Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy, mahasiswa Magister Studi Pembangunan ITB
Beberapa hari terakhir kebijakan
walikota Bandung, Ridwan Kamil, terkait penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL)
mendapat sorotan publik. Khususnya setelah ada insiden pembubaran paksa lapak
para PKL oleh Satpol PP Kota Bandung di kawasan Bandung Electronic Center (BEC)
Jalan Purnawarman pada sabtu lalu (16/4/2016). Kebijakan relokasi oleh Pemkot
ditentang oleh para PKL karena dianggap belum memenuhi kesepakan di antara
kedua belah pihak. Kebijakan ini sebenarnya bukan hal baru karena di awal
pemerintahan Ridwan Kamil, Pemkot telah merelokasi PKL di sekitar Bandung Indah
Plaza (BIP) Jalan Merdeka di basement gedung tersebut.
Kini, Pemkot Bandung berencana akan
merelokasi para PKL di empat titik berbeda yaitu Dayang Sumbi, Cicadas, Otista,
dan Purnawarman. Kejadian penolakan oleh para PKL untuk relokasi di wilayah
lain sangat mungkin akan terjadi lagi seperti kejadian Purnawarman jika memang solusi
relokasi yang ditawarkan Pemkot Bandung tidak mencapai kesepakatan. Dari sini
mengemuka pertanyaan, mengapa Pemkot Bandung buru-buru melakukan penertiban PKL
jika belum ada kesepakatan antara keduanya ?.
Jika ditilik dari pihak PKL, umumnya mereka
adalah tulang punggung keluarga. Mereka memiliki anak, istri/suami, dan
keluarga yang harus mereka hidupi. Mereka tidak memiliki keahlian lain selain
hanya berjualan. Berdagang di lapak permanen dengan menyewa ruangan di sebuah
toko atau gedung sulit mereka lakukan karena keterbatasan modal. Saya yakin
mereka faham betul bahwa apa yang dilakukan mereka dengan berjualan di trotoar
atau di bahu jalan adalah tindakan melanggar peraturan, namun mereka tidak
memiliki pilihan lain. Keterbatan akses dan pilihan mereka akan mata
pencaharian adalah sebabnya. Mereka kebanyakan adalah orang-orang dengan
berpendidikan rendah.
Menangkap Persoalan secara Jernih
Penolakan relokasi oleh PKL umumnya atas
dasar kekhawatiran akan pembeli yang menurun. Sebagai contoh relokasi PKL jalan
Merdeka di basement BIP yang dilakukan Pemkot Bandung pada 2014 silam.
Berdasarkan laporan organisasi sosial, Rakapare, banyak pedagang sakit
paru-paru, stress, hingga stroke karena basement yang tidak layak untuk
beraktivitas. Selain itu 10 pedagang gulung tikar, juga mereka dirudung konflik
internal karena munculnya kecemburuan sosial. Lantas apakah yang menjadi dasar
Walikota Ridwan Kamil mengatakan relokasi PKL Jalan Merdeka sukses ?. Fakta di
atas seharusnya menjadi cerminan bagi Pemkot Bandung dalam merencakan kebijakan
penertiban PKL di masa mendatang.
Alasan yang seringkali disampaikan oleh
Pemkot adalah para PKL ini menganggu ketertiban, keindahan kota, kemacetan, dan
sebagainya. Ini lantas menimbulkan pertanyaan bagi saya, bukannya outlet-outlet,
kafe-kafe, mal-mal, dan sejenisnya di beberapa jalan di kota Bandung juga
menimbulkan ekses-ekses serupa?. Bagaimana tindakan Walikota atas hal ini,
mengapa kebijakan penertiban PKL yang harus didahulukan ?. Apakah yang perlu
didahulukan ketertiban dan turunannya ataukah keadilan ekonomi bagi para PKL ?.
Para pakar ilmu sosial sepakat bahwa kemiskinan adalah pangkal dari tindakan
kejahatan. Para PKL rentan akan kemiskinan karena mereka umumnya tidak memiliki
keahlian dan keterampilan untuk berpindah ke profesi lain yang labih layak.
Kondisi ini dikhawatirkan, hilangnya pekerjaan atau menurunnya pendapatan
mereka akibat kebijakan relokasi akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan
yang jelas akan merusak kenyamanan kota Bandung.
Selain hal di atas, skenario yang dapat
terjadi jika PKL direlokasi dan ternyata tidak menguntungkan bagi mereka, maka para
PKL ini akan kembali berjualan di lokasi semula, biarpun harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Ini
jelas akan menambah beban berat Pemkot. Atas dasar inilah, seharusnya Pemkot
Bandung melihat persoalan PKL secara komprehensif, tidak hanya melihat dari
segi Peratutan Daerah (Perda) yang telah dibuat, melainkan juga memahami
persoalan dari pihak PKL.
Poros Ekonomi Kreatif
Bandung di era kepemimpinan Ridwan Kamil
akan dibawa menjadi kota kreatif. Tak dapat disangkal bahwa Bandung adalah
gudangnya orang-orang kreatif yang mengelompok dalam berbagai entitas atau
komunitas. PKL adalah salah satu entitas masyarakat kreatif Bandung biarpun
tidak semuanya. Jika memang Pemkot serius dengan ekonomi kreatif, entitas PKL
bisa diarahkan sebagai poros ekonomi kreatif. Pemkot dapat melakukan penelitian
pasar (market research) dengan
mengelompokkan para PKL menjadi beberapa sub kelompok ekonomi di antaranya kuliner,
fashion, kerajinan tangan, dan sebagainya. Bagaimana dengan PKL yang sekedar
menjual aneka barang dagangan untuk sekedar menyambung hidup seperti gorengan,
makanan, dan sebagainya ?. Mereka tidak dibiarkan begitu saja atau bahkan
ditendang melainkan Pemkot memfasilitasi mereka untuk dapat berdaya. Caranya
dengan memberikan pelatihan keterampilan kepada mereka.
Dengan upaya pemberdayaan ini, PKL
Bandung diarahkan untuk mewujudkan bersama-sama visi besar Bandung sebagai kota
kreatif. Melalui PKL yang tertata dan bercorak khusus menjadi kunggulan komparatif
sekaligus kompetitif yang dimiliki kota Bandung. Jika pada akhirnya relokasi
adalah solusi akhir, maka dapat dipastikan penolakan dari para PKL tidak akan
terjadi karena Pemkot dan para PKL sama-sama sepakat untuk mewujudkan visi
Bandung. Hal ini tercipta tak lain karena terwujudnya komunikasi yang erat
antara Pemkot dan PKL. Langkah ini bukan sebuah utopia jika kedua belah pihak
sama-sama berkawan bukan bermusuhan seperti yang terlihat sekarang ini.
0 komentar:
Post a Comment