Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Sunday, October 02, 2022

Mengelola Inovasi di Perguruan Tinggi

Inovasi sederhana dapat diartikan sebagai suatu kebaruan baik dari produk atau jasa, proses, maupun model bisnis [1] yang dipakai. Dipakai berarti dimanfaatkan sehingga mampu menciptakan kemudahaan bagai pemakainya yang membuat kehiduapan menjadi semakin baik. Inilah yang membuat inovasi penting karena memiliki nilai tambah (added-value) sehingga memungkinkan orang untuk membeli atau menggunakannya. 

Perguruan tinggi merupakan bagian dari industri pendidikan dalam kacamata kapitalisme yang memungkinkan benefit bagi pihak yang berada dalam industri ini. Benefit ini dapat dihasilkan melalui penjalanan praktik inovasi didalamnya. Namun sebelum mengarah ke sana, perlu disadari bisnis utama perguruan tinggi adalah pengajaran yang selanjutnya bisa berkembang ke arah penelitian, konsultansi, dan model bisnis lain. 

Jika kita break down ke arah jenis inovasi, bisa kita optimalkan revenue dari masing-masing jenis:

  • Inovasi produk atau jasa, bagi perguruan tinggi yang kuat di riset sebagai, hasil riset bisa dijual ke industri melalui licensing atau kolaborasi spin-off. Atau pengetahuan yang tangible dari para dosen dapat dijual ke berbagai pihak sebagai bagian dari workshop.
  • Inovasi proses, bagaimana proses pengajaran disesuaikan dengan relevansi zaman informasi misalkkan universitas dapat memaksimalkan platform secara memungkinkan pendidikan tidak hanya dilakukan secara offline, melainkan juga online.
  • Inovasi model bisnis, pengajaran sebagai sumber revenue dapat ditingkatkan melalui optimalisasi sumber lain seperti consulting atau kerjasama dengan open platform pengajaran lain.

Pastinya, usaha besar harus dilakukan oleh Perguruan Tinggi jika ingin optimalisasi inovasi yang saya sebutkan di atas. Perlu dukungan berbagai faktor jika ingin sukses menjalankan ketiga jenis inovasi di atas.  


[1] https://www.northeastern.edu/graduate/blog/types-of-innovation/

Monday, May 04, 2020

Pekerja Informal di Masa Corona

Berdasarkan data yang dihimpun John Hopkins University per hari ini (4/5) bahwa terdapat lebih dari 3.5 juta penduduk dunia terinfeksi virus corona dengan lebih dari 240 ribu meninggal dunia. Sementara di Indonesia terdapat 11,192 penduduk yang terpapar virus ini dengan 845 di antaranya meninggal dunia.

Saya tidak kan menulis serius terkait pandemi yang disebabkan virus ini karena sudah saya tulis di majalah ITB yang rencananya akan terbit Juli nanti. Di tulisan ini saya akan mencoba berefleksi tentang nasib pekerja informal di masa pandemi ini dan bagaimana kita sebagai pekerja formal seharusnya bekerja.

Pandemi virus corona pastinya sangat menampar sektor informal seperti PKL, toko kelontong, pekerja seni, dan sebagainya. Satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah saat ada orang yang mau datang dan beli dagangan mereka atau untuk pekerja seni ketika ada pertunjukan/undangan manggung. Kini tidak mungkin semua itu ada seperti sebelum corona. Di masa ini jikapun masih ada permintaan, frekuensinya pasti sangat kecil dan itupun tidak cukup untuk sekedar dipakai makan.


Mereka para pelaku informal dihadapkan pada kondisi sulit, dilarang keluar untuk bekerja oleh Pemerintah dan berpeluang tertular virus, sementara jika tinggal di rumah saja tidak ada penghasilan. Kondisi sulit ini membuat mereka melakukan apasaja untuk bertahan hidup, menjual apapun yang bisa dijual. Atau jika beruntung ada tabungan, maka tabungan ini yang dipakai. Mereka yang paling terdampak ini seharusnya mendapatkan perhatian dari Pemerintah dengan diberikan bantuan langsung seperti BLT.

Namun nyatanya bantuan Pemerintah berwujud lain seperti Pra-Kerja yang banyak salah sasaran dan juga isinya adalah pelatihan yang tidak dibutuhkan. Juga ada bantuan seperti sembako dari Pemerintah yang entah itu diberikan ke orang yang tepat atau tidak. Di sini saya kemudian menyayangkan Pemerintah yang terlihat tidak kompeten mengurusi negara di saat pandemi. Jelas-jelas rakyat butuh makan, harusnya dikasi duit. Mustahil Pemerintah tidak punya duit karena apapun kini dipajaki dan subsidi pada dicabut. Duit ini dicairkan melalui mekanisme yang tepat dan disalurkan ke orang yang tepat. Kan sudah sering gembar-gembor industri 4.0, kalo ini gak bisa diterapkan jangan pakai jargon itu lagi nanti.

Pekerja Formal

Melihat kondisi pekerja informal yang perlu dikasihani, saya merasa berdosa jika saya yang bekerja di sektor formal (biarpun kontrak) nyantai-nyantai saja. Saya lebih beruntung gaji dibayarkan total sehingga kebutuhan bulanan dapat tercukupi. Meskipun harus diakui produktivitas turun saat pandemi ini tapi itu bukanlah excuse kita untuk tidak perform dalam bekerja. Jam kerja saya tetap sama 24 jam seperti sebelum pandemi. Saya punya pakerjaan lain di luar sektor formal (birokrasi) yang itu membantu saya menghabiskan waktu saya di masa pandemi ini. Pekerjaan birokrasi ini intensitasnya menurun drastis dan membuat kita malas dalam bekerja. Namun, kemalasan kita ini dikompensasi dengan gaji full.

Saya kira tidak patut bagi pekerja formal yang mendapatkan gaji full namun bekerja dengan beban pekerjaan yang jauh kecil. Rasanya seperti liburan yang digaji. Jika pekerja informal harus banting tulang gimana caranya dapat duit, ini pekerja formal malas-malasan dapat duit. Mungkin inilah alasan banyaknya orang Indonesia yang tertarik masuk di sektor formal khususnya PNS dari lembaga Pemerintah. Pekerjaan saya di sektor formal saya akui tidak berat, makanya saya mencari pekerjaan lain yang terkait dengan tempat kerja atau tidak meskipun seringkali tidak dibayar. Saya merasa tidak jadi orang kalo mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa adanya tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi saya.

Kita anak muda yang merupakan "knowledge worker" ketika bekerja di sektor formal seperti birokrasi harus bersabar di tengah mayoritas pekerjanya yang "formal worker" yang minim kreativitas. Jika di lingkungan pekerjaan knowledge-based economy mengapresiasi kreativitas, ide, dan gagasan, jangan harap hal-hal itu diapreasiasi di sektor formal seperti birokrasi. Teringat suatu ketika ada perwakilan Kementerian datang presentasi tentang rencana lembaga tersebut menerapkan manajemen bigdata dan ternyata itu hanyalah manajemen data biasa.

Saturday, August 31, 2019

Manusia Ganesha


Biasa sabtu pagi sehabis jogging di GOR Saparua, saya sarapan dan ngopi di Tjihapit. Saat ngopi, saya ngobrol-ngobrol dengan orang-orang yang ada di sana. Tidak biasanya obrolan tadi terkait manusia ganesha, atau manusia ITB.  Wah ini topik sensitif nih, karena aku bagian dari situ. Aku sudah 10 tahun hidup di kampus ini dari mahasiswa S1,S2 sampai kerja, jadi ini auto-kritik buat saya juga. Setelah obrolan selesai saya bergegas pulang ke kosan, buka laptop dan segera nulis hasil obrolan tadi. Alasan saya sederhana, buat reminder bagi saya dan mungkin buat para pembaca sekalian, khususnya yang merupakan bagian dari kampus ganesha. Aku kasi judul tulisan ini, “Manusia Ganesha”.

Manusia Ganesha itu …

Dalam sebuah obrolan dengan adik saya yang merupakan alumni dari Airlangga, dikatakan bahwa anak ITB itu ambis. Dia amati teman-temannya yang masuk kemudian lulus dari ITB menurutnya pada punya karakteristik yang sama, punya ambisi yang tinggi dengan cita-citanya masing-masing. Saya tak berfikir panjang mengiyakan, karena saya juga orangnya ambis. Bahkan saat bertemu adik, seringkali bukan obrolan santai keluar justru topik mimpi-mimpi besar di masa depan, nasihat-nasihan ke adik, dan lain-lain yang serius. Karena sudah menjadi kebiasaan, saya ngerasa biasa saja dan tidak aneh. Sementara orang-orang lain bisa jadi menganggapnya aneh. Konsekuensinya lingkaran pertemanan saya terbatas pada orang-orang yang setipe, manusia dengan mmpi-mimpi dan idealismenya. Jadi saya merasa susah ketika harus bertemu dengan orang lain, merasa “kikuk” dan sebagainya.

Ada tambahan lagi dari kawan dari kedai kopi tadi bahwa manusia ganesha itu secara kultural terbentuk sebagai elitis. Saya kira ada benarnya ya kalo orang ITB itu merasa terbaik, “cream of the cream” istilahnya. Kayak Real Madrid dengan sebutannya “Los Galacticos”, manusia dari galaksi lain. Sifat elitis ini tak hanya dimiliki oleh para dosen, namun juga mahasiswa bahkan pegawai. Alumni juga termasuk. Elitis ini implikasinya sukar menerima hal baru, dianggap keliru kah dan sebagainya. Akibatnya kerjasama atau kolaborasi dengan orang lain jadi susah. Bahkan untuk berkomunikasi sekalipun. Saya tidak ambil sampel orang lain, saya sendiri saja. Tadi kawan mengkritik saya secara langsung, “Mas ini sudah lama ke sini, tapi mas hanya ngobrol dengan saya”, “Njir, ini menohok banget”, kata saya dalam hati.

Setelah saya fikir-fikir, meskipun saya tidak merasa elite, orang lain memandang saya begitu. Kritik kawan saya adalah bukti bahwa saya selama ini belum bisa bersikap santai pada semua orang. Mungkin ada benarnya adik saya bahwa saya masih ambis dengan aneka mimpi-mimpi dan target. Sebagai upaya untuk mencapai mimpi, saya pun berinteraksi dengan orang-orang setipe yang ambis juga. Hasilnya, saya kaku dan tidak bisa bergaul secara santai dengan orang-orang yang berbeda. Ketika berkomunikasi, topik-topik yang dipilih adalah topik-topik serius yang in-line dengan mimpi-mimpi besar dan seterusnya. Jelas saja orang jadi “eneg”, “Ngomong apaan sih elu ?, Gue gak butuh..”.  Nyesek sih, tapi gimana lagi udah kejadian. Tapi untungnya aku sadar kalo selama ini aku punya sifat yang keliru, ada kesempatan bagi saya ke depan untuk memperbaiki.

Jadi Manusia Ajah

Gak salah dengan ambis, tapi kadarnya harus ditakar. Masak ngobrolin inovasi teknologi ama pedagang lontong sayur, yang bener aja. Artinya harus nyesuain diri sama masyarakat sekitar. Itu memang tidak mudah bagi seorang yang sudah kebentuk secara budaya di “Negara ITB” sebut temen saya tadi. Intinya harus cepet sadar kalo selama ini kita (lebih tepatnya saya) sudah dirasa orang lain sebagai elite. Biasa saja bersikap dengan siapapun tanpa terkecuali, lepas baju Ganesha-mu, jadilah manusia ajah, “merely human”!. Jadi manusia itu sederhana tapi karena sederhana jadi susah. Kata Leonardo da Vinci, “Simplicity is the ultimate sophistication, sesuatu yang sederhana pada dasarnya adalah kecanggihan luar biasa”.  Karena sederhana itu canggih dan itu susah dijalankan, maka harus dilatih. Menjadi manusia yang tidak elitis harus dilatih, biar apa ? jadi manusia ajah, embel-embel “Ganesha”-nya ilang.

Tadi kawan saya tanya, “Lantas kelebihan anak ITB itu apa?”, “Percaya Diri-nya tinggi”, jawabnya. Nah, bagi saya ini positif. Tapi terlalu PD-nya bisa jadi sombong. Sombong dan PD itu dekat biarpun beda. Nah tinggal bagaimana kombinasi antara “manusia ajah” dan “PD” jadi “Manusia ajah yang PD”.  Saya tafsirkan istilah tersebut sebagai manusia dengan tujuan, manusia dengan goal. Artinya tidak mampir minum aja hidup di dunia ini, tadi dia berbuat meskipun kecil pengaruhnya. Tambahan syarat lagi yakni itu semua dilakukan dengan sadar artinya dia tahu alasan mengapa dia memiliki tujuan itu, tidak asal ikut-ikutan saja. Bagi aku sih, ini paripurna banget kalo orang ITB (khususnya saya) punya sikap itu. Kita jadi manusia gak belok-belok, tapi ada sesuatu yang pengen dicapai sebelum masa hidup di dunia ini selesai.

Aku jadi teringat ada seorang mengatakan, konon dengan masifnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dengan banyaknya robot yang akan bantu kehidupan manusia, manusia akan jadi manusia paripurna. Kata Elon Musk dan juga Founder Softbank (lupa gue namanya) bilang kalo robot akan lebih cerdas jadi manusia, ini aku setuju, tapi robot tidak punya empati, kreativitas, rasa cinta, dan sebagainya yang itu hanya dimiliki oleh manusia. Nah, sisi itu yang kini hilang karena manusia “teralienasi” dengan hadirnya impact dari teknologi (juga yang lain) kayak elitis yang saya sebut di atas akan dimiliki kembali oleh manusia secara umum. Di situlah, manusia jadi saling berinteraksi dan berkolaborasi dengan yang lain tanpa bedakan latar belakang almamater, pangkat, posisi, dan lain-lain. Manusia akan menjadi makhluk sosial. Tegasnya manusia secara sadar butuh manusia lain. Moga aja betul hadirnya robot membuat kita menjadi manusia utuh, atau justru sebaliknya kayak film Skynet (bener gak) ? Entahlah. Tetap yang terpenting, kita (saya) menyadari bahwa sikap kita (saya) selama ini salah, kita (saya) harus mengubahnya.  

Wednesday, April 03, 2019

Akademik x Profesional


Akademik dan profesional menurut banyak orang adalah dunia yang berbeda. Di akademik, seorang dituntut untuk mengajarkan pengetahuan (lama/baru) dan menciptakan pengetahuan baru (riset). Sementara di dunia profesional, seorang dituntut untuk menyelesaikan persoalan dengan tata-cara baru atau sama sekali baru dengan berbasiskan manajerial yang kuat. Konkretnya, di akademik performa Anda ditentukan dengan capaian di SKS yang Anda ajarkan dan publikasi Anda di jurnal ternama, sementara di profesional bagaimana perusahaan mendapatkan profit setelah kehadiran Anda. Lantas apakah dua hal ini bisa dijalankan secara beriringan dengan tentunya sama-sama menghasilkan output dan outcome yang positif untuk Anda dan instansi ?

Saya berkesimpulan bisa. Tentunya ada alasan mengapa saya berpendapat begini. Berikut saya akan jelaskan.

Dunia akademik dan profesional memiliki irisan yaitu pentingnya suatu yang baru atau istilahnya inovasi yang didapatkan melalui riset atau penelitian. Dalam meneliti pastinya Anda dituntut untuk menemukan suatu yang baru baik berupa pembuktian teori untuk konteks tertentu, menyelesaikan persoalan dengan teori tertentu, atau bahkan menemukan teori baru. Sementara di profesional, Anda dituntut untuk melakukan perbaikan (improvement) tertentu sehingga sistem organisasi perusahaan atau instansi menjadi baik sehingga profit. Irisan yang sama ini memang memiliki konsekuensi yang berbeda. Jika dalam riset, hasil sebagaimanapun tidak terlalu berpengaruh karena tidak musti akan dipakai di dunia rill, namun di perusahaan/instansi akan sangat berpengaruh langsung.

Menariknya, terlepas irisan ini berbeda dalam hal konsekuensinya namun memiliki kesalingterhubungan jika keilmuan Anda adalah ilmu manajemen. Menjadi ampibi dengan hidup di dua dunia (akademik dan profesional) memperkaya Anda akan pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience). Anda akan terlatih secara olah pikir (thinking) dan keterampilan (skill). Di riset seringkali ditumukan gap yang besar dengan dunia rill, karena di awal kita set kerangka (framework) dengan variabel yang terbatas tentunya. Sementara di dunia nyata, kita tidak bisa tentukan variabel itu. Terawangan (sense) riset kita akan menangkap bahwa temuan di dunia rill melalui kerja profesional dapat menjadi dugaan (hipotesis) kita untuk tema penelitian dan juga bahan ajar secara contoh kasus (case study). Begitu pula sebaliknya, jika kita memiliki kerangka dalam me-manage sebuah instansi/perusahaan sebelumnya itu akan memudahkan kita untuk menginisiasi program secara langsung tanpa membuang waktu lama untuk brainstorming. Kita bisa men-set perencanaan (planning) secara lebih matang.

Dalam praktiknya memang sangatlah tidak mudah. Namun, tidak bagi yang memiliki passion di sana. Dua hal ini akan dapat dikerjakan secara beriringan dengan porsi/takaran yang pas karena rumusan/formula untuk keduanya sudah jelas. Capaian (goal) juga sudah jelas. Tinggal jam terbang saja yang ditambah. Dengan demikian, seorang yang mampu bekerja di dua dunia ini dengan kriteria di atas, akan menjadikannya guru yang baik untuk universitas dan juga instansi/perusahaan yang dia bantu. 

Saturday, March 23, 2019

Kartini dan Pandangan Saya tentang Perempuan



Siang tadi saya menyelesaikan menonton film “Kartini” karya Hanung Bramantyo (2017) setelah semalam jeda karena kuota hampir habis. Film biografis ini mengeksplorasi bagaimana sosok Kartini kecil yang sudah kritis akan kakunya budaya bangsawan Jawa, mengenal karya-karya kritis orang Belanda dari kakaknya, dan menjadi penulis yang cukup produktif. Menariknya seorang Kartini adalah bagaimana Ia bisa memberikan pandangan melalui olah pikiran terus-menerus yang diekspresikan melalui tulisan dan aksi sosial yaitu pendidikan. Ia berfikir sebelum membaca dan buku-buku adalah stimulan dia untuk semakin kritis untuk mempertajam tulisan dan aksi sosialnya tersebut. Ia bukan pemuja Belanda namun dari Belanda-lah Ia mengenal arti dari kebebasan dan kesetaraan pria-wanita untuk mengeyam pendidikan. Kartini berujar bahwa wanita tidak boleh bodoh, namun Ia tetap menerima keadaan sebagai seorang Jawa yang harus menjunjung tinggi budayanya.

Kartini tidak lantas berujar bahwa pria-wanita setara dalam segala hal. Ia amat faham arti kesetaraan itu dan kesetaraan dalam segala hal tidaklah mungkin. Kartini dapat berdamai akan nasib seorang anak bangsawan (Bupati Rembang) yang harus diperistri oleh kaum bangsawan lain (Bupati Jepara) guna mempertahankan eksistensi kebangsawanan mereka. Berdamai di sini tidak lantas diartikan dengan pasrah. Beda sekali. Kartini mengajukan empat syarat kepada calon suaminya. Dua poin yang paling saya ingat yaitu saat nantinya Kartini resmi menjadi istri, keluarga harus memperlakukan ibu kandungnya dari sebagai pembantu menjadi layaknya keluarga bangsawan. Kedua, suaminya mengizinkan Kartini untuk membuka lembaga pendidikan untuk kaum perempuan. Pengajuan syarat seorang perempuan bangsawan pada masa itu adalah tabu dan Kartini menerobos ketabuhan itu dengan keyakinan. Terkabulnya syarat-syarat tersebut adalah wujud kesuksesan Kartini untuk mengangkat derajat kaum perempuan.

Perempuan dan Karier

Kartini adalah sosok yang menjadi role model banyak perempuan modern di zaman ini. Namun amat disayangkan bahwa pemahaman banyak perempuan akan kesetaraan yang diperjuangkan Kartini tidak utuh. Ada yang mengatakan kesetaraan terwujud dalam bagaimana perempuan harus berkarier tinggi layaknya lelaki. Ada juga yang mengatakan perempuan bebas memilih pekerjaan apapun layaknya lelaki. Ada bahkan yang mengatakan dalam ranah kepemimpinan (bahkan di dalam keluarga), perempuan berhak memimpin layaknya laki-laki. Anggapan ini ada benarnya namun tidak cukup tepat jika kita benturkan dengan konteks Kartini pada masanya. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjalankan fitrahnya masing-masing. Fitrah laki-laki adalah pemimpin kaluarga yang memastikan keluarga berjalan secara harmonis, sedangkan perempuan adalah menjadi ibu bagi anak-anaknya kelak. Begitu juga dengan fitrah-fitrah lainnya. Fitrah ini jika tidak dipatuhi berpotensi menciptakan ketidakstabilan dan berujung pada ketidakselarasan hidup dan memudarnya arti bahagia.

Lantas apakah perempuan tidak boleh berkarier tinggi ? Sangat boleh, namun harus tetap memegangteguh fitrahnya sebagai perempuan. Memang pada akhirnya perempuan sangat kompleks menjalaninya, laki-laki tidak ada apa-apanya. Namun itulah kelebihan perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi manusia kuat. Di situlah perempuan membutuhkan asupan pengetahuan (knowledge) yang cukup di mana dengan itu Ia dapat menjalankan semua perannya secara bijak. Pengetahuan ini didapatkan tak sekedar membaca, melainkan juga dengan berdamai dengan realitas seperti yang dilakukan Kartini. Belajar terus-menerus akan mendorong perempuan untuk menjadi bijak dan kuat. Perempuan bukanlah pemuas lelaki, namun sebagai pelengkapnya. Dalam konteks berkeluarga perempuan tidak sekedar menjadi istri namun menjadi teman dan sahabat sekaligus bagi lelakinya. Di situlah letak kesetaraan itu ; menunaikan hak dan kewajiban sebagai istri, tidak merasa di bawah ketiak lalaki dengan menjunjung egaliter dalam memandang hidup, dan menjadi partner yang asik bagi lelakinya dengan tetap memperjuangkan tujuan hidup yang dipegangnya. 

Menunggu atau Menentukan

Perempuan yang meneladani Kartini sudah pasti tidak mengadopsi pandangan “jodoh sudah ditentukan” secara pasif namun mengartikannya dalam kerja aktif di mana istilah “ditentukan” adalah buah dari kerja. Di sini perempuan tidak menunggu seorang laki-laki yang pdkt kemudian memperistrinya namun Ia juga berjuang untuk mendapatkan suaminya kelak. Istilah “menembak” ini relevan tak hanya hanya untuk lelaki namun juga perempuan. Jika kamu perempuan dan suka akan lelaki tertentu sampaikanlah, jangan menunggu sampai lelaki itu menyampaikan. Bisa jadi itu tidak akan terjadi karena banyak juga lelaki yang cenderung “anget-anget tahi ayam” untuk memikirkan perempuan yang akan jadi istrinya kelak. Lelaki secara fitrah didominasi dengan logika, maka Ia akan mudah move-on saat perempuan pujaannya menolaknya. Berbeda halnya dengan perempuan yang lebih kepada perasaan.

Maka bagaimana sosok Kartini modern hari ini ?  

Kartini modern adalah seorang perempuan yang memiliki tujuan hidup dan berjuang untuk itu melalui pengasahan pikiran terus-menerus dengan  belajar sepanjang hajat  dan tetap berdamai pada realitasnya sebagai seorang perempuan.

Tuesday, December 11, 2018

Bagaimana Memajukan Iptek Indonesia


Sudah rahasia umum iptek kita masih belum maju. Upaya untuk jadikan iptek kita unggul sudah dilakukan sejak Indonesia resmi menjadi Republik meskipun terlihat lebih gencar di zaman Orde Baru ketika BJ. Habibie menjabat sebagai Menristek RI. Orde baru jatuh pada 1998, diikuti dengan kejatuhan iptek nasional. Setelah itu pengembangan iptek dilakukan namun tidak sesistematis Orde Baru dan dengan reduksi-reduksi seperti dorongan untuk publikasi di jurnal internasional terindeks. Ditambah lagi dengan sikap responsif Pemerintah dalam upaya turut serta menjawab dunia yang tengah berubah. Terlihat dari kampanye serba 4.0 tanpa adanya upaya sistematis bagaimana kita ke sana.

Sialnya ekonomi Indonesia tetap bisa tumbuh tanpa penguasaan iptek. Iptek pun menjadi barang mewah di Indonesia, seperti halnya belum lama ini ada salah satu kampus nasional yang berhasil membuat prototipe motor listrik, publik heboh. Padahal jika kita mau "search", Elon Musk dengan Tesla-nya sudah dapat menjual mobil listrik sporty-nya ke berbagai negara dunia. China juga melakukan hal serupa, juga produsen mobil konvensional lain juga sedang berlomba-lomba kembangkan mobil listrik. Ini memperlihatkan bahwa motor listrik bukan barang baru, ada hal yang esensial di mesin listrik ini yaitu baterai. Lantas riset terkait baterai di Indonesia seberapa masif ? Jika motor listrik nantinya diproduksi massal, apakah sudah siap R&D-nya sehingga produknya nanti bisa kompetitif ?.

Mulai dari Mana

Kita seolah gegabah ketika bicara iptek. Sekarang heboh industri 4.0, nanti lagi bisa ganti. Kita tidak pernah berkaca bahwa kita pernah berhasil kembangkan teknologi tertentu di masa lampau. Selain BJ. Habibie, kita punya teknolog lain seperti Samaun Samadikun, Iskandar Alisjahbana, dll, tapi tidak pernah sedikitpun kita tahu peninggalan mereka di bidang teknologi apa. Tahunya Samaun adalah ketua LIPI dan Iskandar adalah Rektor ITB, tidak yang lain. Padahal jika kita bisa mengeksplorasi teknologi yang dikembangkan mereka, kita bisa mulai tidak dari nol sama sekali. Konkretnya jika bicara industri 4.0, Pemerintah harus bisa mapping periset-periset ML, IoT, dsb yang menjadi landasannya. Tanpa itu, mustahil kita bisa berperan lebih di industri 4.0. Kita tak lebih hanya sekedar konsumen para kooporasi besar dunia.

Lantas bagaimana jika kita belum punya SDM mumpuni di bidang-bidang di atas ? Kita bisa tidak bermain di riset basic, namun ke riset terapan. Tapi tetap ini dengan mapping para pelaku nasional. Mapping ini tidak dengan mengundang sekenanya unsur akademik dan perusahaan lantas berdiskusi tentang regulasi apa yang cocok. Tidak sekedar itu ! Regulasi hanya satu unsur, ada unsur lain. Saran saya, perlu kita perhatikan supply chain global. Shenzen bisa jadi kota metropolitan hanya dalam waktu 40 tahun (Silicon Valley China) karena sangat faham dengan supply chain global. Rantai distribusi dibangun betul di sini. Artinya tidak ada kemajuan tanpa perencanaan yang matang dari A-Z.

Kualitas hidup orang Indonesia sekarang memang naik jika dibandingkan dengan periode awal Indonesia merdeka, tapi apalah artinya kita bisa "makan enak" tapi kita tidak punya daya apapun atas diri kita. Iptek sejatinya adalah mengisi lubang yang kosong dari sisi ketidakberdayaan itu menjadi keberdayaan. Dengan begitu, kata merdeka menjadi hakiki.

Saturday, August 18, 2018

FISH : Perkuat Keilmuan Baru Buka Prodi

Gedung Studi Pembangunan ITB

Secara pribadi saya sangat mengapresiasi hadirnya ilmu sosial di ITB. Pada 1993 silam berdiri Magister Studi Pembangunan ITB yang salah satu tujuannya adalah mengkaji pembangunan tidak semata ekonomik namun penegasan posisi iptek dalam pembangunan. Hadirnya jurusan ini membuat nuansa ITB tidak melulu membahas aspek teknik, namun ITB dapat menelaah aspek politik yang tengah berkembang. Pendiri jurusan ini yang saya tahu adalah para "pewarna" ITB yakni dosen-dosen yang sering mengkampanyekan urgensi iptek dalam berbagai forum. Satu orang yang saya tahu adalah Prof. Saswinadi Sasmojo (Pak Sas).

Era reformasi membuka peluang bagi ITB untuk lebih berani membuka pakem keilmuan baru di bidang sosial dengan hadirnya Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM). Fakultas ini didirikan pada 2003 dengan salah satu tokohnya adalah senior jurusan Teknik Industri, Prof. Kuntoro Mangkusubroto (Pak Kuntoro). Lahirnya fakultas ini sejalan dengan visi Rektor ITB saat itu, Dr. Kusmayanto Kadiman (Pak KK) yang mengadopsi prinsip entrepreneurship dalam memimpin ITB. Fakultas ini kemudian berkembang cukup pesat dan menjadi favorit baru baru lulusan SMA jurusan IPS di seluruh Indonesia.

Belajar dari Dua Pengalaman

Sebelum jurusan Studi Pembangunan lahir, terlebih dahulu ITB memiliki Pusat Penelitian Teknologi (PPT) pada 1973 yang salah satu fokusnya adalah memkampanyekan teknologi tepat guna pada masyarakat (lebih lanjut bisa baca tulisan lama saya). Artinya telah ada semangat dari segenap civitas akademika ITB lintas jurusan untuk menggapai kebermanfaatan dengan masyarakat melalui teknologi. Lahirnya jurusan ini sebagai langkah pemformalan ide yang sudah ada akan dapat terus dikembangkan.

Lahirnya SBM saya kira tak berbeda jauh dengan jurusan tersebut. Namun bedanya para tokoh SBM di awal-awal didominasi oleh para senior dari Teknik Industri sehingga nuansanya tidak cukup merepresentasikan ITB secara keseluruhan. Biarpun demikian, cikal bakalnya landasan fakultas ini diantaranya adalah visi Rektor ITB saat itu. Biarpun terdapat perbedaan signifikan dalam segi aktor : jurusan studi pembangunan cenderung grass-root dan SBM top-down namun kedua jurusan/fakultas ini lahir dari urgensi yang menjadi kebutuhan ITB saat itu.

FISH : Langkah Awal Seperti Apa ?

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISH) beberapa tahun terakhir menjadi pembahasan yang cukup intens di kalangan ITB bahkan masyarakat umum. Saya pernah mendapatkan cerita terkait pembahasan fakultas ini di Senat yang cukup alot. Biarpun sudah beberapa tahun dibahas, namun fakultas ini masih belum juga didirikan. Saya belum tahu persis apa yang menjadi alasan belum disepakatinya pendirian fakultas ini.

Berkaca dari jurusan Studi Pembangunan dan SBM, ada dua hal yang perlu dilakukan : 1) akar  keilmuan harus kuat, dan 2) dukungan top executive ITB dengan jejaring yang lengkap. Untuk kasus FISH saya kira langkah kedua memiliki korelasi kuat dengan langkah pertama. SBM bisa melakukan langkah kedua karena potensi uang jurusan ini besar dan sesuai dengan market Indonesia. Banyak orang yang tertarik dengan manajemen yang menjadi core keilmuan jurusan ini. Sedangkan FISH, potensi uangnya saya kira tidak sebanding dengan SBM. Satu-satunya yang dapat dijual adalah keilmuannya itu sendiri di mana dapat menjadi alternatif bagi pembelajar ilmu sosial seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.

Maka, menurut hemat saya pembahasan FISH di-suspend dulu, cukup dibahas saja jurusan baru seperti Ekonomi Pembangunan untuk S1 dan jika memungkinkan S3 untuk Studi Pembangunan. Kedua jurusan ini sudah ada akarnya yaitu Studi Pembangunan yang telah berdiri lebih dari 20 tahun. Jauh lebih penting lagi, perlunya dibuat knowledge milieu di bidang keilmuan sosial seperti kuliah umum, diskusi intens, jurnal ilmiah terakreditasi, dan sebagainya yang menjangkau seluruh civitas akademika ITB sehingga nantinya akan didapatkan cirikhas keilmuan sosial yang akan dikembangkan ITB. Jika yang dipikirkan sekedar berdirinya fakultas, saya tidak yakin keilmuan sosial akan terwarnai dengan hadirnya fakultas baru ini.

Tuesday, July 24, 2018

Dosen-Dosen Radikal ITB

Aula Barat ITB, simbol keradikalan "civitas akademika" ITB

Sekitar bulan puasa lalu, media massa banyak  mengangkat laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait perguruan tinggi besar tanah air yang terpapar radikalisme. Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satunya. Memang sih kampus ini radikal, saya akan ceritakan dalam tulisan ini. 

Pengalaman saya selama kuliah di ITB dari 2009-2017 (lama betul) saya merasakan aura keradikalan kampus ini. Sumber keradikalan itu salah satunya adalah dosen. Iya, kampus ini dihuni banyak dosen yang radikal. Banyak di antara mereka tidak hanya mengajar dan meneliti lalu pulang, tapi di benak mereka fikiran-fikiran besar yang membuat saya sebagai mahasiswa kala itu langsung menjadikan mereka sebagai idola.

Latar belakang saya dulu adalah wartawan kampus. Jadi saya tidak hanya kenal satu jenis dosen dari jurusan saya dulu di Matematika, namun banyak jurusan. Hampir semua jurusan pernah saya singgahi untuk sekedar menemui dosen dan saya wawancarai. Selain jurnalis yang kerjaannya turun ke lapangan, saya juga megang unit yang nyawanya saat itu adalah website dan media sosial. Akibatnya saya seringkali “ngepoi” dosen-dosen terlebih yang “radikal”. 

Nama-Nama

Siapa saja dosen radikal versi saya ? Pertama, Budi Rahardjo. Saya kenal nama Pak Budi kalo nggak salah sejak tingkat satu kuliah di ITB. Dia dikenal pakar IT. Semakin tua saya di kampus, semakin dalam mengenal beliau sampai pernah wawancara langsung beliau di rumahnya. Tahun lalu bahkan saya projekan bareng sama beliau. Radikalnya beliau adalah tidak kenal lelahnya beliau untuk mendorong anak-anak muda Bandung untuk buat startup. Tak hanya mendorong bahkan beliau ada pelaku startup itu sendiri. Perusahaannya berdiri, mati, berdiri, mati, dst. Bahkan belum lama ini beliau mendirikan perusahaan Internet of Things (IoT). Radikal !

Nama kedua adalah Djoko Sardjadi. Beliau saya kenal pertama kali saat saya menjadi peserta Technopreneuship Orientation Program (TOP) yang dibuat oleh Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirasusahaan (LPIK) ITB. Kala itu yang pertama. Pak Djoko saat itu memberikan wawasan ke kami terkait bisnis teknologi. Kesempatan yang lebih panjang dengan beliau saat saya melakukan studi perusahaan yang didirikan beliau yaitu UAVINDO untuk keperluan tesis. Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan buku yang mengulas perusahaan beliau dan perusahaan “anak cucu” beliau. Edannya Pak Djoko ini adalah totalilitasnya beliau dalam berindustri. Beliau pernah ketipu investor lalu perusahaannya jatuh, namun bangkit lagi. Tak hanya itu, melalui perusahaan yang dibangunnya, beliau adalah inspirator bagi karyawannya untuk mendirikan perusahaan lain. Terbukti ada sekitar lima perusahaan terkait teknologi drone yang dibangun karyawannya. Radikal !

Orang ketiga adalah Pak Adi Indrayanto. Saya baru kenal beliau tahun lalu saat diajakin projek ama senior. Pak Adi kala itu adalah ketua projek. Saat itu kita sedang ngerancang buku terkait bagaimana ngebangun industri perangkat Indonesia. Gairah Pak Adi saat bahas kebijakan industri sangat besar. Bahkan ketika Forum Group Discussion (FGD) dengan beberapa Dirjen dan perwakilan perusahaan, Pak Adi bisa dijuluki “singapodium”. Bayangkan dari pagi-sore, beliau mengendalikan forum. Energi beliau tak habis-habis. Radikal !

Selanjutnya adalah dosen pembimbing saya, Pak Sonny Yuliar. Awalnya saya anggap beliau ini dosen biasa saja. Namun, persepsi saya berubah 180 derajat setelah saya dibimbing tesis dengan beliau. Kala itu kami sering bimbingan di warung bakso Mandep. Pak Sonny jika membimbing tidak kenal waktu dan jelas “free of charge”. Pernah saya dibimbing sendirian 6 jam non-stop. Tak hanya itu, beliau anytime dapat dihubungi atau menghubungi. Pernah mendekati jam 12 malam, beliau kontak saya untuk sekedar menanyakan progres tesis. Beliau ini dosen yang benar-benar senang akan ilmu. Totalitas beliau ini yang membuat saya salut. Radikal !

Sampel terakhir yang akan saya angkat adalah Pak Mikrajuddin Abdullah. Sejak S1 saya kenal beliau, namun baru pertama kali ngobrol panjang dengan beliau saat wawancara tahun lalu. Beliau ini dah publikasi internasional lebih dari 100 jurnal, nulis sudah puluhan buku. Tapi beliau selalu katakan “biasa saja”. Beliau tidak pernah gembar-gemborkan reputasi mengkilapnya ini. Ya biasa aja menulis jurnal toh itu kan kewajiban dosen, jadi tidak ada yang spesial. Begitu kira-kira pelajaran yang saya ambil dari beliau. Radikal !

Ada lagi dosen-dosen lain seperti Pak Mubyar Purwasasmita (alm), Pak I Gede Wenten, Pak Hendra Gunawan, Pak Iwan Pranoto, Pak Yasraf Amir Piliang, Pak Acep Iwan Saidi, Pak Mohamad Tasrif, Pak Indra Budiman Syamwil, Pak Tisna Sanjaya, Pak Eko Mursito Budi, Bu Heni Rachmawati, Pak Widyo Nugroho Sulasdi, dan masih banyak lagi.

Menjaga “Keradikalan” 

Dari dosen-dosen radikal ini, secara pribadi saya merasa keradikalan kampus ITB ini. Mereka adalah contoh bagi saya untuk selalu menjaga “keradikalan” dalam berkarya. Tidak perlu khawatir akan masa depan selama niat kita baik untuk membangun bangsa. Melalui mereka ITB menjadi besar  dan akan tetap besar selama terus muncul dosen-dosen radikal dari kampus ini. 

Terakhir, saya ucapkan terima kasih banyak kepada dosen-dosen radikal ini karena berkat mereka wawasan saya menjadi lebih luas dari pada saat saya pertama kalinya menjejakkan kaki di kampus ganesha ini.

Sunday, June 03, 2018

Tidak Enakan



"Pernahkah kalian merasa tidak enak menyapa orang padahal pernah kenal ?"

Seolah sederhana menyampaikan sapaan ke orang yang pernah kita kenal sebelumnya. Tapi di realitanya tidak sesederhana itu. Ada banyak alasan mengapa kita kok tidak jadi nyapa. Misalkan karena lupa nama atau bukan teman dekat atau malu. Idealnya sapaan awal dengan menyebut nama orang yang kita sapa. Tapi seringkali kita lupa misal baru sekali interaksi atau lama banget tidak ketemu atau kita sedang banyak pikiran sehingga harus buka list kontak di hape siapa nama orang yang kita temui barusan. Dari pada manggil "Hei" terus dikacangin mendingan tidak panggil nama sekalian dan pura-pura kita tidak tahu.

Alasan kedua karena orang yang kira sapa bukan teman dekat. Seiring bertambahnya usia banyak dari kita justru pergaulannya terbatas, misal dalam lingkup tempat kerja saja. Apalagi saat itu kerjaan semakin padat, interaksi harian kita banyakan oleh rekan sesama kerjaan. Grup-grup WA dan mikro blogging lain dari teman lama sepi, dipenuhi orang itu-itu saja dengan bahasan yang tidak nyantai. Karena sebagian besar waktu kita habis dengan interaksi dengan teman kantor, kita pun jarang ketemu dengan teman lama. Suatu kita tak sengaja ketemu dengan teman lama yang tentunya tidak dekat-dekat amat, kita memilih menghindar. Dari pada ngobrolin kerjaan yang mungkin kita tidak seberuntung dia dalam mendapatkan pekerjaan, lebih baik woles sambil dengerin musik dari hape atau scroll news feed medsos biar seolah-olah tidak pernah melihat.

Ketiga adalah malu. Misalkan ketemu dengan dosen atau orang yang kita segani atau cewek yang pernah kita tembak dan gagal. Pikiran kita sudah menjustifikasi dulu, "anggap aja tidak ketemu orang itu". Ini kejadian bisa karena kita pernah berpengalaman buruk dengan dia, misalkan dosen ini pernah ngingetin kita pas kita salah, jadinya malu jika dia ingetin masa lalu kita dulu. Atau kita kecewa dengan orang itu karena pernah menggoreskan sejarah "buruk" dalam hidup kita. Kita buat alasan-alasan yang dibuat-dibuat. Akibatnya kita terperangkap pada kehidupan sempit, dengan lingkaran di mana kita ada saat ini misalkan lingkungan kerja seperti yang telah saya singgung di muka.

Interaksi sebagai Fitrah

Banyak dalil yang mengatakan bahwa silaturrahmi itu memperpanjang rizki. Kemudian orang bisnis beberapa mengatakan networking bisa membuat bisnis tambah besar. Itu tidak salah, beda perspektif saja. Bagi saya interaksi antar sesama (human interaction) adalah satu hal yang alamiah. Jadi menyapa orang terlebih yang pernah kita kenal adalah satu fitrah manusia, maka dalam perspektif ini jadi aneh orang yang tidak melakukan hal ini. Banyak saat ini orang mengkapitalisasi hubungan, orang mau interaksi karena ada benefit material. Mungkin mereka dipengaruhi pandangan bisnis seperti halnya facebook. Media sosial ini mampu mendapatkan keuntungan finansial dari hubungan pertemanan di platform yang ia kembangkan. Jika dikaitkan dengan perspektif yang saya angkat, tentunya ini tidak sesuai.

Nah, bagaimana dengan kita yang sudah cukup terbiasa dengan tidak enakan menyapa karena tiga alasan yang saya sebut di muka ?. Jika kita tahu hal itu tidak mengenakkan diri kita, berarti kita sudah sadar bahwa sikap kita itu tidak tepat. Maka satu-satunya cara untuk keluar dari perasaan ini adalah dengan melatih diri untuk menyapa orang khususnya orang yang pernah kita kenal, baik yang dekat atau jauh. Mungkin kita akan dikacangin, punya perasaan bersalah, atau malu berat. Tapi jika kita punya niatan kuat, kita pasti akan menganggap itu biasa. Oleh kerenanya kita butuh banyak latihan dan latihan. Kita akan berteman dengan banyak orang, bagaimanapun latar belakangnya. Kita tidak akan punya lawan, bagi kita satu-satunya lawan/musuh adalah diri kita, ego kita yang besar.


*) Gambar diambil dari kaskus.co.id

Saturday, April 07, 2018

Jika Saya Menpora RI

Tadi saya jogging di GOR Padjajaran dan tetiba saya kebayang ide ini. Maka setelah sarapan saya buka laptop, dengerin lagu reggae, dan segera menulis. Tulisan pertama saya kritik atas pejabat publik yang minim ide yang baru saja saya tulis di akun saya di medium.com. Tulisan kedua saya akan saya posting di blog ini. Isi tulisan seputar olahraga pastinya seperti judulnya. Sebagai pembukaan, saya suka olahraga khususnya jogging di mana saat ini adalah tahun kedua saya rutin melakukan cabang olahraga ini. Terlepas saya bukan pelari profesional, setidaknya saya cukup faham fenomena seorang pelari amatir seperti saya. Mungkin ini cenderung subjektif tapi biarlah. Pembaca sekalian bisa baca apakah ide ini cukup realistik atau mengawang.


Saya awali tulisan ini dengan kritik. Saya melihat Menpora RI saat ini gagal mewujudkan esensi dibalik dibuatnya Kementerian yang fokus menangani olahraga. Lantas apa esensinya ? Tak lain membuat rakyat Indonesia senang beolahraga sehingga memiliki tubuh yang sehat. Artinya prestasi nasional di berbagai cabang olahraga itu bukan tujuan akhir melainkan rakyat yang sehat-sehat itulah utamanya. Prestasi berbagai atlet kita itu menjadi duta bangsa untuk kampanye hidup sehat. Misalkan seorang anak malas main badminton, namun setelah melihat Marcus dan Kevin juara All-England, Ia jadi termotivasi untuk menjadi pemain badminton hebat. Jika ini menjadi gelombang besar, maka tidak ada ceritanya kita akan kekurangan atlet mental juara. Nah, saat ini Menpora umumnya cuma peduli pada turnamen-turnamen dengan embel-embel "mengharumkan nama bangsa". Ia terlupa bahwa itu tidak akan pernah terjadi jika anak-anak bangsa secara mayoritas tidak menyukai hidup sehat dengan berolahraga.

Lapangan di Berbagai Daerah

Jika dikatakan di Pemerintahan sekarang dibangun berbagai infrastruktur, kok infrastruktur olahraga tidak ? Ada sih, stadion sepak bola di berbagai daerah. Tapi itu kan khusus sepak bola (dan di cabang olahraga ini miskin prestasi) dan di kota-kota besar umumnya, kok tidak yang lain ? Jika satu stadion dibangun dengan habiskan dana 500 Milyar, alangkah lebih tepat duit itu dipakai untuk membangun/memperbaiki lapangan-lapangan di desa-desa/kecamatan-kecamatan karena di sana bibit-bibit atlet muncul. Jika 1 lapangan di desa habiskan dana 1 Milyar (ini cukup tidak hanya lapangan bola, melainkan juga volley, basket, dll), maka akan ada 500 lapangan baru berstandar dari berbagai desa di Indonesia. Masalah lapangan ini persoalan rill di desa-desa di mana saya rasakan betul ketika pulang kampung. Bertahun-tahun dusun saya tidak ada lapangan karena lapangan dipenuhi urugan tanah dari sungai. Akibatnya anak mudanya jika sekedar ingin main bola harus merogoh kocek yang lumayan di arena futsal komersil.

Jika dalam 5 tahun Menpora fokus saja bangun lapangan dengan anggarkan hanya 2,5 Triliun, maka akan terbangun 500 x 5 = 2500 lapangan baru di berbagai pelosok desa/kecamatan di Indonesia. Dari sana mulailah dibuat berbagai turnamen yang sifatnya kontinu. Kemenpora bisa menggandeng KONI daerah, bupati/walikota, dan Gubernur untuk menyelenggaran event ini. Dari sana seleksi atlet dari berbagai cabang olahraga akan bisa dilakukan. Yang terjadi sekarang kan jika seorang ingin jadi atlet harus ke kota dengan peralatan yang mahal, maka jangan harap atlet potensial dari berbagai daerah yang tidak punya duit bisa jadi atlet nasional. Saya sangat yakin jika Kemenpora fokus ini saja di satu periode, investasi ini tidak akan sia-sia.

Kembali ke judul, Jika saya Menpora RI,saya akan melakukan hal tersebut. "Itu tidak mudah mas", "Betul, tapi itu bukannya tidak bisa kan ?", kata saya dalam hati.

Friday, March 30, 2018

Ketika 5G akan Jadi Tren di Masa Depan

Menurut World Economic Forum (WEF), diprediksi pada 2019 jaringan 5G pertama kali akan diluncurkan. Ini menandai bahwa dunia akan bergerak dengan cepat dan big dengan koneksi internet yang berpuluh kali lebih cepat dari saat ini. Internet of Things (IoT) akan menjadi trend  baru di mana berbagai macam perangkat (device) akan terkoneksi dengan internet. Produksi data akan mencapai ukutan Terra Byte dalam ukuran waktu yang semakin pendek. Saat itu penggunaan big data menjadi umum di kalangan masyarakat. Sekarang memang sudah cukup familier, namun di masa IoT lebih lagi. Teknik pengolahan data dengan statistik mungkin akan semakin canggih lagi.


Ini adalah trend global dan mau tidak mau kita akan terkena imbasnya. Paling gampang tren tersebut akan mengubah pola hidup kita saat ini. Saya coba elaborasi peluang IoT di dunia pertanian kita, di mana memang kita ditakdirkan sebagai negeri agraris. Kita akan dimudahkan melihat kondisi padi yang kita tanam atau komoditas lainnya melaui kontrol otomatis dengan robot yang bernama drone. Di sana tingkat kesuburan tanaman akan bisa diukur sehingga waktu panen akan bisa ditentukan secara relatif presisi. Di sisi lain, unsur hara tanah bisa diukur dengan perangkat yang secara real time dapat dilihat di layar monitor komputer kita. Kondisi ini ditambah dengan alat traktor yang lebih canggih dan alat untuk menanam bibit yang bisa dilakukan dengan robot. Saya bukan menganjurkan untuk memodernisasi proses pertanian kita dengan alat yang saya sebut tadi melihat proses tanam kita saat ini masih sangat bergantung dengan orang, namun semangatnya adalah bagaimana produktivitas pertanian kita bertambah dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Saya khawatir jika kita tidak melakukan inovasi di dunia pertanian, kita akan di-overtake oleh perusahaan pertanian asing.

Saya optimis dengan masa depan Indonesia dengan anak-anak mudanya yang kreatif, namun jika peluang ke depan kurang dipahami atau hanya dipahami sebagian orang saja, kecil kemungkinan perubahan radikal akan terjadi. Semangat kolaborasi dan bagi-bagi peran sangat dibutuhkan untuk masa depan Indonesia. Kita perlu menyiapkan satu keunggulan bangsa ini di masa mendatang tak lain adalah kemandirian kita sebagai bangsa yang merdeka. 

Sunday, March 04, 2018

Endorsing New Model of Innovation System in Indonesia


Judul ini pas dibuat paper ilmiah dan dipresentasikan di forum internasional seperti konferensi. Tesis saya kemarin sebenarnya udah propose model sistem inovasi tapi tahapnya masi studi awal. Setelah tesis kelar dan saya mroyek bersama dosen STEI ngelihat persoalan di bidang industri TIK lebih riil. Apalagi setelah tahu bahwa tiap-tiap Kementerian punya road map-nya masing-masing dan seringkali tidak singkron satu dengan yang lain. Di situ saya kemudian mikir, penting adanya model sistem inovasi yang dapat menjawab problematika yang ada di dunia industri di bidang teknologi.

Model sistem inovasi yang saya maksud ini terntunya tidak sama dengan apa yang telah dirancang Pak Habibie di zaman Orde Baru. Saat itu kita tahu bahwa peran negara sangat dominan dalam menentukan arah kemajuan iptek nasional seperti dana pengembangan perusahaan di-backup oleh APBN. Sejak reformasi 1998, hal tersebut tidak mungkin terulang lagi karena Pemerintah tak lagi sekuat Orde Baru di mana pemain di level elite semakin banyak. Kalo dulu apa kata Presiden, sekarang tidak bisa lagi. Tarik kepentingan di legislatif saat ini kuat sekali. 

Ini yang membuat saya berfikir bahwa perlu diajukan sistem inovasi baru untuk menjawab ini semua ; tidak dibebankan sepenuhnya ke Pemerintah (state-led), tidak juga diserahkan begitu saja ke pasar (market-led). Proporsi dua kekuatan tersebut perlu diperhatikan agar pola pengembangan iptek terarah dan berkesinambungan (sustainable). Saya masih sependapat dengan langkah Orba di mana penguasaan iptek melalui industri jadi langsung berkaitan dengan pasar. Nah, model yang dapat mengkalkulasi ini semua mendapatkan berbagai macam batasan (boundary), seperti halnya :
  • Politik nasional yang masih belum stabil dengan saling tarik-ulur kepentingan 
  • Arus informasi lintas-negara dengan hadirnya teknologi informasi yang membuat batas-batas negara semakin tidak jelas
  • Masih kuatnya aliran ekonom konsumtif di Indonesia bukan produktif dengan mencipta produk bernilai tambah (add-value)
  • Ketidaksingkronan road-map antar lembaga Pemerintah seperti Kementerian dan negara
  • Minimnya jumlah industri di Indonesia yang kuat di riset
  • Birokrasi di lembaga Pemerintah/negara masih mengadopsi paradigma lama
Meskipun kita miliki berbagai keterbatasan di atas, namun kita juga memiliki beberapa kelebihan :
  • Hadirnya teknologi informasi memungkinkan kita mendapatkan sumber-sumber primer dari berbagai belahan dunia untuk pengembangan iptek nasional
  • Banyaknya generasi muda yang telah menyelesaikan studi S2/S3 dari berbagai disiplin keilmuan dan universitas terkemuka dalam/luar negeri
  • Etos kerja yang tinggi dan spirit kolaborasi dari generasi muda memungkinkan untuk bekerja lebih produktif
  • Hadirnya teknologi informasi memungkinan market tidak terbatas dari dalam negeri melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya
  • Bonus demografi yang mencapai puncaknya di tahun 2030
Dari kelebihan dan kekurangan di atas, saya berfikir untuk merumuskan model sistem inovasi baru. Semoga saya bisa menumpahkannya di paper ilmiah. Judulnya kurang lebih "Endorsing New Model of Innovation System in Indonesia". Semoga bisa terlaksana dalam waktu dekat, amiin.

*) Gambar diambil dari http://lbs.ac.at/the-performance-of-the-austrian-innovation-system/

Wednesday, January 24, 2018

[OBITUARI] Darah Intelektual Daoed Joesoef

Saya menyesal untuk menunda bertemu dengan beliau secara langsung dan kini beliau telah tiada. Karena beliau menulis, penyesalahan saya sedikit terobati  karena dari tulisan-tulisannya saya lebih mengenal sosok beliau lebih dalam. Jasadnya memang telah berpulang, namun jiwanya akan tetap ada bagi mereka yang membaca karya-karyanya.

**

Tidak banyak bagi seorang birokrat yang tetap kritis di saat jabatan tak lagi diembannya. Satu dari sedikit ini yaitu Daoed Joesoef. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) di era Orde Baru ini tetap tajam pada realitas dan juga kebijakan yang tengah dibuat Pemerintah. Ketajaman tulisannya terlihat pada pemilahan kata di setiap baris dengan tidak basa-basi (dan berlebihan) dalam mengadopsi konsep/teori tertentu namun eksplorasi realitasnya disajikan secara lengkap. Kalaupun mengadopsi konsepsi tertentu, Ia akan mengekstraknya sehingga sangat seirama dengan realitas yang coba disoroti. Jika kita lihat model tulisan beliau di KOMPAS, gaya tulisannya akan terlihat sangat filosofis. Jorga Ibrahim (dosen emiretus di Astronomi ITB yang juga sesama mantan mahasiswa di Sorbonne) dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa Daoed dikenal tajam dalam gagasannya,  sejak kuliah di Sorbonne Perancis dulu.


Kalangan pendidikan khususnya Perguruan Tinggi mengenal gagasan Daoed saat menjabat Mendikbud dengan NKK/BKK-nya. Pro kontra banyak terjadi. Sebagai mantan aktivis mahasiswa, umumnya kami memandang negatif gagasan tersebut karena bagi kami akan menjadikan mahasiswa tidak faham realitas, menjadi menara gading. Namun, puluhan tahun pasca tak lagi menjadi birokrat di Pemerintahan, beliau menuliskan berbagai opini terkait pendidikan yang umumnya menyoroti realitas pendidikan hari ini dan menyodorkan konsepsi pendidikan holistik. Selain pendidikan, ada juga masalah pembangunan di mana beliau soroti pembangunan yang lebih fokus pada areal fisik, tidak menyentuh aspek jiwa/mental sebuah bangsa. Bahkan beliau juga dengan tegas menyoroti paradigma lama ilmu ekonomi yang baginya tidak sesuai dengan konteks ada di masa kini. Tak hanya opini, Ia juga menulis buku berjudul "Studi Strategi : Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional". Juga saya kira ada buku lain yang beliau tulis.

Ada dosen yang mengatakan bahwa kritisnya Daoed pasca tidak lagi menjadi birokrat adalah bukti "taubat"-nya sebagai mantan Menteri di zaman Orba yang menggulirkan kebijakan yang justru membelenggu kebebasan akademik di sebuah Perguruan Tinggi. Saya tidak akan menanggapi pendapat tersebut, namun satu hal yang jarang dimiliki oleh pemikir di Republik ini adalah konsistensi dalam mereproduksi gagasan melalui tulisan dan ini dimiliki oleh seorang Daoed. Di usia yang semakin senja, Ia tetap konsisten. Sebagai seorang yang terpaut puluhan tahun dengan beliau, saya seolah tertampar ketika melihat tulisan beliau di kolom opini salah satu media massa nasional. Dalam hati saya, betapa buruknya saya jika hanya meratapi nasib padahal jiwa dan raga saya masih muda sementara beliau yang sudah renta tetap memiliki spirit muda : kritis dan optimis untuk menyongsong perubahan yang lebih baik. Maka, di saat kondisi pikiran yang kalut kemudian membaca tulisan Daoed membuat spirit yang tenggelam menjadi muncul kembali. 

**

Selamat jalan Pak Daoed, dedikasi intelektualmu pada bangsa ini moga mampu kami, anak-anak muda, teruskan. Sekali lagi selamat jalan, moga Tuhan yang maha Esa menerima amal baikmu. 


*) gambar diambil dari www.pmbs.ac.id