Catatan Seorang Petualang
Edisi 1 #Cikuray
Alam menawarkan pesonanya. Kemolekan dan keperawanan tubuhnya
mengundang banyak orang untuk turut sejenak menikmatinya. Tidak peduli
perjalanan panjang berjam-jam ditempuh. Jurang-jurang curam kadangkala ditemui,
jalanan bergelombang,curam, dan licin pun dilibas begitu saja. Begitu pula
dengan dingin yang menusuk sampai ubun-ubun. Itulah kenikmatan bagi para
petualang alam. Kenikmatan yang hanya didapat bagi mereka yang merasakan
langsung, bukan pada mereka yang selalu berwacana.
Pertama Kalinya Menjadi Seorang Bonek
Akhir pekan minggu lalu
benar-benar saya rasakan sangat berbeda. Saya dan enam teman dari Universitas
Pajajaran ; Erik, Irwan, Bardan, Dini, Agnes, dan Adit pergi bersama merealisasikan rencana
menaklukkan Gunung tertinggi di Garut, Gunung Cikuray (2821 mdpl). Mereka semua
adalah anggota dari unit Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat
Demokratis (LPPMD) kecuali Adit yang merupakan teman sekosan Bardan.
Perencanaan tidak dilakukan secara matang ; rute perjalanan belum
disosialisasikan, persedian bahan pangan dan makanan kecil terbatas sekali, dan
pemakaian perkakas camping baik secara individu maupun kelompok belum
tersosialisasikan dengan sempurna. Kami berenam belum pernah ke Cikuray
sebelumnya! Saya merasakan betul dengan hanya membawa peralatan seadanya, tidak
jauh berbeda dengan saat mendaki Gunung Papandayan beberapa bulan lalu.
Perjalanan dimulai dari
sekretariat unit LPPMD sekitar pukul 19.00 WIB. Kemudian dilanjutkan ke arah
gerbang Cileunyi dengan angkot yang hanya memakan upah Rp 2.000,00 dari
Jatinangor Plaza (Jatos). Setelah itu perjalanan nekad ! Perjalanan gratis
dengan menaiki truk dan mobil bak sejenis L300. Ada satu gubahan puisi saya
saat berada di truk. Judulnya Truk.
Akhir bulan Oktober
Aku dan enam anak joker
Dengan ransel dan alat lainnya
Pada malam terang bulan
Menuju Garut, menuju gunung
Ditemani lagu-lagu Gie
Menyanyi bersama
Di truk ini
Tercatat tiga kali oper mobil.
Pertama naik truk ke arah Nagrek kemudian disambung dengan naik mobil bak jenis
L300 ke arah Jalan Otista, alon-alon Tarogong, Garut. Di alun-alun kami
istirahat sejenak di masjid. Saat itu alon-alon sedang diadakan penutupan MTQ
Tingkat Garut dengan dihadiri oleh Gita KDI. Saat istirahat, Irwan secara
diam-diam bertemu dengan salah satu santri di acara tersebut. Santri tersebut
menjanjikan akan membantu akomodasi menuju Cilawu, namun realisasinya nihil.
Santri tersebut tidak mengontak Irwan, kami pun terpaksa harus berhentikan truk
lagi. Ketika itu jam menunjukkan jam 23.00 WIB lebih. Lebih dari setengah jam mencegat truk namun pada menolak.
Setelah beberapa lama akhirnya ada mobil jenis L300 yang bersedia mengantarkan ke jalur pendakian.
Ternyata kami diantarkan di jalur pendakian Bayongbong, desa Mangkurakyat bukan
Cilawu. Kami pun akhirnya terpaksa menginap di mushola Balai desa Mangkurakyat
setelah diantarkan orang kampung terkait.
![]() |
Jalur pendakian Gunung Cikuray (sumber : stiker yang dijual di warung di stasiun pemancar) |
Bulan tepat di atas kepalaku
Begitu bintang-bintang tak sedikitpun malu mengerlipkan pendarnya
Udara malam menggasak sampai tulangku
Sementara air kali terdengar jelas goyangannya
Aaah, kengerian balai desa hilang oleh siulan ayam jago dan azan pra
subuh
Tusukan dingin dimakan emisi mobil yang semakin ramai
Mesjid-mesjid berlomba bertahlil
Bulan pamit, matahari berucap selamat pagi
Bulan semakin menghilang
bentuknya. Matahari semakin menerobos langit untuk munculkan sinarnya. Tepat
habis sholat subuh, kami bergegas tinggalkan balai desa menuju ke arah Jalan
Bayongbong. Disana sudah ada sekumpulan tukang ojek tawarkan jasanya untuk
mengangkat kita ke arah stasiun pemancar, pos pendakian Gunung Cikuray. Tetapi
biayanya mahal sekali, Rp. 75.000 per orang ! Kami pun beralih ke arah
pendakian Cilawu. Kami balik ke pertigaan Cipanas. Dari sana kami naik angkot
jalur 6 menuju Cilawu. Dari Cilawu kami mulai pendakian.
Menuju Puncak
Pendakian dari Cilawu menuju
stasiun pemancar memakan waktu lebih dari dua jam. Kebon teh adalah pemandangan
di sekitar jalanan yang kami tempuh. Kami sampai di sini sekitar jam 07.30 WIB.
Disini, kami istirahat sejam lebih. Gorengan bala-bala dan tempe ditambah
dengan segelas kopi sachet melupakan
rasa capek selama perjalanan. Sekitar jam 09.00 WIB kami mulai pendakian ke
puncak Gunung Cikuray. Inilah pendakian sejati. Pendakian yang memeras tenaga
dan pemikiran.
![]() |
Kami terkecuali Irwan berfoto bersama di gerbang jalur pendakian Cilawu (doc. pribadi) |
Pendakian berawal dari stasiun
pemancar baru kemudian lewati pos-pos yang jumlahnya ada tujuh buah. Adapun
jalurnya sebagai berikut ; Tanjakan Cihuy – Tanjakan Baeud – Pintu masuk hutan
rimba – Pos 1 – Pos 2 – Pos 3 (Batu Aisan) – Pos 4 –Sanghyang Tara – Pos 5 –
Pos 6 (Puncak Bayangan) – Pos 7 – Puncak Cikuray. Perjalanan memakan waktu
sekitar 7,5 jam. Di perjalanan kami seringkali berpapasan dengan pendaki lain.
Di pos 3 kami makan siang dan istirahat cukup lama. Di pos ini berkumpul cukup
banyak kelompok yang singgah sejenak. Di perjalanan, saya memutar lagu dari MP3
untuk menghilangkan rasa capek. Saking asyiknya pos 2 saya lewati tanpa sadar.
Teman rombongan pun saya tinggal cukup jauh. Setelah dikabari oleh pendaki lain
bahwa pos 2 sudah terlewati, saya pun menunggu di jalan ditemani buku
"Arok Dedes" Pramoedya Ananta Toer. Dari sekian banyak pos, Pos 6 ke
pos 7 memakan waktu paling lama. Sekitar jam 16.30 WIB saya, Erik, dan Irwan
sampai duluan di lokasi pembuatan tenda, beberapa meter dari puncak. Saya dan
Irwan letakkan barang sejenak kemudian langsung ke puncak karena penasaran.
Saya pun tidak menyia-nyiakan keadaan. Pengambilan gambar sebagai agenda wajib
di puncak.
![]() |
saya di pos puncak Gunung Cikuray (doc. pribadi) |
Secara umum, jalur pendakian ke
Cikuray relatif lebih susah dari pada
Gunung Papandayan. Hanya saja butuh sekali kefokusan lebih karena track pendakian relatif curam dan
kemiringan tanah relatif besar. Samping kiri-kanan track sering ditemui jurang yang sangat dalam. Biasanya para
pendaki mendirikan tenda di antara pos 7 dan puncak, namun ada juga yang
membuat tenda di pos bayangan (pos 6).
Malam Mencekam
Matahari sore perlahan redup.
Hujan perlahan turun bahkan titik-titiknya seukuran beras harga sembilan ribu
per kilo. Kami pun berteduh sejenak di tenda tetangga sampai hujan tinggal
gerimis kecil. Tenda pun akhirnya selesai dibangun. Dua tenda kapasitas 2 orang
dan 5 orang letaknya berhadap-hadapan. Sinar matahari benar-benar menghilang.
Gelap gulita malam datang. Saya, Dini, dan Erik segera memasak untuk makan malam.
Menu makan malam kali ini adalah mie. Hanya mie rebus !
Saat memasak, udara sama sekali
tidak bersahabat. Udara dingin semakin menusuk. Hujan pun turun kembali dengan
lebih deras dari sore tadi. Ponco sebagai atap dapur darurat bocor. Tenda
kapasitas 5 orang pun demikian juga. Setelah makanan benar-benar matang, hujan
semakin deras. Saya, Dini, Erik, dan Adit sementara berteduh di tenda kapasitas
2 orang, sementara yang lain di tenda satunya. Makan malam berada di tenda
satunya. Kami menikmati biskuit nissin keju sembari menunggu mereka selesai
makan. Namun, realitanya mereka malah tidak makan. Mereka menunggu kami. Kami
pun akhirnya menuju ke tenda satunya dan makan malam. Nafsu makan saya ternyata
berkurang drastis. Hanya beberapa suap saja saya makan. Teman-teman lainnya
juga demikian. Kondisi malam yang super dingin dan hujan deras menghilangkan
nafsu makan kami. Makanan pun bersisa banyak karena tidak termakan.
Tenda kapasitas 5 orang ternyata
tembus oleh hujan. Air pun menembus pori-pori tenda. Tenda pun banjir. Tas-tas
pun basah. Akhirnya didapat solusi dari Bardan bahwa untuk tenda besar khusus buat
tas-tas carier sementara tenda kecil untuk
tinggal kami semalam. Kami pun menyetujui usulannya. Tenda kecil berkapasitas 2
orang dipakai buat 7 orang ! Praktis, kami berdesak-desakan dalam tenda selama satu
malam. Teringat dalam memori saya, momen ini terjadi dari sekitar jam 20.00 WIB
sampai sekitar jam 05.00 WIB. Biarpun berdesak-desakan, malam tetap saja dingin
luar biasa. Angin kadang bertiup kencang dengan dibarengi bersama hujan lebat.
Dalam tenda, kami mencoba menghilangkan rasa panik dan gelisah dengan
bercerita. Beberapa kali diselingi dengan kentut yang kadang datang dari saya
(saya tutup mulut saat teman rombongan membicarakannya, hehe). Juga memaksa
untuk tidur biarpun seringkali gagal. Saya berulangkali pejamkan mata tapi
tetap tidak bisa tidur. Saya dapat bagian
tempat di pojok tenda yang bersentuhan langsung dengan kulit tenda. Saya
seperti tidur di sungai, dingin luar biasa ! Handphone secara berkala saya cek. Kami berharap sekali pagi segera
datang. Erik khawatirkan akan bahaya termokimia yang menyerang salah satu dari
kami. Kami pun hanya berharap keajaiban dari Tuhan atas kodisi ini. Alhamdulillah
saya dan teman-teman masih diberikan nyawa untuk menghadapi hari minggu, sehari
menjelang hari sumpah pemuda 28 Oktober 2013.
Sejenak di Puncak dan Turun
Gunung
Jam menunjukkan pukul 05.00 WIB
kurang beberapa menit saja. Saya pun keluar tenda dan udara tetap dingin tetapi
tidak sedingin malam tadi yang sekitar beberapa derajat celcius. Saya buang air
sejenak dan lakukan sholat subuh dengan tayamum. Baru kemudian saya menyusul
teman-teman yang sudah berada di puncak untuk melihat sunrise. Ternyata sunrise
yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Hanya terlihat kabut tebal di sekitar
puncak. Namun, disini ada banyak sekali rombongan. Kami sempatkan berfoto
dengan rombongan lain.
![]() |
kami dan pendaki dari rombongan lain di puncak Cikuray (doc. pribadi) |
Jam menunjukkan pukul enam kurang,
kami pun turun dari puncak dan segera berkemas-kemas untuk segera turun gunung.
Kami tidak mengikuti upacara sumpah pemuda yang sedianya diadakan hari ini di
puncak Cikuray. Kami memilih turun gunung lebih cepat karena keadaan malam tadi
yang buruk. Perut kami keroncongan sekali, tenaga pun tinggal sisa. Turun
gunung relatif jauh lebih cepat dibanding saat naik. Sekitar lima jam saja !
Biarpun begitu, beberapa kali saya terpeleset karena track yang licin. Sekitar jam 12.00 WIB, kami sampai di stasiun
pemancar dengan selamat. Alhamdulillah. Kami pun nikmati hidangan khas ;
bala-bala, lontong, dan teh !
Berpisah di Terminal Garut
Kami beristirahat cukup lama di
stasiun pemancar. Lebih dari 2 jam ! Sekitar jam 14.00 WIB kami baru cabut dari
sini menuju ke terminal Guntur, Garut. Kami terpaksa harus merogoh kocek 35
ribu. Rekor bonek kami selesai disini ! Kami menaiki mobil bak sejenis L300
bersama dengan rombongan lain. Cahaya matahari menusuk kulitku. Begitu pula
hujan. Namun, indahnya kebun teh sejenak menyegarkan kembali semangatku.
Kelelahan pendakian menghilang oleh candaan kecil teman-temanku. Apalagi saat
Irwan mencoba melawak. Teman-teman hampir semua tertawa. Lucu benar anak Garut yang
belum pernah naik gunung sebelumnya ini !
Sekitar jam 16.00 WIB kami pun
sampai di terminal Guntur, Garut dan saya resmi berpisah. Saya menuju ke
Bandung sementara lainnya menuju Jatinangor. Indah benar pengalaman akhir pekan
ini.
Cikuray pun takluk olehku. Selangkah lagi Mahameru. Itu adalah mimpiku
di tahun 2013 ini. Aku ingin menikmati alam Indonesia. Aku ingin bersyukur
menjadi bagian dari Indonesia. Aku ingin sejenak berhenti mengutuk Indonesia.
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika
ITB
0 komentar:
Post a Comment