Friday, May 06, 2016

Menjadikan PKL Sebagai Penggerak Ekonomi Kreatif

Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy, mahasiswa Magister Studi Pembangunan ITB

Beberapa hari terakhir kebijakan walikota Bandung, Ridwan Kamil, terkait penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) mendapat sorotan publik. Khususnya setelah ada insiden pembubaran paksa lapak para PKL oleh Satpol PP Kota Bandung di kawasan Bandung Electronic Center (BEC) Jalan Purnawarman pada sabtu lalu (16/4/2016). Kebijakan relokasi oleh Pemkot ditentang oleh para PKL karena dianggap belum memenuhi kesepakan di antara kedua belah pihak. Kebijakan ini sebenarnya bukan hal baru karena di awal pemerintahan Ridwan Kamil, Pemkot telah merelokasi PKL di sekitar Bandung Indah Plaza (BIP) Jalan Merdeka di basement gedung tersebut.

Kini, Pemkot Bandung berencana akan merelokasi para PKL di empat titik berbeda yaitu Dayang Sumbi, Cicadas, Otista, dan Purnawarman. Kejadian penolakan oleh para PKL untuk relokasi di wilayah lain sangat mungkin akan terjadi lagi seperti kejadian Purnawarman jika memang solusi relokasi yang ditawarkan Pemkot Bandung tidak mencapai kesepakatan. Dari sini mengemuka pertanyaan, mengapa Pemkot Bandung buru-buru melakukan penertiban PKL jika belum ada kesepakatan antara keduanya ?.

Jika ditilik dari pihak PKL, umumnya mereka adalah tulang punggung keluarga. Mereka memiliki anak, istri/suami, dan keluarga yang harus mereka hidupi. Mereka tidak memiliki keahlian lain selain hanya berjualan. Berdagang di lapak permanen dengan menyewa ruangan di sebuah toko atau gedung sulit mereka lakukan karena keterbatasan modal. Saya yakin mereka faham betul bahwa apa yang dilakukan mereka dengan berjualan di trotoar atau di bahu jalan adalah tindakan melanggar peraturan, namun mereka tidak memiliki pilihan lain. Keterbatan akses dan pilihan mereka akan mata pencaharian adalah sebabnya. Mereka kebanyakan adalah orang-orang dengan berpendidikan rendah.

Menangkap Persoalan secara Jernih

Penolakan relokasi oleh PKL umumnya atas dasar kekhawatiran akan pembeli yang menurun. Sebagai contoh relokasi PKL jalan Merdeka di basement BIP yang dilakukan Pemkot Bandung pada 2014 silam. Berdasarkan laporan organisasi sosial, Rakapare, banyak pedagang sakit paru-paru, stress, hingga stroke karena basement yang tidak layak untuk beraktivitas. Selain itu 10 pedagang gulung tikar, juga mereka dirudung konflik internal karena munculnya kecemburuan sosial. Lantas apakah yang menjadi dasar Walikota Ridwan Kamil mengatakan relokasi PKL Jalan Merdeka sukses ?. Fakta di atas seharusnya menjadi cerminan bagi Pemkot Bandung dalam merencakan kebijakan penertiban PKL di masa mendatang.
 
PKL di Jalan Merdeka, satu beberapa spot yang menjadi sorotan Pemkot Bandung (dok. tempo.co)
Alasan yang seringkali disampaikan oleh Pemkot adalah para PKL ini menganggu ketertiban, keindahan kota, kemacetan, dan sebagainya. Ini lantas menimbulkan pertanyaan bagi saya, bukannya outlet-outlet, kafe-kafe, mal-mal, dan sejenisnya di beberapa jalan di kota Bandung juga menimbulkan ekses-ekses serupa?. Bagaimana tindakan Walikota atas hal ini, mengapa kebijakan penertiban PKL yang harus didahulukan ?. Apakah yang perlu didahulukan ketertiban dan turunannya ataukah keadilan ekonomi bagi para PKL ?. Para pakar ilmu sosial sepakat bahwa kemiskinan adalah pangkal dari tindakan kejahatan. Para PKL rentan akan kemiskinan karena mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan keterampilan untuk berpindah ke profesi lain yang labih layak. Kondisi ini dikhawatirkan, hilangnya pekerjaan atau menurunnya pendapatan mereka akibat kebijakan relokasi akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan yang jelas akan merusak kenyamanan kota Bandung.

Selain hal di atas, skenario yang dapat terjadi jika PKL direlokasi dan ternyata tidak menguntungkan bagi mereka, maka para PKL ini akan kembali berjualan di lokasi semula, biarpun harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Ini jelas akan menambah beban berat Pemkot. Atas dasar inilah, seharusnya Pemkot Bandung melihat persoalan PKL secara komprehensif, tidak hanya melihat dari segi Peratutan Daerah (Perda) yang telah dibuat, melainkan juga memahami persoalan dari pihak PKL.

Poros Ekonomi Kreatif

Bandung di era kepemimpinan Ridwan Kamil akan dibawa menjadi kota kreatif. Tak dapat disangkal bahwa Bandung adalah gudangnya orang-orang kreatif yang mengelompok dalam berbagai entitas atau komunitas. PKL adalah salah satu entitas masyarakat kreatif Bandung biarpun tidak semuanya. Jika memang Pemkot serius dengan ekonomi kreatif, entitas PKL bisa diarahkan sebagai poros ekonomi kreatif. Pemkot dapat melakukan penelitian pasar (market research) dengan mengelompokkan para PKL menjadi beberapa sub kelompok ekonomi di antaranya kuliner, fashion, kerajinan tangan, dan sebagainya. Bagaimana dengan PKL yang sekedar menjual aneka barang dagangan untuk sekedar menyambung hidup seperti gorengan, makanan, dan sebagainya ?. Mereka tidak dibiarkan begitu saja atau bahkan ditendang melainkan Pemkot memfasilitasi mereka untuk dapat berdaya. Caranya dengan memberikan pelatihan keterampilan kepada mereka.

Dengan upaya pemberdayaan ini, PKL Bandung diarahkan untuk mewujudkan bersama-sama visi besar Bandung sebagai kota kreatif. Melalui PKL yang tertata dan bercorak khusus menjadi kunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang dimiliki kota Bandung. Jika pada akhirnya relokasi adalah solusi akhir, maka dapat dipastikan penolakan dari para PKL tidak akan terjadi karena Pemkot dan para PKL sama-sama sepakat untuk mewujudkan visi Bandung. Hal ini tercipta tak lain karena terwujudnya komunikasi yang erat antara Pemkot dan PKL. Langkah ini bukan sebuah utopia jika kedua belah pihak sama-sama berkawan bukan bermusuhan seperti yang terlihat sekarang ini.

0 komentar: