Saya
senang mendapat ilmu baru, dari siapapun, tak peduli dari profesor maupun
pedagangan asongan. Bagi saya setiap orang tercipta sama sebagai individu yang
merdeka dan setara. Saya tidak menjuluki diri saya intelektual, saya sekedar
seorang fakir ilmu yang sadar akan kefakiran saya. Satu hal yang menjadikan
saya betah untuk belajar hal baru adalah kawan-kawan saya di kampus khususnya
yang sering kali nongkrong di ruang tengah Sunken Court, ITB. Saya menamai
mereka kaum intelektual.
Kaum
intelektual menurut saya adalah orang-orang yang cinta akan ilmu atau senang
akan belajar. Mereka tak terkotak dalam boundary
keilmuan jurusannya, namun mereka mencoba belajar lebih luas. Bahkan
seringkali belajar bukan disiplin ilmunya. Mereka juga peka terhadap fenomena
yang ada di masyarakat dan memiliki andil berupa gerakan yang konsisten. Selain
itu tak lupa mereka selalu mengorientasikan kiprah mereka dalam sebuah tulisan
yang beranjut. Artinya tidak melulu lisan, mereka kontinyu berbuat untuk
berkarya sehingga melalui karya inilah mereka menyebarluaskan gagasan ke
khalayak.
Sunken
sebagai Inkubator
Saya
kira dua tahun ini adalah kejayaan intelektualisme di kampus ganesha. Betapa
tidak, kegiatan intelektual seperti malam budaya ganesha, diskusi, dan panggung
bebas sastra berjalan kontinyu dan mendapat sambutan hangat dari massa kampus.
Tak hanya itu, karya-karya tulisan akademik dan sastra bertebaran di dunia maya
bahkan ada yang membukukan sebagai booklet. Saya akan sebut beberapa orang
dibalik ini ; Pertama, Adit dari Majalah Ganesha yang kontinyu menulis terkait
filsafat dan matematika, Kedua, Kartini dari Lingkar Sastra dengan konsisten
menulis puisi-puisi dan membangkitkan unit Lingkar Sastra untuk show up di publik, Ketiga, Choirul dari
Tiben yang hampir setiap hari menulis di portal miliknya wartamerta.com. Masi
banyak yang lain seperti Haris dari Tiben, Husein dari Ganeca Pos, Okie dari
Majalah Ganesha, Asra dari Lingkar Sastra, Kukuh dari Lingkar Sastra, dan lain-lain.
Tak lupa, Senartogok alias Tarjo yang biarpun bukan orang ITB tapi dia konsisten
membuat kolase, menulis majalah Zine dan juga men-support anak Sunken untuk berkarya dan berkarya. Sulit kiranya
memisahkan Tarjo dengan anak Sunken.
Mereka
seringkali bertemu di Sunken terutama di ruang tengah alias sekre Tiben. Di
sana selain berdiskusi mereka juga ngobrol ngalor ngidul, membaca puisi,
menulis, bermusik, dan sebagainya. Terlihat gairah anak muda yang selalu haus
akan ilmu dan karya. Saya seringkali menimbrung bersama mereka untuk sekedar
turut diskusi, mengkopi film, atau berselancar di dunia maya. Bagi saya mereka
konsisten berkarya biarpun ada dari mereka yang berpuasa sementara dari dunia
akademik kampus. Konsistensi mereka inilah yang menjadikan saya saat bersinggah
disini menjadi semangat untuk menulis. Tak keliru saya menamai Sunken sebagai
inkubator berkumpulnya kaum intelektual kampus.
Pemikir
Masa Depan
Saya
kira lingkungan intelektual yang sedemikian masif dengan aneka kegiatan
mencapai kejayaan di dua terakhir ini. Saya tidak tahu ke depan penerus mereka
masih ada atau tidak. Saya membayangkan para intelektual Sunken ini di depan
akan menjadi para pemikir dengan umatnya masing-masing. Adit akan jadi
matematikawan-filsuf, Choirul akan jadi filsuf besar begitu pula Haris, Kartini
dan Asra akan jadi sastrawan besar, Okie dan Husein akan jadi pemikir sosial
politik, dan sebagainya. Saya mengharapkan sekali dari mereka dunia intelektual
Indonesia menjadi semakin riuh dengan karya-karya yang mengimbangi kegaduhan
dunia politik.
Masa
depan ditentukan dari bagaimana masa mudanya. Mereka saat muda sudah memulai
tinggal kita lihat kadar konsistensinya. Memang kegiatan mereka jauh dari
material namun saya kira mereka hidup dengan idealisme yang menyala. Mereka
bisa bedakan antara mencari duit dan berkarya. Akhirnya, ketika saya kembali membaca
tulisan ini di beberapa puluh tahun ke depan saya akan senyum-senyum dan
berbangga karena orang-orang yang saya tulis disini menjadi seorang intelektual
betul.
0 komentar:
Post a Comment