Saturday, February 27, 2016

LGBT : Larangan Diskusi di Kampus, Landasan Ilmiah, Perspektif Islam, dan Sikap Saya

#2

Perizinan diskusi terbuka LGBT di ITB beberapa waktu lalu tidak dikeluarkan oleh pihak Lembaga Kemahasiswaan (LK) ITB. Berdasarkan salah satu pihak yang menghadap LK, alasan kampus melarang adalah karena isu yang dibahas kontroversial. Ini menimbulkan pertanyaan bagi saya, apa makna kampus sebagai lembaga intelektual ? Bukannya di sini kita bebas untuk mengobrol tentang apapun yang penting berada dalam konteks akademik ?.
                                                                                                                      
Banyak orang mengamini bahwa kampus (universitas) adalah tempat dimana ilmu dipelajari dan dikembangkan. Artinya kampus membuka semua hal baru terkait perkembangan ilmu. Sumber ilmu adalah masalah atau persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Namun ternyata kampus berdiri membawa kepentingan negara. Artinya negara memiliki otoritas untuk mempengaruhi kebijakan kampus (terkait hubungan kampus dan negara masih diperdebatkan, namun saya meyakini itu).

Persoalan LGBT karena telah menjadi perbincangan publik, maka landasan sikap terkait LGBT yang relevan adalah landasan hukum negara terkait LGBT, bisa Undang-Undang (UU) ataupun payung hukum di bawahnya.

Kondisi hari ini ternyata belum ada payung hukum terkait LGBT. Artinya, Pemerintah belum bersikap terkait persoalan ini. Memang banyak pihak yang menyuarakan pro dan kontra terkait LGBT namun dalam konteks negara hukum pendapatan perorangan/golongan tidak dapat dipakai.

Tindakan pelarangan diskusi LGBT di kampus ITB ditinjau dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia tidak dibenarkan. Lembaga Kemahasiswaan (LK) ITB tidak berhak melarang mahasiswa untuk berdiskusi seputar LGBT karena tidak bertentangan dengan UU atau payung hukum lain. Jika LK menggunakan alasan aturan kampus sebagai landasan pelarangan, maka aturan kampus tersebut perlu disesuaikan (direvisi) dengan jati diri universitas. Pelarangan diskusi di kampus adalah cermin dari kemrosotan nilai-nilai intelektualitas.

LGBT Normal atau penyakit

WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pada 26 tahun lalu mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental (Franz Magnis Suseno, Kompas, 23/2/2016). Artinya orang dengan pengidap LGBT itu normal. Saya tidak tahu terkait penelitian terakhir terkait LGBT ditinjau dalam segi medis/biologi (harusnya kampus membahas ini). Jika memang hasil penelitian ilmiah mutakhir menunjukkan bahwa kecenderungan LGBT itu normal, maka sebagai insan akademis saya percaya.

Perspektif Islam

Di surat Al-Ankabut ayat 28-35 diceritakan terkait kaum Luth yang homo. Saya mengutip ayat 31 dalam surat tersebut “Sungguh, kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh orang-orang zalim”. Beberapa ayat lain dan juga hadits Nabi menjelaskan pelarangan untuk melakukan tindakan homo (LGBT). Ini menegaskan bahwa Islam melarang tindakan LGBT bagi pemeluk-pemeluknya entah dalam motif apapun. Prinsip beragama itu sederhana, sami’na wa ‘ato’naa (Saya mendengar dan saya taati). Maka saya pun demikian.

Sikap Saya

LGBT masuk dalam ranah perbuatan, maka saya menempatkan agama sebagai landasan saya bersikap. Karena Islam secara terang-terangan melarang tindakan homo, maka sikap saya juga sama, menolak homo (LGBT). Entah sains bilang homo itu normal bukan penyakit saya tidak peduli (logika sama dengan hukum makan daging babi). Namun jika saya sedang membahas LGBT dalam konteks sains (misalkan dalam bidang reproduksi), maka saya akan katakan LGBT itu normal.

Biarpun saya kontra dengan LGBT, namun tak lantas saya mendiskriminasi mereka yang suspect LGBT. Saya akan contohkan, misalkan saya berkeluarga dan memiliki anak. Ternyata anak saya memiliki kecenderungan homo, maka saya akan arahkan sedemikian sehingga dia tidak homo. Saya pakai agama  sebagai pegangan. Jika ternyata anak saya sampai dewasa ternyata tetap homo, maka tugas saya mengingatkan gugur. Di titik ini kemungkinan besar saya akan sedih, namun apa daya saya sudah berusaha semaksimal mungkin.

Terkait gerakan LGBT, saya jelas menolak. Namun perihal diskusi LGBT di manapun apalagi di lembaga akademik, saya mendukung.

Kritik Saya Pada Mereka yang Pro/Kontra

Banyak orang menyikapi pro/kontra dengan perspektif yang tidak jelas. Ada yang mengatakan LGBT itu penyakit namun landasan agama yang dipakai bukan sains (Pertanyaan saya, Apakah kitab suci itu kitab sains?). Ada yang mendukung LGBT karena kecenderungan seksual seperti itu normal dalam konteks medis, padahal dia mewakili golongan Islam tertentu (Pertanyaan saya, Anda membaca Alquran, tidak?).

Kritikan saya selanjutnya adalah pada pihak yang menebar kebencian atau dugaan pada pihak-pihak yang ingin mendiskusikan persoalan LGBT. Mereka dengan tanpa data dan fakta yang jelas, menuduh bahwa adanya diskusi LGBT untuk menyebarkan gerakan LGBT di Indonesia. Sebagai contoh saat MG dan Tiben akan mengadakan diskusi LGBT dengan narasumber dari SGRC UI dan dosen Unpad, banyak pihak menuduh forum ini untuk menyebarkan gerakan LGBT. Padahal faktanya sekedar diskusi saja.

Epilog

Gunakan perspektif dalam Anda bersikap. Dengan begitu, Anda anda terbuka dengan persoalan apapun, dengan orang manapun. Pesan saya selanjutnya, jika Anda memahami satu perspektif (misal agama), jangan menutup diri untuk cari tahu perspektif lain.

Terakhir, saya mendorong Pemerintah untuk tegas untuk bersikap terkait LGBT. Jangan sampai persoalan ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi.

0 komentar: