruqul Nadhif Dzakiy

"Siapa lagi yang diharapkan membangun bangsa Indonesia menjadi masyarakat makmur, adil, sejahtera, dan tenteram jikalau bukan anak bangsa ?" - B.J. Habibie

Prolog

Begitulah petikan pesan Bacharuddin Jusuf Habibie yang dikutip dari buku ini. Pesan persuasif sejenis lain pun menghiasi di sampul depan dan belakang buku ini, juga beberapa statement penting dari Habibie dengan font besar dan memakai warna yang variatif. Lembaran pertama buku ini berbunyi "Sebuah Persembahan Spesial untuk Generasi Muda Indonesia" yang membuat pembaca merinding dibuatnya.

Habibie adalah sosok unik yang kiprah dan pemikirannya terus dikaji oleh banyak pihak. Banyak buku yang telah membahas sosok mantan presiden ketiga ini. Bahkan belum lama ini kisah hidup termasuk didalamnya pikiran-pikirannya terkait teknologi dan politik difilmkan dalam nuansa cinta berjudul "Habibie & Ainun". Film tersebut masuk jajaran film yang paling laris sepanjang sejarah perfilman Indonesia dengan lebih dari 3 Juta penonton.

Seolah tak habis orang membicarakan Sosok Habibie. Buku karya Fachmy Casofa pun tak mau ketinggalan mengupas pemikiran beliau. Kali ini Fachmy mengambil segmen berbeda dari sosok Habibie yang luput dari pembahasan buku-buku tentang Habibie lainnya. Buku ini sengaja disajikan dengan bahasa ringan guna menyasar kaum muda yang haus akan motivasi. Foto-foto Habibie dan keluarga ditampilkan secara berulang dalam beberapa halaman yang menjadikan pembaca seolah-olah menyelami langsung kehidupan Habibie. Selain itu, buku ini juga menampilkan 50 gagasan brilian beliau yang dimuat lebih dari 2/3 isi buku. Kurang dari 1/3 lainnya membahas tentang kehidupan Habibie yang sengaja disajikan penulis di awal buku dengan judul besar "Menerbangkan Indonesia".

Menerbangkan Indonesia

10 Agustus 1995 tak akan pernah dilupakan oleh anak bangsa dan dunia. Bagaimana tidak, pesawat N250 yang murni dibuat anak bangsa mampu terbang dengan mulus mengelilingi langit kota Bandung. Semua anak bangsa yang menyaksikan langsung di bandar udara Husein Sastranegara maupun dari layar televisi harap-harap cemas, namun pada akhirnya terobati saat pesawat yang dinamai Gatotkoco tersebut berhasil landing dengan sempurna di landasan pacu bandara. Semua anak bangsa bersyukur haru bahkan banyak diantara mereka yang sampai meneteskan air mata kebahagiaan.


Terciptanya pesawat yang menerapkan teknologi terkini saat itu, fly-by-ware, tersebut tak dapat dilepaskan dari kiprah Habibie. Beliau bisa dikatakan sebagai king maker ide pembuatan pesawat tersebut. Kapabilitas Habibie dalam pembuatan pesawat terbang tidak diragukan lagi. Sebelum dipanggil Presiden Soeharto untuk mengurusi Kemenristek, Habibie merupakan pimpinan suatu perusahaan pesawat terkemuka di Jerman. Banyak dari penemuannya terkait ilmu rancang-bangun pesawat terbang dipatenkan yang membuatnya salah seorang yang berpengaruh di dunia kedirgantaraan. Namun, berkat kecintaannya akan tanah air, Habibie rela meninggalkan kehidupan yang serba cukup di Jerman untuk memilih memajukan science dan teknologi di Indonesia. Pesawat N-250 adalah buah dari kerja kerasnya selama lebih dari 20 tahun mengabdi. Bukti kecintaan Habibie akan tanah air tersirat dari puisi yang dibuatnya berjudul Sumpahku.

Harapan Habibie dengan sukses terbangnya N-250 di langit Indonesia adalah munculnya semangat bangsa secara kolektif untuk memajukan science dan teknologi di Indonesia. 10 Agustus 1995 adalah momentum yang selanjutnya diperingati sebagai Hari kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas). Namun pada 1998, Indonesia terkena krisis moneter yang dahsyat yang membuat IPTN (kini PT. Dirgantara Indonesia) terpaksa ditutup Pemerintah. Hal ini membuat Habibie marah luar biasa apalagi Ia tidak dilibatkan saat membahas rencana penutupan perusahaan yang dibesarkannya tersebut.

Gagasan Brilian

Selain bercerita tentang kiprah Habibie dalam pengembangan teknologi khususnya dunia kedirgantaraan di Indonesia dan juga seluk-beluk kehidupannya, buku ini memuat 50 pesan Habibie kepada kaum muda. Pesan-pesan tersebut adalah buah wawancara penulis buku terhadap Habibie  yang ditulis per-poin dan disajikan secara menarik dengan disisipi foto-foto koleksi The Habibie Center. Sebagai contoh pesan beliau kedua berbunyi "Utamakan kerja nyata bukan citra".

Pesan-pesan tersebut adalah hasil dari segala pengalaman Habibie selama ini. Namun sangat disayangkan pesan-pesan tersebut sangat tidak mendalam. Berbeda halnya dengan cerita panjang lebar terkait sepak terjang ide pembuatan pesawat dan upaya memajukan science dan teknologi yang dimuat dalam buku Habibie & Ainun. Juga berbagai ide cemerlang Habibie dalam menghadapi krisis ekonomi dan kepercayaan pada 1998, yang dimuat di buku Detik-Detik yang Menentukan. Dari kedua buku tersebut, pembaca dapat menangkap ide besar pemikiran seorang Habibie.

Epilog

Genre buku ini lebih ke arah buku motivasi. Praktis bahasan dalam buku tidak mendalam. Pasca membaca buku ini, akan timbul banyak pertanyaan dari pembaca terkait pemikiran-pemikiran Habibie terutama terkait teknologi dan politik. Pembaca disarankan membaca dua buku buah tangan Habibie sendiri yakni Detik-Detik yang Menentukan dan Habibie & Ainun. Kedua buku tersebut menjelaskan cukup detail terkait sepak terjang dan pemikiran Habibie selama beliau aktif berkarya di pemerintahan. Namun, biarpun demikian buku ini memiliki pembeda dari buku-buku lain yang mengupas sosok Habibie. Buku ini memuat foto-foto pribadi beliau yang menjadikan pembaca seolah-olah berinteraksi langsung dengan Habibie. Sebagai penutup, penulis kutip salah satu pesan dari Habibie "Kita adalah keturunan bangsa pejuang, yang tidak mengenal lelah dan kalah !".  

Judul Buku      : Tak Boleh Lelah dan Kalah !
Penulis             : Fachmy Casofa
Penerbit           : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Tahun Terbit    : 2014
Tebal buku      : 236 halaman

Referensi lain :
Habibie, B.J. (2006). Detik-Detik yang Menentukan. Jakarta : THC Mandiri.
Habibie, B.J. (2010). Habibie & Ainun. Jakarta : THC Mandiri.  
Posted on Tuesday, June 24, 2014 | Categories:

Saturday, November 30, 2013

Islam Versi Ahmad Wahib

Realitas sosial seiring berjalannya waktu berubah. Namun, berbeda dengan ajaran agama yang selalu konstan. Ajaran agama cenderung lebih ortodoks dan anti terhadap perubahan. Ajaran agama membuat manusia terasing dari dunia yang dijalaninya. Ajaran agama perlu direvolusi. Ijtihad atau pembaharuan harus digalakkan terus-menerus. Agama harus bisa menjawab permasalahan manusia di zaman modern yang semakin kompleks ini.

Begitulah kiranya pergolakan batin Ahmad Wahib (AW) yang terangkum dalam catatan-catatan hariannya yang oleh LP3ES diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Pergolakan Pemikiran Islam".  Buku ini pertama kali terbit setelah delapan tahun meninggalnya AW pada 1973. AW adalah mahasiswa  FIPIA UGM yang Drop Out di tahun terakhir studinya. AW kecil hidup di lingkungan pesantren dan anak seorang Kyai. Saat mahasiswa, AW adalah aktivis HMI yang terpaksa harus keluar dari ormas mahasiswa Islam terbesar ini karena merasa bahwa organisasi ini sudah antipati terhadap gagasan yang dibuatnya. Pergolakan pemikiran AW terkait Islam semakin menjadi saat Ia masih menjadi aktivis HMI cabang Yogyakarta. Hidup lama di Yogyakarta membuat dia bosan dan Ia pun hijrah ke Jakarta di tahun terakhir hidupnya. Namun sayang, sesudah menulis laporan terakhir sebagai calon reporter majalah Tempo tentang "Politik Penelitian di ITB", Ia pun tertabrak motor dan meninggal dalam usia muda, 31 tahun. 


AW dalam buku ini mengungkapkan banyak sekali pertanyaan kontroversial khususnya terkait dengan ajaran agama Islam. Bagi AW sumber ajaran Islam bukanlah Al-Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Ajaran Islam harus dimaknai berdasarkan ruang dan waktu. Histori Muhammad lah yang dapat menelaahnya. Hal inilah yang menuntut para ulama untuk menggalakkan ijtihad. Jika Muhammad bukanlah seorang utusan Tuhan, bagi AW Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat darinya. AW juga ungkapkan bahwa Islam bukan satu-satunya petunjuk untuk menjawab segala permasalahan seorang muslim. "Saya pikir hukum Islam itu tidak ada. Yang ada ialah sejarah Muhammad, dan dari sanalah tiap-tiap pribadi kita mengambil pelajaran sendiri-sendiri tentang hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Sejarah Muhammad adalah sumber agama Islam. Tapi agama Islam bukan satu-satunya petunjuk untuk menjawab persoalan-persoalan hidup muslim, baik individu maupun masyarakat". (hal 60).

Hampir separuh hidupnya, AW terus menerus bertanya bahkan tentang wujud Tuhan. Bagi AW, Tuhan mengkaruniakan akal adalah untuk digunakan secara maksimal termasuk memikirkan ketiadaan penciptanya. AW selalu gelisah. Ia ingin hadirkan kesempurnaan dalam agamanya. Terkait pentingnya berfikir bagi AW, termuat dalam halaman 23. "Pada hemat saya orang-orang yang berfikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik dari pada orang-orang yang tak pernah salah karena tak pernah berfikir". AW meragukan Islam untuk menuntunnya penjadi muslim yang paripurna. Namun sayang, perjuangan AW harus terhenti secara mendadak karena Tuhan menginginkannya untuk kembali.

Membaca buku tersebut mengingatkan kita  pada buku Catatan Seorang Demonstran yang merupakan kumpulan catatan harian dari Soe Hok Gie (SHG). Kemiripan dua orang ini (AW dan SHG) terletak pada jiwa muda idealis yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan biarpun SHG lebih ke ranah sosial dan politik sedangkan AW pada masalah ajaran agama Islam. Kedua orang ini juga mati muda.

Karena merupakan catatan harian (Caha), buku tersebut tidak layak disebut pemikiran otentik dari seorang AW. Penerbitan Caha menjadi sebuah buku tidak atas izin AW. Sangat memungkinkan jika AW tahu bahwa diary-nya akan diterbitkan, Ia mungkin akan lakukan beberapa revisi dan mungkin sekali menolak Caha-nya untuk dipublikasi ke khalayak. Kita juga harus lebih jeli terhadap beberapa pemikiran AW karena pada dasarnya belum selesai. Selama jiwanya bergolak, dalam caha-nya AW tidak lakukan diskusi dengan tokoh Islam. AW bahkan ciptakan grup diskusi sendiri yang dinamakan Limited Group. Namun, setidaknya Caha AW tumbuhkan gairah semangat berfikir terutama dalam konteks pemahaman terhadap ajaran agama.

Biodata Buku :
Judul                     : Pergolakan Pemikiran Islam
Penulis                 : Ahmad Wahib
Penerbit              : LP3ES
Tebal                    : 405 halaman
Posted on Saturday, November 30, 2013 | Categories:

Saturday, October 12, 2013

PKI Dalang Dibalik G30S ?

Buku Dalih Pembunuhan Massal (doc. google.com)

Gerakan Tiga Puluh September yang lebih dikenal dengan G30S merupakan peristiwa misterius sampai sekarang. Rezim Orde Baru yang dikomandoi oleh Soeharto mengartikan gerakan tersebut adalah gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kontrarevolusi. Tambahan /PKI disematkan pada G30S menjadi G30S/PKI menjadi bobot gerakan ini murni gerakan PKI. Peristiwa ini menjadi legitimisasi TNI AD untuk membabat habis PKI sampai keakar-akarnya. Kala itu PKI menjadi partai pemenang di pemilihan DPRD Jawa Tengah, dan pemenang kedua di DPRD Jawa Timur dan Jawa Barat yang menjadi jantung Indonesia. Diprediksi jika pemilu diadakan pada 1965, PKI akan menjadi pemenang. Bisa jadi Indonesia akan menjadi negara komunis terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan Tiongkok.

Lantas, apa benar G30S didalangi oleh PKI ? Benarkah partai yang berbasis rakyat sipil tak bersenjata ini mendalangi gerakan penculikan jenderal-jenderal TNI AD ? Benarkah jenderal-jenderal ini sebelum dibunuh, kemaluannya disilet-silet oleh wanita dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, organisasi sayap PKI) sambil menari-nari seperti film yang terus diputar pada 30 September saat orde baru ? Siapa Sjam yang dikabarkan pembantu DN. Aidit dari Biro Chusus dimana mendalangi peristiwa besar ini ? Siapa sebenarnya Untung, Latief, Supardjo yang bersama Sjam dan DN. Aidit menjadi aktor dibalik G30S ? Bagaimana reaksi Soekarno terhadap gerakan ini ? Siapa saja yang dinamakan Dewan Jenderal yang dikabarkan akan mengkudeta Soekarno ? Bagaimana peran agen intelejen Amerika, CIA, dalam kasus ini ? Benarkah gerakan ini gerakan yang serampangan dan tanpa rencana yang matang ? Siapa sebenarnya pemimpin gerakan ini, Sjam atau Untung, atau bahkan tidak ada komando ? Siapa sebenarnya jenderal sayap kanan yang akan mengkudeta Soekarno ? Bagaimana peran mereka di gerakan ini ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab di buku karangan John Roosa ini. Buku ini mengambil sumber yang dapat dipertanggungjawabkan seperti kesaksian Supardjo dan Sjam di Pengadilan Militer, Mahmilub. Juga berbagai kesaksian dari para tapol yang masih hidup yang menjadi saksi sejarah peristiwa ini serta berbagai literatur dari berbagai arsip dari Stanford University, USA dan Internatinal Institute of Social History, Amsterdam, dokumen CIA, agen intelijen Amerika Serikat, dan juga berbagai literatur lain yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.

Membaca buku ini, pikiran Anda akan terbuka. Doktin anti-PKI yang gencar dilayangkan rezim Orde Baru sedikit banyak akan dipreteli dengan berbagai fakta yang terdapat dalam buku ini. Buku ini setidaknya menjadi penawar kegelapan sejarah yang diajarkan disekolah-sekolah dan media selama rezim Orde Baru. Akhirnya, selamat membaca dan selamat membuka pikiran Anda.

Data Buku :
Judul Buku                          : Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto
Penulis                                 : John Roosa
Genre                                   : Sejarah Investigasi
Penerbit/Tahun Terbit   : Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra/2008
Jumlah Halaman               : 420
Posted on Saturday, October 12, 2013 | Categories:

Monday, September 02, 2013

KEMI; Cinta Kebebasan yang Tersesat

Cover Buku KEMI (doc. google.com)
Sinopsis

Di sebuah pondok pesantren  di Madiun, Minhajul Abidin, terdapat Rahmat dan Kemi. Keduanya adalah santri terbaik di pondok pesantrennya. Kyai Rois, sesepuh pondok, sangat mengandalkan dua santri tersebut. Keduanya diproyeksikan untuk menjadi staf pengajar pondok. Rahmat menerima perintah Kyai, namun berbeda halnya dengan Kemi. Kemi lebih menerima ajakan kakak kelasnya Farsan untuk berkuliah di Jakarta. Farsan juga merupakan alumni dari pondok tersebut. Awalnya Kyai Rois berat untuk melepas Kemi dari ponpesnya, namun setelah beberapa kali Kemi menghadap, akhirnya Kyai Rois mengizinkan.

Di Jakarta, Kemi dihadapkan pada dunia yang benar-benar baru. Berbeda jauh dengan kehidupannya di pondok pesantren. Atas usulan Farsan, Kemi berkuliah di sebuah perguruan tinggi lintas agama di kawasan Depok, Jawa Barat. Kemi pun mulai meninggalkan ajaran agama Islam yang telah didapatkannya dari ponpesnya. Bagi Kemi, islam di ponpes adalah Islam yang kolot dan anti-kemajuan. Ia bergantii jubah menjadi islam bebas, islam liberal. Baginya semua agama benar. Tuhan semua agama sama hanya saja representasinya bermacam-macam. Bagi Islam, Allah SWT, bagi Nasrani Yesus Kristus, dan seterusnya. Itu adalah sepenggal keyakinannya. Kemi juga telah meninggalkan sholat lima waktu. Baginya beribadah yang penting adalah esensi, eling. Ajaran Nabi SAW ditafsirkan sendiri oleh kelompoknya. Saat berkuliah, Kemi adalah pribadi yang aktif. Ia mengorganisasi pelatihan ke ponpes-ponpes untuk menebarkan gagasan 'baru' keislamannya.

Melihat kondisi Kemi yang seperti itu, Kyai Rois tidak tinggal diam. Rahmat diutus beliau untuk membawa Kemi kembali ke pondok. Setelah bekal Rahmat pelajari faham liberalisme islam dirasa cukup, Rahmat pun berangkat ke Jakarta. Di sana Rahmat tinggal di kosan Kemi, dia amati gerak-gerik Kemi dan kelompoknya. Rahmat pun medaftar kuliah yang sama dengan Kemi. Saat kuliah perdana di kampus ini, Ia sudah membuat sensasi dengan berdebat dengan Prof. Malikan, rektor universitas tersebut. Ia keluarkan semua alasan mengapa gagasan pluralisme agama Prof. Malikan salah. Pasca kelas, Rahmat pun menjadi buah bibir semua mahasiswa di kampus tersebut. Siti yang merupakan satu geng dengan Kemi suatu ketika membocorkan gerak-gerik Kemi dan kelompoknya kepada Rahmat. Rahmat pun semakin tahu bagaimana menghadapi Kemi. Suatu ketika diadakan diskusi dengan Kyai Dulpikir bertindak sebagai pengisinya. Kyai Dulpikir adalah petinggi salah satu pondok pesantren di daerah Jawa Barat. Saat sesi tanya jawab, Rahmat tidak habis-habisnya membantah pendapat Kyai Dulpikir seputar faham liberalnya. Sampai akhirnya Kyai Dulpikir mengakui bahwa Ia salah. Saat sesi tanya-jawab usai, ternyata Kyai Dulpikir, dia terserang jantung mendadak dan meninggal. Akibat peristiwa inilah Rahmat semakin dikenal. Tidak hanya oleh internal pondok pesantren, juga masyarakat secara umum. Berita ini tersebar di berbagai media. Melihat kondisi ini, Kyai Rois pun memerintahkan Rahmat untuk tinggal dengan Ahmad Petuah, redaktur senior di harian Indonesia Jaya. Rahmat pun selamat dari pembunuhan yang direncanakan oleh Roman, pimpinan geng Kemi. Namun, tidak halnya dengan Siti dan Kemi. Siti diracun sedangkan Kemi dihajar sampai tubuhnya remuk. Beruntung Siti selamat dan bisa tumbuh normal. Fisik Rahmat selamat, namun tidak halnya dengan mentalnya. Mental rahmat terganggu, Ia pun menghuni Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Setelah pulih, Siti akhirnya kembali ke pangkuang keluarganya setelah tiga tahun absen. Ia bertekat untuk memajukan pondok pesantren ayahnya, Kyai Amin, yang kebetulan adalah pimpinan pondok pesantren. Akhir cerita Siti, mengirim surat ke Rahmat dan menceritakan jalan hidup kedepannya. Siti tahu bahwa Rahmat mencintainya, namun Siti ingin menebus dosa-dosanya selama ini kepada orang tua dan agamanya. Ia pun lebih memilih jalan dakwah dan tidak menikahi Rahmat.

Hikmah

Novel ini menceritakan bahwa sasaran empuk faham liberalisme islam adalah para lulusan pondok pesantren. Selain dikenal lugu, pemahaman agama islam klasik bagi lulusan pondok pesantren sangat luas. Karena inilah para penyebar faham liberalisme sangat memprioritaskan sasarannya kepada lulusan ponpes ini. Kelompok islam liberalisme ini menawarkan islam modern dengan tafsiran yang rasional dimana tidak diajarkan di ponpes. Juga menawarkan berbagai program yang dapat meningkatkan pendapatan, popularitas dan skill individu. Sangat menggiurkan. Novel ini mengajarkan kepada kita akan bahaya liberalime islam yang dapat jadikan kita tidak percaya lagi dengan ajaran Nabi SAW. Kita harus waspada dan terus menambah khazanah keislaman kita sesuai dengan tuntunan al-qur'an dan as-sunnah.

Biografi Buku :
Judul Buku          : Kemi ; Cinta Kebebasan Yang Tersesat
Pengarang          : Adian Husaini
Penerbit              : Gema Insani Jakarta
Tahun Terbit      : 2010
Tebal buku          : 316
Posted on Monday, September 02, 2013 | Categories:

Saturday, August 24, 2013

Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan

doc. google.com
Buku ini menceritakan tentang keadaan negara Indonesia saat masa revolusi yaitu pasca Indonesia merdeka. Soe Hok Gie menceritakan dengan lugas tentang berbagai pertentangan antar tokoh bangsa di berbagai sikap politik yang diambil. Melalui buku ini, SHG juga bercerita tentang beberapa pemberontakan di Solo dan Madiun yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Buku ini secara umum menceritakan keterlibatan PKI dalam masa revolusi Indonesia.

Buku ini diawali dengan pengantar oleh Syafi'ie Ma'arif, profesor sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Buku ini hasil skripsi SHG sebagai syarat lulus sarjana di Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Saat membaca buku ini, Anda serasa baca novel sejarah. Gaya penulisan SHG relatif mudah dipahami oleh pembaca amatir. Hanya saja jika tidak terbiasa membaca buku-buku sejarah, pembaca harus mengalokasikan waktu lebih lama untuk memahami buku ini dibandingkan dengan membaca novel tentang cinta.

SHG sangat piawai dalam menulis terkait ilmu sejarah. Referensi buku ini relatif banyak dan saya rasa melalui sumber yang dapat dipercaya. Selain buku, SHG juga memakai majalah dan koran sebagai sumber tulisannya. SHG merupakan mahasiswa di zaman Presiden Soekarno. Bisa dikatakan SHG adalah saksi sejarah (biarpun bukan di berbagai pemberontakan PKI). Inilah yang juga menjadikan kelebihan dari buku ini.

Konten buku ini tidaklah begitu tebal. Konten skripsi SHG ditampilkan dari halaman 1-282. Halaman 283-358 berisi daftar pustaka dan berbagai catatan. Diakhir buku dituliskan riwayat hidup SHG. Format penulisan buku ini adalah kertas ukuran A5. PKI yang dikenal kiri dan "merah" terlukis dalam sampul buku. Buku ini sangat cocok bagi Anda yang ingin mengetahui bagaimana masa revolusi. Bagaimana Tentara Nasional Indonesia menumpas Fron Demokrasi Rakyat (FDR) yang didalangi PKI dari berbagai pemberontakan. Akhirnya, Selamat membaca !

Data Buku :
Judul Buku       : Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis             : Soe Hok Gie
Penerbit          : Bentang
Tebal Buku      : 358 halaman



Posted on Saturday, August 24, 2013 | Categories:

Thursday, August 22, 2013

Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer

doc. google.com

Jujun S. Suriasumantri

Saat Anda membaca buku ini, Anda akan dibawa menuju dunia keilmuan yang sangat luas. Anda akan mengetahui perbedaan mendasar antara ilmu dan pengetahuan, antara science dan knowledge.  Penulis menjelaskan secara rinci terkait filosofis ilmu, keterkaitan ilmu dengan moral, dan juga terkait penulisan ilmiah. Penulis menjelaskan dengan bahasa yang mudah dicerna, juga dipadu dengan gambar dan juga beberapa jokes yang membuat pembaca tertawa kecil. Membaca buku ini, Anda akan mengetahui posisi disiplin ilmu Anda dengan keuniversalan ilmu yang berada di alam jagad ini.

Buku ini terdiri dari sepuluh bab dengan dimulai dengan Kata pengantar dari Andi Hakim Nasution. Bab pertama  menceritakan tentang ilmu dan filsafat. Bab kedua terkait dengan dasar-dasar pengetahuan meliputi penalaran, logika, sumber pengetahuan, dan kriteria kebenaran. Bab ketiga terkait dengan Ontologi meliputi ; metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batas-batas penjelajahan ilmu. Bab keempat menceritakan tentang epistemologi meliputi jarum sejarah pengetahuan, pengetahuan, metode ilmiah, dan struktur pengetahuan ilmiah. Bab kelima menceritakan tentang sarana berfikir ilmiah yang meliputi sarana berfikir ilmiah, bahasa, matematika, dan statistika. Bab keenam menceritakan tentang aksiologi yaitu nilai kegunaan ilmu meliputi ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan, nuklir dan pilihan moral, dan revolusi genetika. Bab ketujuh meceritakan tentang ilmu dan kebudayaan yang meliputi manusia dan kebudayaan, ilmu dan pengembangan kebudayaan nasional, dan dua pola kebudayaan. Bab kedelapan menceritakan tentang ilmu dan bahasa yang meliputi terminologi ilmu, ilmu pengetahuan, atau sains ?, quo vadis ?, dan politik bahasa nasional. Bab kesembilan menjelaskan tentang penelitian dan penulisan ilmiah yang meliputi struktur penelitian dan penulisan ilmiah, teknik penulisan ilmiah, dan teknik notasi ilmiah. Bab kesepuluh adalah penutup yang menceritakan tentang hakikat dan kegunaan ilmu.

Buku ini termasuk katagori buku ilmiah karena menggunakan kriteria penulsan ilmiah. Biarpun tersisip jokes dalam penulisannya, membaca buku ini harus dengan hati-hati. Banyak juga terdapat istilah asing yang harus difahami dengan cermat. Buku ini terdiri dari 384 halaman dengan diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Saya rekomendasikan buku ini kepada para mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, agar selama belajar di jenjang perkuliahan tidak bingung dengan posisi keilmuan yang digelutinya di Perguruan Tinggi.

Biodata Buku :
Judul Buku       : Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer
Penulis             : Jujun S. Suriasumantri
Penerbit          : Pustaka Sinar Harapan
Tahun Terbit   : 2009
Halaman         : 384
Jenis Buku       : Ilmiah
Lamongan, 20 Agustus 2013
Posted on Thursday, August 22, 2013 | Categories:

Thursday, July 25, 2013

Review Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I

Bab : Melhat Kemuka ! (hal 79-82)

Buku Di Bawah Bendera Revolusi
(doc. google.com)
Menurut Bung Karno, perjuangan itu pada hakekatnya adalah perjuangan ruh, yaitu perjuangan semangat. Ruh dan semangat muda harus menjiwai setiap langkah kita. Perbuatan tidaklah bisa luhur dan besar tanpa adanya roh dan semangat yang besar pula. Jika ruh sudah bangun dan bangkit, maka tidak ada kekuatan duniawi apapun yang dapat menghalanginya. Sebagai contoh, tidak dapat ditahan majunya demokrasi Perancis sesudah rakyat Perancis terserapi hati sanubarinya atas roh demokrasi Jean Jacques Rousseau. Begitu pula tidak dapat dibendung geraknya buruh Eropa mencari kemerdekaan sesudah ruh kaum buruh hidup di bawah wahyu sosialisme dan komunisme. "Tiada suatu kelaliman jang dapat merantai sesuatu Roch, djikalau Roch itu, tidak mau dirantai", kata pendekar India Sarojini ungkap Bung Karno.

Jika kita ingin mendidik rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan, maka langkah awal adalah menumbuhkan ruh semangat merdeka kepada setiap diri rakyat Indonesia. Langkah itu adalah kewajiban kaum nasionalis apapun ideologinya karena kaum inilah yang sadar tentang arti kemerdekaan. Hal ini diharapkan agar semangat merdeka benar-benar menjangkiti setiap diri rakyat Indonesia sehingga menumbuhkan semangat nasional, nationale geest, kemudian menuju kemauan nasional, nationale wil, sehingga terwujud perbuatan nasional, nationale daad. Nationale Daad inilah yang membawa Indonesia kepada kemerdekaan sesungguhnya.

Kepercayaan terhadap diri adalah sendi ruh nasional yakni dengan memaksimalkan kekuatan diri sendiri, tidak buta dan ngawur. Saat ini gelora ruh merdeka sudah dikumandangkan oleh banyak kaum nasionalis. Pihak-pihak yang dirugikan kepentingannya pasti melawan. Biarpun begitu, ruh merdeka kita akan tetap menyala. "kebenaran adalah pada kita, keadilan adalah pada kita, pekerti adalah pada kita, dan hukum Allah jang tinggi dari pada hukum manusia, adalah membenarkan kita punja tindakan", kutipan Bung Karno dari Arabindo Ghose dalam manifes atas nasionalisme India.


Suluh Indonesia Muda, 1925
Posted on Thursday, July 25, 2013 | Categories:

Friday, July 19, 2013

Mengenal Sutan Sjahrir

Sutan Sjahrir (doc. google.com)

Sjahrir dan Sosialisme

Banyak orang menyebut Sjahrir kebarat-baratan. Sjahir adalah pengagum Barat karena rasionalitas Barat yang tinggi. Sjahrir menganut paham sosialisme. Menurut Sjahrir, sosialisme menempatkan semua manusia dalam derajat yang tinggi. Sosialisme di Asia menekankan usaha untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan sedangkan sosialisme di Eropa telah dimasuk di dunia politik untuk mewujudkan demokrasi parlementer. Hal ini tidak lain dipengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat Asia yang sangat berbeda dengan masyarakat Eropa.

Melihat realita sosial dan ekonomi rakyat Indonesia, Sjahrir mencetuskan konsep sosialisme kerakyatan yaitu suatu konsep sosialisme yang menjunjung tinggi derajat manusia, menghormati hak-hak kemanusiaan dan membentuk kesadaran sosial. Dengan konsep ini diharapkan penindasan terhadap kemanusiaan akan hilang.
Sjahrir menentang keras fasisme Jepang dan semua elemen yang mendukungnya. Sjahrir menyebut kolabolator dengan Fasis Jepang dalam pamflet Perdjoeangan Kita sebagai anjing-anjing suruhan dan antek-antek kaum fasis Jepang. Oleh karenanya, Sjahrir tidak menyetujui langkah Soekarno dan Hatta yang rela berkolaborasi dengan Jepang demi capai kemerdekaan. Baginya kolaborasi dengan Fasis Jepang termasuk fasis juga. Dalam hal ini terdapat kemiripan Sjahrir dan Tan Malaka bahwa kemerdekaan itu bukanlah "hadiah" melainkan "direbut".

Sjahrir juga menentang komunisme. Bagi Sjahrir komunisme akan membentuk diktator proletariat , pemimpin otoriter dari kaum proletar. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip sosialisme dimana menerapkan prinsip ekualitas humanisme. Bagi Sjahrir, komunisme akan ciptakan penindasan kaum proletar terhadap pemilik modal. Sjahrir menghendaki pemerintahan dimana kuasa ada di tangan rakyat. Semua sendi pemerintahan dilaksanakan oleh rakyat. Kemakmuran adalah tujuannya bukanlah "negara". Oleh karenanya hal awal yang dilakukan adalah pengentasan kemiskinan dan memerangi kebodohan dengan pendidikan. Secara umum dapat diringkas bahwa tiga hal klasifikasi politik Sutan Sjahrir ; kebebasan, humanisme universal, dan sosialisme kerakyatan.

Gagasan Yang Utopis

Gagasan sosialisme kerakyatan yang dicetuskan oleh Sutan Sjahrir diwujudkan dalam pendirian Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 1948. Partai ini adalah partai kader yang sangat ketat menyeleksi calon anggota partai. Petinggi partai ini adalah jebolan Pendidikan Nasional Indonesia yang anggotanya adalah para intelektual Indonesia baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri.

Prinsip sosialisme kerakyatan yang ditonjolkan Sjahrir memalui PSI nyatanya tidak mendapat simpati dari rakyat Indonesia. Partai ini tidak pernah memang dalam pemilu. Rakyat Indonesia ternyata lebih bersimpati pada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lebih turun tangan langsung ke basis rakyat seperti petani, nelayan, dan buruh. Partai ini akhirnya dibubarkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1960 dengan keluarnya Surat Keputusan Presiden Soekarno no. 201.

Setidaknya ada beberapa hal mengapa PSI tidak mendapat hati rakyat Indonesia. Pertama, secara umum  rakyat Indonesia belum mendapatkan pendidikan yang layak. Angka buta huruf pada saat itu masih tinggi. Pendidikan merupakan hal baru di masyarakat. Kedua, kader PSI yang kebanyakan adalah para intelektual kurang begitu dekat dengan masyarakat. Akibatnya rakyat pun sulit menangkap gagasan PSI. Ketiga, PSI sentralis ke Sjahrir. Keempat, masalah utama rakyat Indonesia masih ditataran ekonomi, oleh karenanya partai yang lebih membawa gagasan peningkatan kesejahteraan seperti PKI lebih diterima rakyat.

Secara ringkas dapat saya simpulkan bahwa gagasan Sutan Sjahrir tentang ekualitas humanisme yang terwujud dalam Partai Sosialis Indonesia adalah gagasan yang utopis, gagasan yang susah dicerna oleh rakyat Indonesia.

Referensi : Buku Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia, Tentang Sosialisme Demokratis

Friday, July 12, 2013

Review Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I

Bab : Sampai Ketemu Lagi ! (hal 41-44)
Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I
(doc. google.com)

Tulisan Soekarno di Suluh Indonesia Muda kali ini menegaskan bahwa ditangkapnya Tjipto Mangunkusumo oleh pihak Belanda tidak membuat perjuangan Soekarno dan kawan-kawan pudar, justru semakin gigih.

Soekarno mengutip pernyataan Sir Oliver Lodge No sacrifice is waste yang berarti tidak ada pengorbanan yang tidak berfaedah.

Ihtiar tidak sudi pada penyerahan diri, ihtiar tidaklah gampang dan ringan, ihtiar membuat indah di hari kemudian. Begitu ungkap Soekarno sebagai ekspresi atas ditangkapnya Tjipto.
Sampai ketemu lagi Tjipto !

Suluh Indonesia Muda, 1928

Posted on Friday, July 12, 2013 | Categories:

Thursday, July 11, 2013

Review Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I

Bab : Indonesianisme dan Pan-Asiatisme (hal 73-77)
Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I
(doc. google.com)
Pan-Asiatisme dijiwai dari sama rasa, sama nasib, yakni terjajahnya negara-negara di Asia oleh negara imperialis kulit putih. Contohnya India dan Mesir oleh Inggris, Filipina oleh Amerika Serikat, dan Indonesia oleh Belanda.

"Duka mereka adalah duka kita. Begitupula kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita", begitulah kurang lebih ungkapan Soekarno. Menangnya Jepang atas musuhnya di Kutub Utara pada 1905 juga harus kita rayakan sebagai kemenangan Asia atas Eropa. Begitu pula dengan kemenangan Mustafa Kemal Pasha di padang peperangan Afiun Karahisar. Lahirnya pergerakan di Indonesia dijiwai dari pergerakan-pergerakan di Asia yang lain.

Abad kedua puluh sudah menjadi abad pertentangan kulit berwarna dengan kulit putih. Rakyat Indonesia, mesir, India, Tiongkok menghadapi satu musuh bersama yaitu imperialisme yang digalang oleh bangsa kulit putih.

Jikalau rakyat Asia bersama-sama menyerang benteng imperialisme, maka benteng itu akan roboh. Bangsa Asia akan terlepas dari penjajah. Kesamaan tekad ini tergabung dalam satu faham pan-asiatisme. Faham yang melintasi batas-batas negeri tumpah darah kita, faham yang meliputi hampir separo dunia.

Bung Karno juga mencanangkan konsep nasionalisme. Dibawah ini adalah konsep nasionalisme versi Bung Karno ;
"Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme jang sempit ; ia bukanlah nasionalisme jang timbul dari pada kesombongan  bangsa belaka : Ia adalah nasionalisme jang lebar- nasionalisme jang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwajat; ia bukanlah "jingo-nationalism" atau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan dari pada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita adalah suatu nasionalisme, jang  menerima rasa hidupnja sebagai suatu wahju, dan mendjalankan rasa-hidupnja itu sebagai suatu bakti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme jang didalam kelebaran dan kaluasannja memberi tempat tjinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnja udara, jang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnja segala hal jang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an, jang menurut perkataan C.R. Das adalah "suatu nasionalisme jang serang-menjerang, suatu nasionalisme jang mengedjar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan jang menghitung-hitung untung atau rugi".... Nasionalisme kita adalah nasionalisme jang membuat kita mendjadi "perkakasnja Tuhan", dan membuat kita mendjadi "hidup didalam Roch"-sebagai jang saban-saban dichotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India jang besar itu. Dengan nasionalisme jang demikian ini, maka kita insjaf dengan seinsjaf-insjafnja, bahwa negeri kita dan rakjat kita adalah sebagian dari pada negeri Asia dan rakjat Asia, dan adalah sebagian dari pada dunia dan penduduk dunia adanja...."
Nasionalisme yang demikian inilah yang menjadikan kita adalah sebagian dari negeri Asia dan rakyat Asia, dan juga bagian dari penduduk dunia.

Dalam mencari hubungan dengan bagsa Asia lain jangan lupa bahwa semua itu terletak dari besar kecilnya usaha kita. Seperti kata Allah "Allah tak merobah keadaan suatu rakjat, djikalau rakyat itu tak merobah keadaannja itu sendiri"- tanpa usaha yang keras, kita tidak mungkin bisa mencapai Indonesia Merdeka. Pekerjaan bersama dengan bangsa Asia lain adalah sebagai katalisator, pencepat,  akan tetapi ia bukanlah pembawa kemerdekaan satu-satunya.

Zaman ini memaksa kita untuk melebarkan pengaruh kita ke luar batas-batas negara. Kita akan menjadi saksi perkelahian yang maha hebat di lautan Teduh antara raksasa-raksasa imperialis Amerika, Jepang, dan Inggris yang berebutan mangsa dan berebutan kekuasaan. Kita harus mempersiakan karena kita terletak di pinggiran benar Lautan Teduh itu. "Janganlah kita kebutaan sikap", begitulah ungkapan Bung Karno.

Suluh Indonesia Muda, 1928

Posted on Thursday, July 11, 2013 | Categories:

Wednesday, July 10, 2013

Review Buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I

Bab : Di Manakah Tinjumu ? ( Hal 25-35)

Buku di Bawah Bendera Revolusi
(doc. google.com)
Yang menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk adalah karena sistem ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis ataupun sosialis sangatlah berpengaruh bagi negara penganutnya. Sejak tahun 1810-1905, pertumbuhan penduduk Hindia-Belanda per dua puluh tahun menurun. Ini disebabkan berturut-turut oleh sistem ekonomi kultur stelsel, dan kemudian berganti dengan sistem ekonomi kapitalisme (penanaman modal asing).

Menurut Soekarno, emigrasi ke luar pulau Jawa tidak rasional jika didasarkan banyaknya jumlah penduduk per satu kilo meter persegi. Emigrasi akan berlangsung secara alamiah jika keberadaan rizki di tanah jawa berkurang.

Banyaknya jumlah penduduk di tanah Jawa ini akan mengarahkan rakyat untuk bergerak ke sektor industri, dimana ini akan menggantikan sistem pertanian dan akan menyerap banyak tenaga kerja. Hanya dengan satu syarat industri ini dibangun dengan kaki tangan sendiri, tanpa campur tangan asing.

Tumbuhnya industri ini juga yang menyebabkan emigrasi. Misalkan pembuatan industri kain. Oleh karenanya, dibutuhkan ladang yang luas untuk menanam kapas. Solusinya penduduk Jawa yang banyak itu harus emigrasi ke Sumatera untuk menanam kapas.

Overbevolking (over jumlah penduduk) akan bisa diatur bukan dengan pembatasan jumlah penduduk (program KB misalnya) tetapi dengan pembuatan sistem ekonomi untuk kepentingan rakyat.

Suluh Indonesia Muda, 1928

Posted on Wednesday, July 10, 2013 | Categories:

Saturday, July 06, 2013

Merdeka 100 % Tan Malaka

doc google.com
Sepanjang hidup Tan Malaka dihabiskan untuk perjuangan. Ia hidup dalam pelarian dari berbagai negara. Tercatat ada 11 negara dari 2 benua pernah disinggahi Tan selama pelarian. Tan Malaka adalah seorang marxisme. Paham ini ia dapatkan saat studi di sekolah guru Belanda pada 1913, Rijks Kweekschool, di kota Harlem. Tempat tinggalnya juga sangat mempengaruhi pemikiran Tan. Awalnya Tan tinggal di jalan Nassaulaan. Tak lama Tan tinggal di sini, kemudian Tan pindah di kompleks buruh di jalan Jacobijnestraat. Disinilah Tan mulai mengenal pemikiran Marx dan lainnya. Pada 1916, Tan meninggalkan kota Harlem dan pindah di kota Bassum. Bassum adalah kota para borjuis. Disini Tan tinggal sampai Mei 1918. Belajar dan mengalami realita langsung inilah yang jadikan Tan begitu gigih untuk perjuangkan kaum ploletar, dan sangat membenci kapitalisme dan imperialisme.

Jauh dari Soekarno, Menuju Indonesia Merdeka (1933) dan Mohamad Hatta, Indonesia Vrije (1928) yang menulis buku tentang konsep negara merdeka Indonesia, Tan Malaka saat pelarian di Kanton, sudah ciptakan buku berjudul Naar De Republiek Indonesia di tahun 1925. Buku inilah yang menjadi pegangan Soekarno dan pejuang kemerdekaan selanjutnya. Pemikiran Tan melampui zamannya, begitulah kalau bisa kita analogikan. Dalam buku tersebut, Tan tak hanya menyinggung Indonesia sebagai negara merdeka, namun juga Indonesia sebagai Republik. Negara Indonesia dalam pemikiran Tan bukanlah bersifat parlementer, melainkan sistem yang terintegrasi antara pembuat keputusan (legislatif) dan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan saling berkaitan sehingga diharapkan Indonesia menjadi negara yang kuat.

Tidak hanya disini, Tan juga menganut faham Indonesia merdeka 100% tanpa kompromi. "Selama masih ada satu orang musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan", ungkap Tan. Tan sangat menentang kebijakan Soekarno-Hatta yang mau bersekutu dengan Jepang. Dalam mata Tan, kemerdekaan Indonesia itu tidak dihadiahkan, melainkan direbut. Jiwa Tan terlihat dari sepanjang hidupnya yang terus bergerilya dan hidup diperlarian. Sikap Tan tidak disukai banyak tokoh nasional seperti Hatta dan juga Soekarno, Ia pernah diperjara selama dua tahun (1946-1948) tanpa peradilan. Biarpun begitu, Tan tetap terus kukuh dalam pendiriannya. Keluar dari PKI, Tan mendirian Partai Republik Indonesia (PRI) di Thailand (1927). Partai tersebut tidak berusia lama, kemudian Tan mendirikan Partai Murba (1948). Tan tercatat pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia selama setahun di tahun 1921-1922.

Jika orang-orang mengenal Tan seorang komunis seperti Trotsky yang membuat onar, ternyata Tan bukanlah demikian. Tan tidak sepenuhnya setuju kepada kebijakan komunis internasional (komintren) yang berpusat di Moskow. Saat sidang komintren, Tan berpidato. Isi dari pidato Tan adalah melibatkan pan-islamisme untuk bergabung bersama komunisme dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Tan memandang kelompok Islam sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme. Pidato Tan disambut riuh oleh para peserta sidang, namun tidak halnya dengan dewan pusat komintren. Ide Tan ditolak. Namun, biarpun begitu Tan tetap menjalankan idenya saat berjuang di tanah air.

Pasca kemerdekaan, Tan tetap bergerilya di berbagai daerah. Musuh Tan sangat banyak termasuk dari petinggi-petinggi PKI. Tan pun akhirnya terbunuh pada 21 Februari 1949 di kaki Gunung Wilis Kediri. Saat itu Tan berusia 51 tahun. Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk melawan penjajah, namun Tan pun mati di tangan bangsanya sendiri.

Referensi : Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan, Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa