Monday, October 28, 2013

Catatan Seorang Petualang

Catatan Seorang Petualang
Edisi 1 #Cikuray

Alam menawarkan pesonanya. Kemolekan dan keperawanan tubuhnya mengundang banyak orang untuk turut sejenak menikmatinya. Tidak peduli perjalanan panjang berjam-jam ditempuh. Jurang-jurang curam kadangkala ditemui, jalanan bergelombang,curam, dan licin pun dilibas begitu saja. Begitu pula dengan dingin yang menusuk sampai ubun-ubun. Itulah kenikmatan bagi para petualang alam. Kenikmatan yang hanya didapat bagi mereka yang merasakan langsung, bukan pada mereka yang selalu berwacana.

Pertama Kalinya Menjadi Seorang Bonek

Akhir pekan minggu lalu benar-benar saya rasakan sangat berbeda. Saya dan enam teman dari Universitas Pajajaran ; Erik, Irwan, Bardan, Dini, Agnes, dan  Adit pergi bersama merealisasikan rencana menaklukkan Gunung tertinggi di Garut, Gunung Cikuray (2821 mdpl). Mereka semua adalah anggota dari unit Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) kecuali Adit yang merupakan teman sekosan Bardan. Perencanaan tidak dilakukan secara matang ; rute perjalanan belum disosialisasikan, persedian bahan pangan dan makanan kecil terbatas sekali, dan pemakaian perkakas camping baik secara individu maupun kelompok belum tersosialisasikan dengan sempurna. Kami berenam belum pernah ke Cikuray sebelumnya! Saya merasakan betul dengan hanya membawa peralatan seadanya, tidak jauh berbeda dengan saat mendaki Gunung Papandayan beberapa bulan lalu.

Perjalanan dimulai dari sekretariat unit LPPMD sekitar pukul 19.00 WIB. Kemudian dilanjutkan ke arah gerbang Cileunyi dengan angkot yang hanya memakan upah Rp 2.000,00 dari Jatinangor Plaza (Jatos). Setelah itu perjalanan nekad ! Perjalanan gratis dengan menaiki truk dan mobil bak sejenis L300. Ada satu gubahan puisi saya saat berada di truk. Judulnya Truk.

Akhir bulan Oktober
Aku dan enam anak joker
Dengan ransel dan alat lainnya
Pada malam terang bulan
Menuju Garut, menuju gunung
Ditemani lagu-lagu Gie
Menyanyi bersama
Di truk ini

Tercatat tiga kali oper mobil. Pertama naik truk ke arah Nagrek kemudian disambung dengan naik mobil bak jenis L300 ke arah Jalan Otista, alon-alon Tarogong, Garut. Di alun-alun kami istirahat sejenak di masjid. Saat itu alon-alon sedang diadakan penutupan MTQ Tingkat Garut dengan dihadiri oleh Gita KDI. Saat istirahat, Irwan secara diam-diam bertemu dengan salah satu santri di acara tersebut. Santri tersebut menjanjikan akan membantu akomodasi menuju Cilawu, namun realisasinya nihil. Santri tersebut tidak mengontak Irwan, kami pun terpaksa harus berhentikan truk lagi. Ketika itu jam menunjukkan jam 23.00 WIB lebih. Lebih dari setengah jam mencegat truk namun pada menolak. Setelah beberapa lama akhirnya ada mobil jenis L300  yang bersedia mengantarkan ke jalur pendakian. Ternyata kami diantarkan di jalur pendakian Bayongbong, desa Mangkurakyat bukan Cilawu. Kami pun akhirnya terpaksa menginap di mushola Balai desa Mangkurakyat setelah diantarkan orang kampung terkait.

Jalur pendakian Gunung Cikuray
(sumber : stiker yang dijual di warung di stasiun pemancar)
Menjelang subuh saya terbangun menikmati dini hari yang cerah. Saya menggubah sebuah puisi berjudul Sajak Menunggu Matahari.

Bulan tepat di atas kepalaku
Begitu bintang-bintang tak sedikitpun malu mengerlipkan pendarnya
Udara malam menggasak sampai tulangku
Sementara air kali terdengar jelas goyangannya
Aaah, kengerian balai desa hilang oleh siulan ayam jago dan azan pra subuh
Tusukan dingin dimakan emisi mobil yang semakin ramai
Mesjid-mesjid berlomba bertahlil
Bulan pamit, matahari berucap selamat pagi

Bulan semakin menghilang bentuknya. Matahari semakin menerobos langit untuk munculkan sinarnya. Tepat habis sholat subuh, kami bergegas tinggalkan balai desa menuju ke arah Jalan Bayongbong. Disana sudah ada sekumpulan tukang ojek tawarkan jasanya untuk mengangkat kita ke arah stasiun pemancar, pos pendakian Gunung Cikuray. Tetapi biayanya mahal sekali, Rp. 75.000 per orang ! Kami pun beralih ke arah pendakian Cilawu. Kami balik ke pertigaan Cipanas. Dari sana kami naik angkot jalur 6 menuju Cilawu. Dari Cilawu kami mulai pendakian.

Menuju Puncak

Pendakian dari Cilawu menuju stasiun pemancar memakan waktu lebih dari dua jam. Kebon teh adalah pemandangan di sekitar jalanan yang kami tempuh. Kami sampai di sini sekitar jam 07.30 WIB. Disini, kami istirahat sejam lebih. Gorengan bala-bala dan tempe ditambah dengan segelas kopi sachet melupakan rasa capek selama perjalanan. Sekitar jam 09.00 WIB kami mulai pendakian ke puncak Gunung Cikuray. Inilah pendakian sejati. Pendakian yang memeras tenaga dan pemikiran.

Kami terkecuali Irwan berfoto bersama di gerbang jalur pendakian Cilawu
(doc. pribadi)
Pendakian berawal dari stasiun pemancar baru kemudian lewati pos-pos yang jumlahnya ada tujuh buah. Adapun jalurnya sebagai berikut ; Tanjakan Cihuy – Tanjakan Baeud – Pintu masuk hutan rimba – Pos 1 – Pos 2 – Pos 3 (Batu Aisan) – Pos 4 –Sanghyang Tara – Pos 5 – Pos 6 (Puncak Bayangan) – Pos 7 – Puncak Cikuray. Perjalanan memakan waktu sekitar 7,5 jam. Di perjalanan kami seringkali berpapasan dengan pendaki lain. Di pos 3 kami makan siang dan istirahat cukup lama. Di pos ini berkumpul cukup banyak kelompok yang singgah sejenak. Di perjalanan, saya memutar lagu dari MP3 untuk menghilangkan rasa capek. Saking asyiknya pos 2 saya lewati tanpa sadar. Teman rombongan pun saya tinggal cukup jauh. Setelah dikabari oleh pendaki lain bahwa pos 2 sudah terlewati, saya pun menunggu di jalan ditemani buku "Arok Dedes" Pramoedya Ananta Toer. Dari sekian banyak pos, Pos 6 ke pos 7 memakan waktu paling lama. Sekitar jam 16.30 WIB saya, Erik, dan Irwan sampai duluan di lokasi pembuatan tenda, beberapa meter dari puncak. Saya dan Irwan letakkan barang sejenak kemudian langsung ke puncak karena penasaran. Saya pun tidak menyia-nyiakan keadaan. Pengambilan gambar sebagai agenda wajib di puncak.
saya di pos puncak Gunung Cikuray
(doc. pribadi)
Secara umum, jalur pendakian ke Cikuray relatif  lebih susah dari pada Gunung Papandayan. Hanya saja butuh sekali kefokusan lebih karena track pendakian relatif curam dan kemiringan tanah relatif besar. Samping kiri-kanan track sering ditemui jurang yang sangat dalam. Biasanya para pendaki mendirikan tenda di antara pos 7 dan puncak, namun ada juga yang membuat tenda di pos bayangan (pos 6).

Malam Mencekam

Matahari sore perlahan redup. Hujan perlahan turun bahkan titik-titiknya seukuran beras harga sembilan ribu per kilo. Kami pun berteduh sejenak di tenda tetangga sampai hujan tinggal gerimis kecil. Tenda pun akhirnya selesai dibangun. Dua tenda kapasitas 2 orang dan 5 orang letaknya berhadap-hadapan. Sinar matahari benar-benar menghilang. Gelap gulita malam datang. Saya, Dini, dan Erik segera memasak untuk makan malam. Menu makan malam kali ini adalah mie. Hanya mie rebus !

Saat memasak, udara sama sekali tidak bersahabat. Udara dingin semakin menusuk. Hujan pun turun kembali dengan lebih deras dari sore tadi. Ponco sebagai atap dapur darurat bocor. Tenda kapasitas 5 orang pun demikian juga. Setelah makanan benar-benar matang, hujan semakin deras. Saya, Dini, Erik, dan Adit sementara berteduh di tenda kapasitas 2 orang, sementara yang lain di tenda satunya. Makan malam berada di tenda satunya. Kami menikmati biskuit nissin keju sembari menunggu mereka selesai makan. Namun, realitanya mereka malah tidak makan. Mereka menunggu kami. Kami pun akhirnya menuju ke tenda satunya dan makan malam. Nafsu makan saya ternyata berkurang drastis. Hanya beberapa suap saja saya makan. Teman-teman lainnya juga demikian. Kondisi malam yang super dingin dan hujan deras menghilangkan nafsu makan kami. Makanan pun bersisa banyak karena tidak termakan.

Tenda kapasitas 5 orang ternyata tembus oleh hujan. Air pun menembus pori-pori tenda. Tenda pun banjir. Tas-tas pun basah. Akhirnya didapat solusi dari Bardan bahwa untuk tenda besar khusus buat tas-tas carier sementara tenda kecil untuk tinggal kami semalam. Kami pun menyetujui usulannya. Tenda kecil berkapasitas 2 orang dipakai buat 7 orang ! Praktis, kami berdesak-desakan dalam tenda selama satu malam. Teringat dalam memori saya, momen ini terjadi dari sekitar jam 20.00 WIB sampai sekitar jam 05.00 WIB. Biarpun berdesak-desakan, malam tetap saja dingin luar biasa. Angin kadang bertiup kencang dengan dibarengi bersama hujan lebat. Dalam tenda, kami mencoba menghilangkan rasa panik dan gelisah dengan bercerita. Beberapa kali diselingi dengan kentut yang kadang datang dari saya (saya tutup mulut saat teman rombongan membicarakannya, hehe). Juga memaksa untuk tidur biarpun seringkali gagal. Saya berulangkali pejamkan mata tapi tetap tidak bisa tidur. Saya  dapat bagian tempat di pojok tenda yang bersentuhan langsung dengan kulit tenda. Saya seperti tidur di sungai, dingin luar biasa ! Handphone secara berkala saya cek. Kami berharap sekali pagi segera datang. Erik khawatirkan akan bahaya termokimia yang menyerang salah satu dari kami. Kami pun hanya berharap keajaiban dari Tuhan atas kodisi ini. Alhamdulillah saya dan teman-teman masih diberikan nyawa untuk menghadapi hari minggu, sehari menjelang hari sumpah pemuda 28 Oktober 2013.

Sejenak di Puncak dan Turun Gunung

Jam menunjukkan pukul 05.00 WIB kurang beberapa menit saja. Saya pun keluar tenda dan udara tetap dingin tetapi tidak sedingin malam tadi yang sekitar beberapa derajat celcius. Saya buang air sejenak dan lakukan sholat subuh dengan tayamum. Baru kemudian saya menyusul teman-teman yang sudah berada di puncak untuk melihat sunrise. Ternyata sunrise yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Hanya terlihat kabut tebal di sekitar puncak. Namun, disini ada banyak sekali rombongan. Kami sempatkan berfoto dengan rombongan lain.
kami dan pendaki dari rombongan lain di puncak Cikuray
(doc. pribadi)
Jam menunjukkan pukul enam kurang, kami pun turun dari puncak dan segera berkemas-kemas untuk segera turun gunung. Kami tidak mengikuti upacara sumpah pemuda yang sedianya diadakan hari ini di puncak Cikuray. Kami memilih turun gunung lebih cepat karena keadaan malam tadi yang buruk. Perut kami keroncongan sekali, tenaga pun tinggal sisa. Turun gunung relatif jauh lebih cepat dibanding saat naik. Sekitar lima jam saja ! Biarpun begitu, beberapa kali saya terpeleset karena track yang licin. Sekitar jam 12.00 WIB, kami sampai di stasiun pemancar dengan selamat. Alhamdulillah. Kami pun nikmati hidangan khas ; bala-bala, lontong, dan teh !

Berpisah di Terminal Garut

Kami beristirahat cukup lama di stasiun pemancar. Lebih dari 2 jam ! Sekitar jam 14.00 WIB kami baru cabut dari sini menuju ke terminal Guntur, Garut. Kami terpaksa harus merogoh kocek 35 ribu. Rekor bonek kami selesai disini ! Kami menaiki mobil bak sejenis L300 bersama dengan rombongan lain. Cahaya matahari menusuk kulitku. Begitu pula hujan. Namun, indahnya kebun teh sejenak menyegarkan kembali semangatku. Kelelahan pendakian menghilang oleh candaan kecil teman-temanku. Apalagi saat Irwan mencoba melawak. Teman-teman hampir semua tertawa. Lucu benar anak Garut yang belum pernah naik gunung sebelumnya ini !

Sekitar jam 16.00 WIB kami pun sampai di terminal Guntur, Garut dan saya resmi berpisah. Saya menuju ke Bandung sementara lainnya menuju Jatinangor. Indah benar pengalaman akhir pekan ini.

Cikuray pun takluk olehku. Selangkah lagi Mahameru. Itu adalah mimpiku di tahun 2013 ini. Aku ingin menikmati alam Indonesia. Aku ingin bersyukur menjadi bagian dari Indonesia. Aku ingin sejenak berhenti mengutuk Indonesia.


                                                                                                                        Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB

0 komentar: