Namaku Ali. Aku mahasiswa tingkat
lima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri tertua di Indonesia. Seperti
mahasiswa tingkat akhir lainnya, aku mengerjakan Tugas Akhir namun sudah
setahun belum juga selesai. Aku mengambil program studi Fisika. Mengingat masa
SNMPTN empat tahun lalu, Fisika sebenarnya bukan pilihan pertamaku. Aku dulu
pilih jurusan Informatika. Alasannya sih biar nantinya mudah dapat kerjaan
setelah lulus. Juga masa itu, jurusan Informatika di kampusku passing grade-nya paling tinggi
se-Indonesia. Menantang banget kan ? Tapi nasib pun berkata lain. Sudah lebih
dari empat tahun, aku tetap masih belum bisa berteman dengan Fisika. Fisika
masih tetap menjadi boomerang aku
dalam beraktivitas. Tidak pernah aku melakukan sesuatu dengan maksimal. Dalam
pikiranku selalu terbayang Fisika. Fisika tetaplah musuhku. Seringkali aku
bertekad ingin menumbangkan Fisika dengan memasang target belajar dan nilai,
namun tetap saja setelah sebulan kuliah, akupun tepar. Akupun kalah dengan Fisika.
Fisika terlalu tangguh bagiku. Strategi dan cara lain kucoba. Kali ini aku
mengubah pola belajarku. Semula dengan hanya membaca textbook, faham ataupun tidak faham. Kali ini aku terapkan belajar
dengan pelan-pelan. Halaman demi halaman kubaca dengan pelan. Contoh soal pun
kupelajari. Tetapi baru beberapa halaman kubaca, jadwal UTS sudah didepan mata.
Metode belajar lama pun terpaksa kupakai lagi. Tidak ada pilihan lain. Dalam
pikiranku selalu terbayang materi yang diajarkan dosen di kelas yang harus aku
habiskan sebelum ujian. Walhasil, UTS pun gagal. Aku mengulang semester depan.
![]() |
doc. google |
Sudah tiga tahun sejak masuk
jurusan, tidak ada yang berbeda dalam belajarku. Aku tetap anget-anget tahi ayam. Aku menginginkan hasil yang cepat dan
memuaskan sementara otakku tidak mampu. Namun, tekanan batin dari orangtua dan
teman-teman sekelasku membuatku melakukan hal serupa dengan semester
sebelumnya. Aku tetap terapkan metode belajar gaya lama. UTS tetap hancur. Aku
pun frustasi. Habis ujian aku ke warnet main game online berjam-jam.
Aku sampai lupa kalau hari itu ada jadwal kuliah. Akupun bolos kuliah
berhari-hari. Game online menjadi
kawan dekatku. Mungkin ini karena kejombloanku. Aku jomblo sejak lulus SD dan
aku masih phobia dengan wanita cantik
di dunia nyata. Pelampiasan frustasiku kedua adalah buku. Buku-buku textbook Fisika membuatku pusing. Aku
alihkan ke buku motivasi. Buku motivasi banyak berbicara tentang manajemen dan
kepemimpinan. Aku pun borong buku manajemen Rhenald Kasali di Gramedia. Lebih
dari 500 ribu aku habiskan untuk memborong buku Rhenald Kasali dan Peter
Drucker. Selanjutnya buku-buku tersebut kubaca terus. Aku tidak kenal pagi,
siang, ataupun sore. Ada UTS ataupun tidak, tetap kubaca. Dalam sebulan aku
habiskan 11 buku dengan mayoritas buku manajemen. Temen-temen asramaku sampai menjulukiku
gila buku. Kebiasaanku tersebut hanya
bertahan tiga bulan. Selanjutnya hilang. Kata salah satu pemateri di training kepemimpinan asrama, Bachtiar Hamzah,
mengatakan bahwa kebiasaan yang dibangun secara rutin dan berlangsung selama
empat puluh hari tanpa putus maka akan menjadi kebiasaan selamanya. Ungkapan
Bachtiar tidak berlaku untukku.
Kebiasaan membacaku telah hilang.
Aku mencari pelampiasan lain dari rasa frustasiku atas kegagalanku dalam
berteman dengan Fisika. Aku pun berbisnis. Saat ada pasar kaget di gasibu tiap
minggu, akupun jualan dengan bekas teman asramaku, Rendy. Namun, jualan di
Gasibu hanya bertahan empat kali alias sebulan saja. Kemudian, aku temukan
bisnis baru yakni properti. Training
gratis tiap minggu sore di S28 Jalan Sulanjana rutin aku ikuti. Kebetulan
pengisinya adalah kakak kelas tua di Fisika yang banting stir berkarir sebagai
developer properti. Ezra Sigalingging namanya. Training darinya kuikuti dengan
seksama. Bahkan aku rela berdesak-desakan dengan peserta lain. Suatu saat aku
bertekad ingin ikuti training
esklusif dengan beliau, tarifnya 2 Juta. Mendengar nominal yang begitu besar
aku urungkan. Aku hanya pilih training gratisan dari beliau. Suatu ketika
beliau menceritakan cerita sukses penjual bubur ayam. Penjual ini melihat rumah
yang dipasang papan "Dijual tanpa
perantara". Penjual tersebut lalu dekati pemilik rumah lalu menjualkan
rumah tersebut dengan harga lebih besar. Melihat surat Izin Membangun Rumah
(IMB) rumah yang terlampau kecil, penjual bubur tersebut dengan Percaya Diri
akan bisa menjual rumah dalam tempo yang
relatif cepat. Penjual bubur tersebut meminta waktu hanya tiga bulan.
Namun, tidak disangka rumah terjual hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.
Penjual bubur pun untung 150 Juta bersih. Aku pun selepas training langsung mencari bidikan rumah. Targetku rumah di kawasan
Cikaso. Kebetulan aku memprivat Cika dan Sifa di Cikaso tiap senin dan kamis
sore. Aku dapatkan rumah di Gang Cikaso yang terpampang papan "Dijual Tanpa Perantara". Aku
terapkan strategi penjual bubur. Aku depati pemilik rumah saat aku hendak tunaikan
sholat ashar. Kopian surat-surat rumah aku minta. Akupun selanjutkan promosikan
rumah-rumah tersebut di toko online ; tokobagus
dan berniaga. Ada tiga rumah yang
kujual. Ketiga rumah tersebut tidak ada yang menyentuh 1 Milyar karena memang
rumah tua. Tidak hanya saat les aku kunjungi pemilik rumah, bahkan saat hari
biasa aku pun berkunjung kesana. Tercatat ada empat orang yang kuantarkan ke
rumah. Mereka semuanya adalah mahasiswa dan alumni ITB kecuali seorang. Mereka
mendengar aku jual rumah dari Grup Facebook
Jual Beli ITB. Suatu ketika, aku senang luar biasa ketika handphone-ku berdering. Penelpon
tersebut berniat untuk membeli rumah. Tanpa harus melihat rumah, mereka deal untuk membeli rumah dengan uang
pangkal sekian puluh juta. Sore itu mereka janji akan membayar via transfer
bank. Sore aku cek ternyata mereka adalah sekelompok penipu. Aku dihipnotis
saat memasuki ATM untuk transfer balik. Untungnya aku kebal. Tercatat ada tiga
orang yang melakukan hal demikian. Pengalaman kehilangan 16 Juta tahun lalu
membuatku bisa hati-hati terhadap modus ini. Lebih dari tiga bulan aku jual
rumah, namun tetap juga tidak laku. Akupun gelisah dan frustasi. Keoptimisanku
menjadi pengusaha properti hilang. Akupun drop
out dari rencana menjadi pengusaha properti. Aku kembali ke jalur semula.
Begelut dengan Fisika masih
membuatku frustasi. Aku kembali menjadi aktivis kampus. Aku kembali sering
nongkrong di sekre unit untuk sekedar berbincang masalah kampus dan Indonesia.
Kasus Gerbang Utara sedang hot
diperbincangkan massa Sunken. Aku turut serta didalamnya. Biarpun tidak sebagai
provokator utama, aku menjadi teman setia koordinator pergerakan, Yudha.
Propaganda dan diskusi pun rutin dibuat. Berbincang dengan pihak rektorat pun
diadakan, namun tanggapan mereka tetaplah dingin. Gerbang Utara tetap ditutup.
Yudha sebagai inisiator gerakan ternyata lambat-laun semakin melembek. Dia
tidak sesemangat pada awal gerakan. Ternyata bukan membuka gerbang tujuan
gerakan ini, melainkan penyadaran bahwa kebijakan rektorat selama ini harus
kita kawal. Mahasiswa jangan sampai tinggal diam. Ini bertentangan dengan
sikapku yang menginginkan hasil yang jelas dalam setiap pergerakan. Sikap Yudha
membuatku antipati terhadapnya. Suatu waktu terdapat masa kekosongan ketua
Kabinet KM ITB. Yudha maju untuk mengisi kekosongan tersebut. Diapun terpilih
biarpun secara voting dia kalah
dengan Mulki, tangan kanan Damar, Ketua Kabinet KM ITB yang lengser. Namun,
berkat manuver teman-teman dekat Yudha, Ia pun terpilih menjadi PJS Ketua
Kabinet KM ITB. Sebulan berlalu, Periode PJS KM ITB pun habis, masa referendum
pun tiba. Aku beranikan diri untuk maju sebagai calon Ketua Kabinet KM ITB. Kasus
gerbang utara dan juga mantan ketua unit media menjadi modalku dalam
berkampanye di hearing bebas atau
ketika berkunjung ke himpunan-himpunan. Aku sempatkan buat tulisan dan juga
berkunjung ke mantan ketua kabinet dan juga petinggi ITB. Pemeriksaan berkas
referendum pun digelar. Satu hari yang diberikan panitia untuk mengumpulkan
tanda-tangan para ketua himpunan tidak bisa aku lakukan. Aku hanya dapatkan
lima tanda tangan. Aku maju secara independen, memakai bendera unit. Tim
pemenanganku pun hanya dua orang ; aku dan pasanganku, Ucok, mantan Majelis
Wali Amanat Wakil Mahasiswa (MWA-WM). Akupun gagal sebelum referendum digelar.
Lagi-lagi bergulat dengan Fisika.
Kali ini ditambah dengan Tugas Akhir yang terbengkalai lebih dari dua semester.
Dosen wali di setiap awal semester selalu memarahiku sejak semester empat. Aku
kenyang akan marahan. Tepatnya awal semester sembilan atau awal tingkat lima.
Aku hendak meminta izin dosen wali untuk turut serta di konferensi di Dubai.
Kebetulan aku diterima di konferensi mahasiswa tingkat internasional. Semester
pendek pun aku terfokus pada tiga hal ; Tugas Akhir, Konferensi di Dubai, dan
Semester Pendek. Dosen wali secara tersirat tidak setuju atas keikutsertaanku
di konferensi tetapi aku jalan terus. Berbagai cara telah kulakukan untuk
mencari donatur konferensi mulai dari kontak alumni, perusahaan, sampai ajukan
ke program studi. Sampai seminggu menjelang keberangkatan, aku masih belum
mendapatkan dana yang cukup. Aku terpaksa batalkan konferensi. Tugas Akhir juga
gagal selesai, namun semester pendek termodinamika
mendapat indeks B. Lumayan.
Semester sembilan kumulai dengan
target yang jelas di tembok kamar. Aku masih mencari celah untuk hindari Fisika.
Aku pun disamping sering nongkrong di unit, juga turut serta menjadi anggota
beberapa klab di Bandung, dan juga kontributor media massa Tribun Jabar. Aku juga menjadi maniak buku. Tidak hanya membaca,
aku juga aktif memborong buku setiap bulannya. Aku juga mendadak memiliki hobi
panjat gunung dan traveling.
Kefokusanku terhadap Tugas Akhir dan Fisika terpecah. UTS-ku tetap saja gagal
sementara semester sembilan beberapa minggu lagi akan habis. Disela-sela waktu
yang sedikit ini, aku sering kali merenung. Aku mencoba membulatkan tekad untuk
jalani semua ini. Aku mencoba berfikir positif akan bisa jalani semua.
Puncaknya di semester sepuluh,
aku tanggalkan semua akivitas yang membebaniku ini. Aku fokus pada pengerjaan
Tugas Akhir dan kuliah. Metode belajar kuganti. Seminar dua pun selesai
kulewati. Kuliah pun selesai kujalani. Aku pun lulus Fisika ITB. Aku pun
terlepas dari kelemahanku. Aku masuk diduniaku sebenarnya. Aku ambil kuliah
pascasarjana di dunia politik dan ekonomi. Di bidang ilmu tersebut aku melesat.
Tulisanku seringkali menghiasi surat kabar nasional. Aku bahkan mampu ciptakan
satu buku yang terjual lebih dari 1000 eksemplar. Tidak terasa, dua tahun
terlewat. Aku lulus dari pascasarjana dengan predikat cumlaude. Tidak puas disini, aku berlanjut kuliah pascasarjana lagi
di Jerman tepatnya di Bonn University,
sekolahnya Karl Marx, tokoh kiri yang melegenda itu. Saat kuliah di Jerman,
selain menjadi ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, aku juga
seringkali diundang menjadi Ambassador
di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), dan lembaga dunia lainnya. Konferensi hampir
setiap bulan aku ikuti baik di Jerman atau di Eropa bahkan Amerika. Aku
menikmati ini semua. Aku benar-benar menjadi diriku. Biarpun seringkali gagal
di ITB,namun kampus ini menjadi tempat untuk menemukan siapa aku sebenarnya.
*Cerpen ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Apresiasi Sastra
0 komentar:
Post a Comment