Wednesday, April 27, 2016

Pendakian Perdana Tahun Ini : Gunung Papandayan (25-26 Maret 2016)

Sebuah catatan perjalanan

Biarpun mendaki gunung itu capek, namun tetap bikin ketagihan. Saya rindu bertemu gunung lagi setelah hampir setahun puasa mendaki. Saya terakhir naik gunung awal tahun lalu di Gunung Pangrango dengan teman-teman dari PT Dirgantara Indonesia. Bagi saya mendaki bukan masalah nyampai puncak atau tidak, namun bagaimana kita (khususnya saya) dapat mengenal alam lebih dekat sehingga dapat bersyukur pada Dzat yang menciptakan.

Kekangenan saya pada gunung itu adalah suasananya yang natural dimana di sana saya dapat menikmati kopi sachet dengan lebih nikmat, menikmati nasi biarpun menyerupai bubur dengan lahap, menikmati mie tanpa direbus dengan rasa syukur, atau menikmati makanan ringan yang kami bawa dari kota dari satu teman ke teman lain. Lingkungan demikian benar-benar merindukan, disamping bercengkerama dengan teman sesama pendaki diselingi tawa, senyum, saling mengejek, marah, maupun terkadang rasa sedih.

Perjalanan ke Papandayan kali ini sungguh berbeda dengan perjalanan ke gunung ini tiga tahun silam. Perjalanan dari Bandung ke Garut kami gunakan mobil carry dengan Agita yang mengemudi. Sementara mobil lainnya, Nissan Juke dikemudikan oleh Ruri teman Mila. Mobil kami dihuni oleh para anggota AKS : Nita, Tami, Sofi, Agita, dan Saya. Sementara mobil satunya Mila dan teman-temannya (Ruri, Fahmi, dan Sasha).  Perjalanan ke Papandayan memakan waktu lebih dari 4 jam. Di Nagrek macet sekali, begitu pula pas masuk ke daerah Garut. Namun untungnya di mobil kami tidak garing, ada dua bidadari yang siap menghibur : Nita dan Tami. Dua orang ini pemicu gelak tawa. Dari mulai nyanyi, gosip, cerita ngalor-ngidul, dan lain-lain. Ini menjadikan perjalanan menjadi lebih hidup.  Aku  berandai, coba Teh Nina ikutan dan satu mobil bersama kami, pasti saya jatuhnya masuk RSJ pasca mendaki Papandayan. Hehehe

Sekitar jam 16 waktu Papandayan, kami sampai di parkiran. Ada ratusan mobil berjejalan. Wajar saya memang waktu itu adalah liburan panjang alias long weekend. Bayar di gerbang utama udah 75 ribu ditambah lagi saat akan markir mobil diminta lagi 45 ribu. Katanya 20 ribu buat kebersihan sisanya ‘pajak’ per orang 5 ribu. Saat itu cuaca hujan biarpun gerimis, untungnya mobil kami dapat parkir. Bukit batu Papandayan terlihat kurang jelas dari tempat parkir karena tertutup kabut. Kami pun segera bersiap dan tentunya foto-foto dulu. Beberapa menit berselang, Nissan Juke putih menghampiri mobil carry kami. Itu Mila ! Saya kira mereka tidak bakalan datang secepat itu.
Berfoto dulu full-team sebelum mendaki
Jadilah kami semua menyiapkan pendakian menuju pondok Saladah, tempat kami camp. Terlebih dahulu kami sholat, foto satu team, dan segera menuju puncak. Jam menunjukkan jam 17 lebih, bahkan nampaknya jam 17.30-an. Kami mulai mendaki dengan memakai jas hujan atau ponco. Iya, hujan turun biarpun tak deras.

Matahari semakin meredup pertanda malam akan datang. Dalam perjalanan saya tidak rileks. Saya merasa berat untuk mendaki, padahal seminggu terakhir saya berusaha jogging setiap pagi.  MP3 Kube saya nyalakan dengan earphone kutancap dikedua lubang telinga, namun tetap saja. Saya merasa berat untuk mendaki, bukan karena capek, tapi karena berat. Entah mengapa tetiba mendaki itu berat sekali. Kadang penyesalan muncul, mengapa saya mendaki malam ini dengan hujan yang semula rintik menjadi deras. Lebih baik di kosan, tidur dengan selimutan kan anget. Tetiba Mila bertanya, “Kamu sakit Kul?”, “Nggak Mil”. Kata Mila mukaku pucat. Akhirnya tenda yang kutenteng pun diambil alih secara bergiliran oleh Mila, Ruri, dan Fahmi.

Berkali-kali aku tanya Agita, “Git, masih lama gak ke tempat camp?”. Sampai akhirnya di pos 2 dimana di sana kita harus lapor. Saya pun senang karena menyangka di lokasi inilah kami akan bangun tenda. Nyatanya tidak. Tetap jalan sampai ke pondok Saladah. Di lokasi inilah kami bangun tempat camp. Kami nyampai tempat ini sekitar jam 21. Di sini ada sekitar 4000 orang berdasarkan info dari pos 2. Hujan masih belum juga reda dan alhamdulillah kami mendapat tempat untuk membangun tenda. Kami bangun tenda dengan ditemani hujan yang tidak lagi deras. Ada tiga tenda yang kami bangun. Dalam spesialisasi membangun tenda, saya teringat Andre dan Yoga, serta Abul cs yang bisa bangun tenda dalam waktu relatif efisien. Beberapa orang yang bangun tenda, Agitalah yang berada di atas rata-rata ke-expert-an dalam membangun tenda.

Setelah tiga tenda terbangun, kami memasak. Lauk malam ini adalah mie. Masak mie pertanda keamatiran kita dalam hal memasak. Namun tak papa, yang penting masak. Thank you Bunda Sofi, Tami, dan lainnya yang bersedia masak di malam yang dingin ini. Beberapa dari kita juga masak air untuk membuat minuman hangat. Sekitar jam 23 kita bergegas untuk tidur dengan planning pagi yang kurang kuat, “Sunrise attack”.

Efek hujan dan kecerobohan saya, sleeping bag (SB) saya kehujanan. Walhasil saya satu bersatu SB dengan agita. SB dibagi dua dengan posisi saya di pinggir dan Agita di tengah. Sementara Fahmi di pinggirnya lagi. Tidur malam ini kurang nyenyak, namun jauh beruntung bisa tidur di tengah malam yang dingin. Paruhan SB dengan balutan sarung punya saya dan Fahmi cukup membuat saya mimpi buruk malam ini.

Hari Kedua

Menjelang subuh, Agita bersuara membangunkan aku dan penghuni tenda lain untuk bersiap-siap sunrise attack, namun sayang ajakan Agita dikacangin oleh anak-anak. Tidak ada satupun anak yang keluar tenda untuk menikmati kemunculan mentari di pagi ini. Saya sendiri setelah bangun (ketika masih gelap dan segera tergantikan terang ) menuju ke kamar mandi umum kemudian lakukan sholat subuh. Selanjutnya ketika matahari sudah relatif tinggi, kami naik menuju ke hutan mati untuk foto-foto. Di sepanjang perjalanan jika ada spot yang bagus para fotografer segera memotret objek-objek yang dianggap bagus. Perjalanan ke hutan mati ini saya memakai celana pendek dengan jumper merah norwand andalan.
Fahmi-Sofi-Agita-Saya diantara pohon di hutan mati (dok. Ruri)
Dari hutan mati, saya, Sofi, dan Agita turun menuju tenda. Sementara yang lainnya menuju Tegal Alun dan spot-spot lainnya. Kami sempat lupa rute menuju tenda, namun setelah kesasar beberapa kali akhirnya sampai juga. Di tenda, kami memasak, mulai dari nasi sampai kopi. Agita dan Sofi berduaan mesra memamerkan secara terang-terangan ke sana. Oke, fine, urang jomblo. Heuheu.
Berpose di hutan mati
Di tenda, saya sempat mencoba baca kertas kopian materi di tas, buku yang kubawa tidak terbaca. Baru baca beberapa menit, saya terkantuk dan tidur di bawah tenda yang cukup panas akibat tersengat cahaya matahari. Ketika saya bangun, teman-teman lain selain kami bertiga berdatangan. Setelah mereka pada datang semua, kami makan siang sekaligus sarapan. Lauknya saat itu sarden dengan nasi yang sebagiannya beli karena gagal menanak. Makan siang hari ini biarpun kurang sempurna namun cukup menambah energi bagi kami khususnya saya. Jam menunjukkan jam 14 lebih, kami pun bersiap-siap meninggalkan lokasi perkemahan.
Berfoto di lokasi camping sebelum turun gunung
Setelah ketiga tenda berhasil kami robohkan  dan telah terkemas dengan baik di tasnya masing-masing, kami berfoto untuk meninggalkan jejak. Pemotret saat itu adalah seorang mas ganteng yang sedang berkemping tepat di depan tenda kami. Kalo tidak salah, Ana dan Sasha yang membujuknya.

Kerir dan tas ransel biasa telah siap untuk diletakkan di bahu kami, begitu pula perabot lain seperti tenda, nesting, dan lain sebagainya. Kami siap turun gunung ! Beberapa langkah kaki kami meninggalkan lokasi, hujan turun dan cukup deras. Setelah agak terang, kami lanjutkan perjalanan, dan tetiba selanjutnya hujan deras!  Karena sudah kadung (terlanjur), kami woles lanjutkan perjalanan sampai bawah. Di sepanjang jalan saya mencoba melawak dengan kicauan yang tidak lucu. Terkadang lawakan saya disambut dengan lawakan lain dari Nita, Tami, Mila, Sofi, atau lainnya. Saya seolah jadi orang gila saat itu, hehe.

Tetiba di lokasi parkiran, saya bergegas menuju kamar mandi untuk berganti baju. Saat itu hujan deras, dan saya menerobosnya untuk meletakkan tas ke mobil. Di situ ternyata sedang dipakai basecamp oleh para wanita tangguh (Sofi, Tami, Sasha, Nita). Jadi saya dapat meletakkan tas setelah mendapat izin mereka. Setelah tas berhasil saya letakkan, saya menuju ke mushola untuk sholat qoshor dhuhur-ashar. Pasca sholat, saya menuju ke mobil dan hujan semakin deras. Mobil kami harus melawan hujan yang derasnya minta ampun ini. Alhamdulillah Agita dapat melewatinya biarpun di jalan turunan dari Papandayan ini terdapat aliran air yang besar sekali. Di mobil satunya, Ruri pun berhasil mengatasi trek jalan yang tergenang dengan aliran air.
Agita-Sofi so sweet pisan, ditunggu undangannya ya :)
 Sementara, Sofi dengan sabar mengelap kaca mobil yang berembun, bergantian dengan Agita. Saya yang memandang dari belakang dalam hati berucap, “Kalian so sweet pisan”.  


0 komentar: