#2
Perizinan diskusi
terbuka LGBT di ITB beberapa waktu lalu tidak dikeluarkan oleh pihak Lembaga
Kemahasiswaan (LK) ITB. Berdasarkan salah satu pihak yang menghadap LK, alasan
kampus melarang adalah karena isu yang dibahas kontroversial. Ini menimbulkan
pertanyaan bagi saya, apa makna kampus sebagai lembaga intelektual ? Bukannya
di sini kita bebas untuk mengobrol tentang apapun yang penting berada dalam
konteks akademik ?.
Banyak orang
mengamini bahwa kampus (universitas) adalah tempat dimana ilmu dipelajari dan
dikembangkan. Artinya kampus membuka semua hal baru terkait perkembangan ilmu.
Sumber ilmu adalah masalah atau persoalan yang sedang berkembang di masyarakat.
Namun ternyata kampus berdiri membawa kepentingan negara. Artinya negara
memiliki otoritas untuk mempengaruhi kebijakan kampus (terkait hubungan kampus
dan negara masih diperdebatkan, namun saya meyakini itu).
Persoalan LGBT karena telah menjadi
perbincangan publik, maka landasan sikap terkait LGBT yang relevan adalah
landasan hukum negara terkait LGBT, bisa Undang-Undang (UU) ataupun payung
hukum di bawahnya.
Kondisi hari ini
ternyata belum ada payung hukum terkait LGBT. Artinya, Pemerintah belum
bersikap terkait persoalan ini. Memang banyak pihak yang menyuarakan pro dan
kontra terkait LGBT namun dalam konteks negara hukum pendapatan
perorangan/golongan tidak dapat dipakai.
Tindakan
pelarangan diskusi LGBT di kampus ITB ditinjau dalam perspektif hukum yang
berlaku di Indonesia tidak dibenarkan. Lembaga Kemahasiswaan (LK) ITB tidak
berhak melarang mahasiswa untuk berdiskusi seputar LGBT karena tidak
bertentangan dengan UU atau payung hukum lain. Jika LK menggunakan alasan
aturan kampus sebagai landasan pelarangan, maka aturan kampus tersebut perlu
disesuaikan (direvisi) dengan jati diri universitas. Pelarangan diskusi di
kampus adalah cermin dari kemrosotan nilai-nilai intelektualitas.
LGBT Normal atau
penyakit
WHO (Organisasi
Kesehatan Dunia) pada 26 tahun lalu mencoret homoseksualitas dari daftar
penyakit mental (Franz Magnis Suseno, Kompas, 23/2/2016). Artinya orang dengan
pengidap LGBT itu normal. Saya tidak tahu terkait penelitian terakhir terkait LGBT
ditinjau dalam segi medis/biologi (harusnya kampus membahas ini). Jika memang
hasil penelitian ilmiah mutakhir menunjukkan bahwa kecenderungan LGBT itu
normal, maka sebagai insan akademis saya percaya.
Perspektif Islam
Di surat Al-Ankabut
ayat 28-35 diceritakan terkait kaum Luth yang homo. Saya mengutip ayat 31 dalam
surat tersebut “Sungguh, kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom) ini
karena penduduknya sungguh orang-orang zalim”. Beberapa ayat lain dan juga
hadits Nabi menjelaskan pelarangan untuk melakukan tindakan homo (LGBT). Ini
menegaskan bahwa Islam melarang tindakan LGBT bagi pemeluk-pemeluknya entah
dalam motif apapun. Prinsip beragama itu sederhana, sami’na wa ‘ato’naa (Saya mendengar dan saya taati). Maka saya pun
demikian.
Sikap Saya
LGBT masuk dalam
ranah perbuatan, maka saya menempatkan agama sebagai landasan saya bersikap.
Karena Islam secara terang-terangan melarang tindakan homo, maka sikap saya
juga sama, menolak homo (LGBT). Entah sains bilang homo itu normal bukan
penyakit saya tidak peduli (logika sama dengan hukum makan daging babi). Namun
jika saya sedang membahas LGBT dalam konteks sains (misalkan dalam bidang
reproduksi), maka saya akan katakan LGBT itu normal.
Biarpun saya
kontra dengan LGBT, namun tak lantas saya mendiskriminasi mereka yang suspect LGBT. Saya akan contohkan,
misalkan saya berkeluarga dan memiliki anak. Ternyata anak saya memiliki
kecenderungan homo, maka saya akan arahkan sedemikian sehingga dia tidak homo.
Saya pakai agama sebagai pegangan. Jika
ternyata anak saya sampai dewasa ternyata tetap homo, maka tugas saya
mengingatkan gugur. Di titik ini kemungkinan besar saya akan sedih, namun apa
daya saya sudah berusaha semaksimal mungkin.
Terkait gerakan
LGBT, saya jelas menolak. Namun perihal diskusi LGBT di manapun apalagi di
lembaga akademik, saya mendukung.
Kritik Saya Pada
Mereka yang Pro/Kontra
Banyak orang
menyikapi pro/kontra dengan perspektif yang tidak jelas. Ada yang mengatakan
LGBT itu penyakit namun landasan agama yang dipakai bukan sains (Pertanyaan
saya, Apakah kitab suci itu kitab sains?). Ada yang mendukung LGBT karena
kecenderungan seksual seperti itu normal dalam konteks medis, padahal dia
mewakili golongan Islam tertentu (Pertanyaan saya, Anda membaca Alquran,
tidak?).
Kritikan saya
selanjutnya adalah pada pihak yang menebar kebencian atau dugaan pada
pihak-pihak yang ingin mendiskusikan persoalan LGBT. Mereka dengan tanpa data
dan fakta yang jelas, menuduh bahwa adanya diskusi LGBT untuk menyebarkan
gerakan LGBT di Indonesia. Sebagai contoh saat MG dan Tiben akan mengadakan
diskusi LGBT dengan narasumber dari SGRC UI dan dosen Unpad, banyak pihak
menuduh forum ini untuk menyebarkan gerakan LGBT. Padahal faktanya sekedar diskusi
saja.
Epilog
Gunakan
perspektif dalam Anda bersikap. Dengan begitu, Anda anda terbuka dengan
persoalan apapun, dengan orang manapun. Pesan saya selanjutnya, jika Anda
memahami satu perspektif (misal agama), jangan menutup diri untuk cari tahu
perspektif lain.
Terakhir, saya
mendorong Pemerintah untuk tegas untuk bersikap terkait LGBT. Jangan sampai
persoalan ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi.
0 komentar:
Post a Comment