Wednesday, November 27, 2013

Mengenali Diri*

Namaku Ali. Aku mahasiswa tingkat lima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri tertua di Indonesia. Seperti mahasiswa tingkat akhir lainnya, aku mengerjakan Tugas Akhir namun sudah setahun belum juga selesai. Aku mengambil program studi Fisika. Mengingat masa SNMPTN empat tahun lalu, Fisika sebenarnya bukan pilihan pertamaku. Aku dulu pilih jurusan Informatika. Alasannya sih biar nantinya mudah dapat kerjaan setelah lulus. Juga masa itu, jurusan Informatika di kampusku passing grade-nya paling tinggi se-Indonesia. Menantang banget kan ? Tapi nasib pun berkata lain. Sudah lebih dari empat tahun, aku tetap masih belum bisa berteman dengan Fisika. Fisika masih tetap menjadi boomerang aku dalam beraktivitas. Tidak pernah aku melakukan sesuatu dengan maksimal. Dalam pikiranku selalu terbayang Fisika. Fisika tetaplah musuhku. Seringkali aku bertekad ingin menumbangkan Fisika dengan memasang target belajar dan nilai, namun tetap saja setelah sebulan kuliah, akupun tepar. Akupun kalah dengan Fisika. Fisika terlalu tangguh bagiku. Strategi dan cara lain kucoba. Kali ini aku mengubah pola belajarku. Semula dengan hanya membaca textbook, faham ataupun tidak faham. Kali ini aku terapkan belajar dengan pelan-pelan. Halaman demi halaman kubaca dengan pelan. Contoh soal pun kupelajari. Tetapi baru beberapa halaman kubaca, jadwal UTS sudah didepan mata. Metode belajar lama pun terpaksa kupakai lagi. Tidak ada pilihan lain. Dalam pikiranku selalu terbayang materi yang diajarkan dosen di kelas yang harus aku habiskan sebelum ujian. Walhasil, UTS pun gagal. Aku mengulang semester depan.

doc. google
Sudah tiga tahun sejak masuk jurusan, tidak ada yang berbeda dalam belajarku. Aku tetap anget-anget tahi ayam. Aku menginginkan hasil yang cepat dan memuaskan sementara otakku tidak mampu. Namun, tekanan batin dari orangtua dan teman-teman sekelasku membuatku melakukan hal serupa dengan semester sebelumnya. Aku tetap terapkan metode belajar gaya lama. UTS tetap hancur. Aku pun frustasi. Habis ujian aku ke warnet main game online berjam-jam. Aku sampai lupa kalau hari itu ada jadwal kuliah. Akupun bolos kuliah berhari-hari. Game online menjadi kawan dekatku. Mungkin ini karena kejombloanku. Aku jomblo sejak lulus SD dan aku masih phobia dengan wanita cantik di dunia nyata. Pelampiasan frustasiku kedua adalah buku. Buku-buku textbook Fisika membuatku pusing. Aku alihkan ke buku motivasi. Buku motivasi banyak berbicara tentang manajemen dan kepemimpinan. Aku pun borong buku manajemen Rhenald Kasali di Gramedia. Lebih dari 500 ribu aku habiskan untuk memborong buku Rhenald Kasali dan Peter Drucker. Selanjutnya buku-buku tersebut kubaca terus. Aku tidak kenal pagi, siang, ataupun sore. Ada UTS ataupun tidak, tetap kubaca. Dalam sebulan aku habiskan 11 buku dengan mayoritas buku manajemen. Temen-temen asramaku sampai menjulukiku gila buku. Kebiasaanku tersebut hanya bertahan tiga bulan. Selanjutnya hilang. Kata salah satu pemateri di training kepemimpinan asrama, Bachtiar Hamzah, mengatakan bahwa kebiasaan yang dibangun secara rutin dan berlangsung selama empat puluh hari tanpa putus maka akan menjadi kebiasaan selamanya. Ungkapan Bachtiar tidak berlaku untukku.

Kebiasaan membacaku telah hilang. Aku mencari pelampiasan lain dari rasa frustasiku atas kegagalanku dalam berteman dengan Fisika. Aku pun berbisnis. Saat ada pasar kaget di gasibu tiap minggu, akupun jualan dengan bekas teman asramaku, Rendy. Namun, jualan di Gasibu hanya bertahan empat kali alias sebulan saja. Kemudian, aku temukan bisnis baru yakni properti. Training gratis tiap minggu sore di S28 Jalan Sulanjana rutin aku ikuti. Kebetulan pengisinya adalah kakak kelas tua di Fisika yang banting stir berkarir sebagai developer properti. Ezra Sigalingging namanya. Training darinya kuikuti dengan seksama. Bahkan aku rela berdesak-desakan dengan peserta lain. Suatu saat aku bertekad ingin ikuti training esklusif dengan beliau, tarifnya 2 Juta. Mendengar nominal yang begitu besar aku urungkan. Aku hanya pilih training gratisan dari beliau. Suatu ketika beliau menceritakan cerita sukses penjual bubur ayam. Penjual ini melihat rumah yang dipasang papan "Dijual tanpa perantara". Penjual tersebut lalu dekati pemilik rumah lalu menjualkan rumah tersebut dengan harga lebih besar. Melihat surat Izin Membangun Rumah (IMB) rumah yang terlampau kecil, penjual bubur tersebut dengan Percaya Diri akan bisa menjual rumah dalam tempo yang  relatif cepat. Penjual bubur tersebut meminta waktu hanya tiga bulan. Namun, tidak disangka rumah terjual hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Penjual bubur pun untung 150 Juta bersih. Aku pun selepas training langsung mencari bidikan rumah. Targetku rumah di kawasan Cikaso. Kebetulan aku memprivat Cika dan Sifa di Cikaso tiap senin dan kamis sore. Aku dapatkan rumah di Gang Cikaso yang terpampang papan "Dijual Tanpa Perantara". Aku terapkan strategi penjual bubur. Aku depati pemilik rumah saat aku hendak tunaikan sholat ashar. Kopian surat-surat rumah aku minta. Akupun selanjutkan promosikan rumah-rumah tersebut di toko online ; tokobagus dan berniaga. Ada tiga rumah yang kujual. Ketiga rumah tersebut tidak ada yang menyentuh 1 Milyar karena memang rumah tua. Tidak hanya saat les aku kunjungi pemilik rumah, bahkan saat hari biasa aku pun berkunjung kesana. Tercatat ada empat orang yang kuantarkan ke rumah. Mereka semuanya adalah mahasiswa dan alumni ITB kecuali seorang. Mereka mendengar aku jual rumah dari Grup Facebook Jual Beli ITB. Suatu ketika, aku senang luar biasa ketika handphone-ku berdering. Penelpon tersebut berniat untuk membeli rumah. Tanpa harus melihat rumah, mereka deal untuk membeli rumah dengan uang pangkal sekian puluh juta. Sore itu mereka janji akan membayar via transfer bank. Sore aku cek ternyata mereka adalah sekelompok penipu. Aku dihipnotis saat memasuki ATM untuk transfer balik. Untungnya aku kebal. Tercatat ada tiga orang yang melakukan hal demikian. Pengalaman kehilangan 16 Juta tahun lalu membuatku bisa hati-hati terhadap modus ini. Lebih dari tiga bulan aku jual rumah, namun tetap juga tidak laku. Akupun gelisah dan frustasi. Keoptimisanku menjadi pengusaha properti hilang. Akupun drop out dari rencana menjadi pengusaha properti. Aku kembali ke jalur semula.

Begelut dengan Fisika masih membuatku frustasi. Aku kembali menjadi aktivis kampus. Aku kembali sering nongkrong di sekre unit untuk sekedar berbincang masalah kampus dan Indonesia. Kasus Gerbang Utara sedang hot diperbincangkan massa Sunken. Aku turut serta didalamnya. Biarpun tidak sebagai provokator utama, aku menjadi teman setia koordinator pergerakan, Yudha. Propaganda dan diskusi pun rutin dibuat. Berbincang dengan pihak rektorat pun diadakan, namun tanggapan mereka tetaplah dingin. Gerbang Utara tetap ditutup. Yudha sebagai inisiator gerakan ternyata lambat-laun semakin melembek. Dia tidak sesemangat pada awal gerakan. Ternyata bukan membuka gerbang tujuan gerakan ini, melainkan penyadaran bahwa kebijakan rektorat selama ini harus kita kawal. Mahasiswa jangan sampai tinggal diam. Ini bertentangan dengan sikapku yang menginginkan hasil yang jelas dalam setiap pergerakan. Sikap Yudha membuatku antipati terhadapnya. Suatu waktu terdapat masa kekosongan ketua Kabinet KM ITB. Yudha maju untuk mengisi kekosongan tersebut. Diapun terpilih biarpun secara voting dia kalah dengan Mulki, tangan kanan Damar, Ketua Kabinet KM ITB yang lengser. Namun, berkat manuver teman-teman dekat Yudha, Ia pun terpilih menjadi PJS Ketua Kabinet KM ITB. Sebulan berlalu, Periode PJS KM ITB pun habis, masa referendum pun tiba. Aku beranikan diri untuk maju sebagai calon Ketua Kabinet KM ITB. Kasus gerbang utara dan juga mantan ketua unit media menjadi modalku dalam berkampanye di hearing bebas atau ketika berkunjung ke himpunan-himpunan. Aku sempatkan buat tulisan dan juga berkunjung ke mantan ketua kabinet dan juga petinggi ITB. Pemeriksaan berkas referendum pun digelar. Satu hari yang diberikan panitia untuk mengumpulkan tanda-tangan para ketua himpunan tidak bisa aku lakukan. Aku hanya dapatkan lima tanda tangan. Aku maju secara independen, memakai bendera unit. Tim pemenanganku pun hanya dua orang ; aku dan pasanganku, Ucok, mantan Majelis Wali Amanat Wakil Mahasiswa (MWA-WM). Akupun gagal sebelum referendum digelar.

Lagi-lagi bergulat dengan Fisika. Kali ini ditambah dengan Tugas Akhir yang terbengkalai lebih dari dua semester. Dosen wali di setiap awal semester selalu memarahiku sejak semester empat. Aku kenyang akan marahan. Tepatnya awal semester sembilan atau awal tingkat lima. Aku hendak meminta izin dosen wali untuk turut serta di konferensi di Dubai. Kebetulan aku diterima di konferensi mahasiswa tingkat internasional. Semester pendek pun aku terfokus pada tiga hal ; Tugas Akhir, Konferensi di Dubai, dan Semester Pendek. Dosen wali secara tersirat tidak setuju atas keikutsertaanku di konferensi tetapi aku jalan terus. Berbagai cara telah kulakukan untuk mencari donatur konferensi mulai dari kontak alumni, perusahaan, sampai ajukan ke program studi. Sampai seminggu menjelang keberangkatan, aku masih belum mendapatkan dana yang cukup. Aku terpaksa batalkan konferensi. Tugas Akhir juga gagal  selesai, namun semester pendek termodinamika mendapat indeks B. Lumayan.

Semester sembilan kumulai dengan target yang jelas di tembok kamar. Aku masih mencari celah untuk hindari Fisika. Aku pun disamping sering nongkrong di unit, juga turut serta menjadi anggota beberapa klab di Bandung, dan juga kontributor media massa Tribun Jabar. Aku juga menjadi maniak buku. Tidak hanya membaca, aku juga aktif memborong buku setiap bulannya. Aku juga mendadak memiliki hobi panjat gunung dan traveling. Kefokusanku terhadap Tugas Akhir dan Fisika terpecah. UTS-ku tetap saja gagal sementara semester sembilan beberapa minggu lagi akan habis. Disela-sela waktu yang sedikit ini, aku sering kali merenung. Aku mencoba membulatkan tekad untuk jalani semua ini. Aku mencoba berfikir positif akan bisa jalani semua.

Puncaknya di semester sepuluh, aku tanggalkan semua akivitas yang membebaniku ini. Aku fokus pada pengerjaan Tugas Akhir dan kuliah. Metode belajar kuganti. Seminar dua pun selesai kulewati. Kuliah pun selesai kujalani. Aku pun lulus Fisika ITB. Aku pun terlepas dari kelemahanku. Aku masuk diduniaku sebenarnya. Aku ambil kuliah pascasarjana di dunia politik dan ekonomi. Di bidang ilmu tersebut aku melesat. Tulisanku seringkali menghiasi surat kabar nasional. Aku bahkan mampu ciptakan satu buku yang terjual lebih dari 1000 eksemplar. Tidak terasa, dua tahun terlewat. Aku lulus dari pascasarjana dengan predikat cumlaude. Tidak puas disini, aku berlanjut kuliah pascasarjana lagi di Jerman tepatnya di Bonn University, sekolahnya Karl Marx, tokoh kiri yang melegenda itu. Saat kuliah di Jerman, selain menjadi ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, aku juga seringkali diundang menjadi Ambassador di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), dan lembaga dunia lainnya. Konferensi hampir setiap bulan aku ikuti baik di Jerman atau di Eropa bahkan Amerika. Aku menikmati ini semua. Aku benar-benar menjadi diriku. Biarpun seringkali gagal di ITB,namun kampus ini menjadi tempat untuk menemukan siapa aku sebenarnya.

*Cerpen ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Apresiasi Sastra

0 komentar: