Showing posts with label pandemi. Show all posts
Showing posts with label pandemi. Show all posts

Thursday, December 31, 2020

2020 : Tahun Survival

Awal tahun 2020 awalnya tidak cukup baik-baik saja, pasalnya kakak saya keguguran. Saya kemudian pulang ke rumah secara tidak direncanakan. Saat itu saya sedang di BEC sambil ngeleptop di Upnormal. Setelah mengangkat telpon dari Ibuk, saya mendapatkan firasat kalo kakak bakalan keguguran. Langsung saya ke stasiun, reservasi di tempat, dan berangkat. Semua serba cepat dan singkat. Setibanya di stasiun Lamongan, saya menuju RSML dan ketemu keluarga. Tak lama setelah lahir, jabang bayi yang berusia 4 bulan dikuburkan semalam. Sorenya hari itu juga, orangtua mengantarkan saya ke stasiun menuju ke Bandung. Esok paginya ada rapat dengan pimpinan saya yang baru.

 

Masih di bulan Januari, saya sempat ke Jogja untuk menghadiri nikahan teman dekat saya saat Aliyah (SMA), sekalian bertamu dengan sepupu dan teman-teman dekat. Mungkin seminggu setelah itu, saya harus ke Jakarta untuk menjemput orangtua yang akan menghadiri wisuda adik di Depok. Kakak terpaksa tidak hadir karena recovery pasca keguguran. Alhamdulillah, wisuda di UI berjalan lancar. Pertama kalinya saya menghadiri wisuda di kampus ini. Saya datang agak siangan dari hotel sembari menikmati danau UI.

 

Bulan Februari, kabar virus baru menyeruak ke publik dengan berbagai drama dari Pemerintah. Pada 3 Maret, status pandemi ditetapkan Pemerintah dengan disertai kebijakan lockdown ala Pemerintah yang diistilahkan PSBB. Di awal-awal pandemi ini, berbagai diskursus terjadi di kalangan masyarakat mulai dari kritik ke Pemerintah yang tidak bener menangani pandemi, larangan ke luar, permodelan prediksi pandemi covid-19 akan berakhir, gotong-royong masyarakat untuk atasi pandemi, ancaman resesi, dan lain sebagainya. Intinya semua perhatian tercurah ke pandemi.

 

Sejak awal pandemi, saya tidak keluar sama sekali kecuali untuk hal yang urgen seperti halnya piket ke kantor. Iya kantor buka sejak awal pandemi meskipun dengan cara digilir. Sholat tidak pernah sekalipun di masjid, bahkan jumatan sekalipun. Selama satu Ramadhan penuh, saya ibadah di rumah. Sementara itu, makan saya dari Ibu kos sehari dua kali. Minuman biasanya pesan Go Food kalo tidak Chattime atau Kopi Kenangan. Saya diuntungkan satu : tetap bergaji dan disibukkan dengan pekerjaan. Saya tidak tahu jika pandemi yang menuntut saya tidak boleh kemana-mana tanpa dua hal tadi. Saya mungkin akan stres luar biasa.

 

Skip Lebaran

 

Untuk pertama kalinya, lebaran tidak di rumah. Saya sholat Ied sendiri di kosan. Saya sempat merekam dengan berbagai gadget yang saya punya, namun hasilnya belum juga ada karena belum punya waktu buat ngedit. Pasca sholat, saya video call keluarga dilanjutkan makan opor dari ibu kos. Malamnya saya sempat keluar dan melihat Bandung sepi sekali, seperti kota mati. Di waktu lain, saya sempat jogging keliling jalan Dago, sangat menakutkan karena sepi sekali. Khawatir dipalak orang-orang yang terpaksa memalak. Kita tahu bersama bahwa tak hanya pekerja pabrik yang banyak kehilangan pekerjaan, melainkan juga para preman, Pak Ogah, dan juga tukang parkir. Semua kena dampaknya.

 

“Selamat lebaran” pun hanya ada secara virtual. “Seperti tidak lebaran”, begitu kesan saya. Keluarga saya di rumah merayakan lebaran juga di rumah dengan Bapak sebagai imam. Tak hanya Idul Fitri, hari raya kurban pun saya tidak pulang. Namun, saat itu Bandung sudah ramai, jalanan sudah mulai macet. Saya melakukan sholat hari raya di masjid Salman dengan protokol lengkap. Pasca lebaran, kantor sudah lebih ramai untuk menyambut 100 tahun Pendidikan Tinggi Teknik (PTTI) ITB yang jatuh pada 3 Juli 2020.

 

Mencoba Tetap Sibuk

 

Terlalu sibuk memang tidak baik karena rentan stres, apalagi jika tidak ada kesibukan. Pastinya lebih stres. Saya diuntungkan sejak awal pandemi tetap sibuk. Sejak awal tahun saya membantu menuntaskan portal arsip statis ITB dengan mahasiswa IF dan alhamdulillah selesai sampai pertengahan tahun. Selanjutnya, terlibat lagi di website baru kampus di mana telah kami inisiasi sejak tahun lalu. Website ini di-launching beberapa hari sebelum 3 Juli 2020, tepat 100 tahun PTTI. Selain itu, pembuatan buku dengan MoTLab SBM dan juga pembuatan majalah tetap berlangsung. Majalah “ITB Magz” edisi reborn terbit pada 3 Juli 2020 secara online setelah terakhir terbit pada 2013 silam.

 

Patokannya setelah lebaran, saya mulai keluar untuk ngopi meskipun seringkali di dua tempat. Di waktu bersamaan, saya tengah menyiapkan persyaratan untuk studi S3 di SBM. Saya mengikuti tes TPA bahkan sampai empat kali baru lulus. Pertama beberapa saat sebelum pandemi ditetapkan sampai terakhir lulus dengan skor 575,17 setelah tes tanggal 4 Oktober 2020. Juga secara lebih aktif cari jodoh dengan mengontak beberapa calon potensial. Setelah Juli, saya dengan tim mempersiapkan proses penilaian PPID dan juga mulai mengerjakan majalah untuk edisi Desember 2020.

 

Capaian

 

Produktivitas saya dalam menulis atau membaca buku non-paper saya akui menurun drastis. Meskipun demikian, saya punya beberapa capaian. Pertama, terbitnya ITB Magz mulai dari Juli kemudian Desember 2020. Prosesnya tidak mudah karena berpindah stakeholders mulai dari Forum Guru Besar (FGB) berpindah ke Biro Komunikasi dan Humas. Implikasinya timnya berubah, begitupula konsepnya. Jika edisi Juli 2020 hanya versi online saja, di edisi Desember selain online ada cetak yaitu versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan masing-masing dicetak sebanyak 500 eksemplar.

 

Kedua, diterimanya saya sebagai calon mahasiswa S3 SBM. Sejak awal tahun pra pandemi, saya sudah merencanakan untuk mendaftar di DSM karena tidak memungkinkan saya untuk studi di luar negeri. Persiapan bahasa saya minim sekali. Alhamdulillah pada 24 November saya dinyatakan diterima. Saya akui saat wawancara buruk sekali karena tidak mempersiapkan untuk presentasi dalam bahasa Inggris. Hal itu membuat saya ragu untuk diterima. Namun alhamdulillah, terbayarkan sudah usaha saya empat kali tes TPA meskipun menyisakan tes ITP. Saya diterima dengan keharusan ikut matrikulasi mulai bulan depan. Saya sudah daftar dan bayar. Nantinya saya akan mengikuti kuliah sebanyak 9 SKS selama satu semester sebelum masuk DSM pada pertengahan tahun depan.

 

dia adalah capaian terbesar selama 2020

 

Capaian lainnya yaitu draft buku MoTLab sudah ada, menunggu review untuk saya revisi dan kemudian cetak. Prosesnya masih agak panjang, namun saya cukup lega karena draft-nya sudah jadi. Selain itu, saya sempat menjadi salah satu pembicara di webinar 100 tahun PPTI dengan dosen dan senior saya secara daring. Ini adalah sebuah kehormatan bagi saya. Dari webinar ini saya mengenal seorang Guru Besar Emiretus dari UI yang mengirimkan email ke saya setelah acara dan kemudian bertukar nomor WhatsApp. Selain itu, belum lama ini saya mulai lancar menyetir mobil setelah pertama kali mencoba pada 2010 silam.

 

Namun dari beberapa capaian di atas, bagi saya mendapatkan jodoh adalah capaian terbesar. Setelah berinteraksi secara daring pada 3 Juli 2020, esoknya saya bertemu di kedai langganan saya dan pada hari tersebut saya langsung yakin bahwa dia adalah jodoh saya. Setelah ketemuan itu, saya berinteraksi secara online selama dua minggu. Di saat menunggu tersebut saya sempat ragu, namun kemudian mantab setelah istikhoroh. 25 Juli 2020 saya jadian dan komitmen untuk serius. Sejak saat itulah malam minggu saya tak lagi sendiri. Kami memutuskan bertunangan pada 12 Desember 2020. Tunangan digelar di salah satu hotel di Bandung dengan dari pihak saya diwakili Bapak, Ibu, adik, dan Pak Lik. Kakak saya hamil tua sehingga berhalangan hadir.

 

 

Tetap survive

 

Pandemi berdasarkan prediksi akan berakhir setelah tiga bulan. Realita menunjukkan lain bahwa sampai sekarang pandemi ini tetap berlangsung dan bahkan lebih parah. Kini tidak jelas kluster adanya di mana. Satu-satunya harapan pandemi bisa diakhiri adalah dengan vaksinasi yang rencananya akan dimulai di awal tahun depan. Jika dulu yang kena covid seolah menjadi aib, saat itu seolah lumrah. Banyak orang dekat terkena covid bahkan ada dari keluarga saya. Virus ini telah masuk kampung saya di Jatim. Di bulan Agustus lalu bahkan sepupu saya meninggal karena penyakit ini. Bahkan di detik ini, keluarga saya berada dalam masa isolasi. Ada seorang positif dengan tanpa gejala.

 

Sebelum tunangan saya sempat pulang ke rumah pertama kali sejak pandemi yaitu pada Oktober sekitar 2 minggu. Kepulangan saya ini setelah saya menyelesaikan wawancara untuk masuk DSM dan beberapa hari setelah ibu dioperasi kakinya. Kepulangan kedua seminggu setelah tunangan yaitu selama 5 hari tepat di hari ulangtahun saya ke-30 (senang sekali pas ultah saya dihadiahi sebuah dompet dan sweater yang dibeli dari Jepang, thanks sayang ). Konsekuensi dari pulkam ini, saya harus menjalani rapid tes antibodi (2 kali di stasiun), tes swab PCR (1 kali di RSML), dan tes rapid antigen (1 kali di Klinik Kimia Farma Unpad Dago).

 

Namun di tengah kondisi yang serba dibatasi khususnya keharusan mematuhi protokol kesehatan dan berbagai fasilitas umum yang dibatasi/ditutup, saya merasa lebih dekat dengan keluarga. Biasanya dulunya seminggu sekali telepon, sekarang dua hari sekali. Ditambah lagi dengan adanya tunangan di mana  setiap hari kami berkomunikasi secara intens menambah semangat saya untuk hidup. Pandemi ini telah membuat saya (mungkin termasuk Anda) untuk memandang hidup dalam kacamata yang berbeda.

 

2021 : Harus tetap survive

 

Pandemi belum juga tanda-tanda berakhir, maka tak lain kita harus tetap bisa survive. Saya kira itu adalah tujuan utama di tahun depan. Tahun depan saya berencana menikah dan juga mulai kuliah S3. Saya kira itu adalah langkah besar saya dalam hidup karena keduanya memiliki konsekuensi yang besar. Tidak seperti 2020, kamar kosan saya akan menjadi kantor utama karena saya akan bekerja secara penuh waktu dari sini. Saya harus lebih patuh pada jadwal dan target yang saya buat sendiri karena tanpa itu rencana akan mudah gagal. Rencananya di awal tahun saya akan memulai riset S3.

 

InsyaAllah siap menjalani tahun 2021 dengan semangat, merdeka !

 

 

 

Bandung, 31 Desember 2020

Monday, May 04, 2020

Pekerja Informal di Masa Corona

Berdasarkan data yang dihimpun John Hopkins University per hari ini (4/5) bahwa terdapat lebih dari 3.5 juta penduduk dunia terinfeksi virus corona dengan lebih dari 240 ribu meninggal dunia. Sementara di Indonesia terdapat 11,192 penduduk yang terpapar virus ini dengan 845 di antaranya meninggal dunia.

Saya tidak kan menulis serius terkait pandemi yang disebabkan virus ini karena sudah saya tulis di majalah ITB yang rencananya akan terbit Juli nanti. Di tulisan ini saya akan mencoba berefleksi tentang nasib pekerja informal di masa pandemi ini dan bagaimana kita sebagai pekerja formal seharusnya bekerja.

Pandemi virus corona pastinya sangat menampar sektor informal seperti PKL, toko kelontong, pekerja seni, dan sebagainya. Satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah saat ada orang yang mau datang dan beli dagangan mereka atau untuk pekerja seni ketika ada pertunjukan/undangan manggung. Kini tidak mungkin semua itu ada seperti sebelum corona. Di masa ini jikapun masih ada permintaan, frekuensinya pasti sangat kecil dan itupun tidak cukup untuk sekedar dipakai makan.


Mereka para pelaku informal dihadapkan pada kondisi sulit, dilarang keluar untuk bekerja oleh Pemerintah dan berpeluang tertular virus, sementara jika tinggal di rumah saja tidak ada penghasilan. Kondisi sulit ini membuat mereka melakukan apasaja untuk bertahan hidup, menjual apapun yang bisa dijual. Atau jika beruntung ada tabungan, maka tabungan ini yang dipakai. Mereka yang paling terdampak ini seharusnya mendapatkan perhatian dari Pemerintah dengan diberikan bantuan langsung seperti BLT.

Namun nyatanya bantuan Pemerintah berwujud lain seperti Pra-Kerja yang banyak salah sasaran dan juga isinya adalah pelatihan yang tidak dibutuhkan. Juga ada bantuan seperti sembako dari Pemerintah yang entah itu diberikan ke orang yang tepat atau tidak. Di sini saya kemudian menyayangkan Pemerintah yang terlihat tidak kompeten mengurusi negara di saat pandemi. Jelas-jelas rakyat butuh makan, harusnya dikasi duit. Mustahil Pemerintah tidak punya duit karena apapun kini dipajaki dan subsidi pada dicabut. Duit ini dicairkan melalui mekanisme yang tepat dan disalurkan ke orang yang tepat. Kan sudah sering gembar-gembor industri 4.0, kalo ini gak bisa diterapkan jangan pakai jargon itu lagi nanti.

Pekerja Formal

Melihat kondisi pekerja informal yang perlu dikasihani, saya merasa berdosa jika saya yang bekerja di sektor formal (biarpun kontrak) nyantai-nyantai saja. Saya lebih beruntung gaji dibayarkan total sehingga kebutuhan bulanan dapat tercukupi. Meskipun harus diakui produktivitas turun saat pandemi ini tapi itu bukanlah excuse kita untuk tidak perform dalam bekerja. Jam kerja saya tetap sama 24 jam seperti sebelum pandemi. Saya punya pakerjaan lain di luar sektor formal (birokrasi) yang itu membantu saya menghabiskan waktu saya di masa pandemi ini. Pekerjaan birokrasi ini intensitasnya menurun drastis dan membuat kita malas dalam bekerja. Namun, kemalasan kita ini dikompensasi dengan gaji full.

Saya kira tidak patut bagi pekerja formal yang mendapatkan gaji full namun bekerja dengan beban pekerjaan yang jauh kecil. Rasanya seperti liburan yang digaji. Jika pekerja informal harus banting tulang gimana caranya dapat duit, ini pekerja formal malas-malasan dapat duit. Mungkin inilah alasan banyaknya orang Indonesia yang tertarik masuk di sektor formal khususnya PNS dari lembaga Pemerintah. Pekerjaan saya di sektor formal saya akui tidak berat, makanya saya mencari pekerjaan lain yang terkait dengan tempat kerja atau tidak meskipun seringkali tidak dibayar. Saya merasa tidak jadi orang kalo mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa adanya tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi saya.

Kita anak muda yang merupakan "knowledge worker" ketika bekerja di sektor formal seperti birokrasi harus bersabar di tengah mayoritas pekerjanya yang "formal worker" yang minim kreativitas. Jika di lingkungan pekerjaan knowledge-based economy mengapresiasi kreativitas, ide, dan gagasan, jangan harap hal-hal itu diapreasiasi di sektor formal seperti birokrasi. Teringat suatu ketika ada perwakilan Kementerian datang presentasi tentang rencana lembaga tersebut menerapkan manajemen bigdata dan ternyata itu hanyalah manajemen data biasa.