Tulisan ini bersumber
dari obrolan warung kopi antara saya, teman jurusan, dan dosen. Di awali dari
obrolan pancingan saya terkait proyek Kereta Api Cepat China. Jadi saya ingin
menceritakan sebagaian hasil keikutsertaan saya di Forum Asia Afrika (FAA) yang
diadakan sore tadi di Gedung Pikiran Rakyat Jalan Asia Afrika. Saya memang
datang telat sekali jadi hanya ikut di sekitar setengah jam terakhir. Tapi
setidaknya saya mendengar paparan dari Dirut proyek dan sempat ngobrol pasca
acara. Saya menilai proyek ini memang belum matang dengan aneka konstrain yang
belum dapat diselesaikan menjelang proyek bergulir. Beberapa konstrain ini
diantaranya penyiapan SDM untuk mengadopsi teknologi ini baru sebatas rencana,
seperti ke depan pihak pemegang projek akan bekerjasama dengan beberapa
Perguruan Tinggi untuk turut serta menyerahkan SDM-nya ke mereka untuk dididik
di China. Selain itu, menurut Dirut proyek kegiatan maintenance dalam sepuluh tahun pertama akan dikelola oleh pihak
China adapun setelahnya orang Indonesia harus dapat kelola sendiri.
Diskusi terkait
proyek kereta api cepat sampai pada analisis market siapa yang akan naik moda
transportasi ini. Dari beberapa opsi yang beredar, para pekerja yang
berdomisili di Bandung lah yang mungkin. Ini setelah melihat perjalanan dengan
kereta cepat hanya ditempuh kurang dari satu jam. Pekerja yang dimaksud juga terbatas
bagi yang bekerja tak jauh dari stasion. Bagaimana dengan para eksekutif muda,
seberapa butuh mereka akan kereta cepat ?. Sebelum menjawab ini, seberapa
banyak sih para eksekutif muda yang harus bolak-balik Jakarta atau punya
mobilitas tinggi ? Juga transportasi ke Jakarta udah ada travel door to door, “nebengers”, dan juga
akses jalur tol Cipularang yang relatif bebas hambatan (kecuali jika waktu
macet).
Obrolan tentang
market akhirnya sampai pada pembahasan prinsip ekonomika. Ada akademisi yang
mendalami ekonomi yang deterministik meyakini fenomena ekonomi sekedar
supply-demand. Kedua hal ini diasumsikan variabel bebas yang tidak bergantung
satu dengan yang lain. Faham seperti ini kami anggap sebagai faham dangkal atas
berbagai realitas ekonomi. Apakah ekonomi harus mengikuti demand artinya katakan
orang lagi gandrung dengan namanya cimol. Lantas orang berbondong-bondong untuk
memproduksi cimol dan tumbuhlah ekonomi yang distimulus oleh perdagangan cimol.
Bagaimana jika demand yang awalnya tidak ada ? Dalam faham supply-demand,
mustahil adanya kegiatan perekonomian disitu. Tapi bagaimana dengan sikap
pengusaha ? Menciptakan pasar alias demand. Sehingga muncullah aneka iklan
untuk mempromosikan produk mereka. Terus jika supply-demand itu realitas yang
independent, mengapa misalnya seorang beli produk A artinya ia punya demand
akan produk tersebut, trus ia kebayang untuk buat produk serupa atau dengan
sentuhan inovasi di produk tersebut untuk kemudian dijual. Itu bukannya Ia
melakukan aktivitas supply yang didasarkan pada demand ?. Contoh sederhana ini
memperlihatkan bahwa supply-demand adalah realitas yang saling bergantung (mutually dependent).
Realitas ekonomi
itu di depan mata, bukan dengan konsepsi mengawang-ngawang apalagi ditambahi
dengan bumbu-bumbu persamaan matematika rumit yang seolah-olah melegitimasi
kemutlakan kebenaran dari pendekatan ilmu ini akan realitas makro. Seingat saya
dosen Keuangan Internasional saya mengatakan bahwa penggunaan matematika dalam
ilmu ekonomi di mulai sejak 1930-an. Artinya belum lama. Jika dibandingkan
dengan engineering jauh. Biarpun banyak ekonom ingin menyebut ilmu ekonomi itu
bagian dari sains, namun toh ilmu ini tetap dismal
science alias sains abu-abu. Persamaan matematika secanggih apapun untuk
memahami realitas ekonomi tetap saja memiliki kekurangan. Jika ia dibandingkan
dengan hukum fisika, tingkat keelegananya masih tertinggal.
Biarpun demikian
matematika adalah tool yang sangat penting untuk digunakan dalam memahami
realitas ekonomi biarpun tidak satu-satunya. Logika yang terstuktur dalam
matematika memudahkan untuk menggambarkan dan selanjutnya menarik kesimpulan
dari berbagai persoalan perekonomian. Namun biarpun begitu, pemahaman akan
realitas ekonomi yang komprehensif jauh lebih penting dari sekedar
otak-atik-gatuk rumus dalam mempelajari ekonomika.
Topik
obrolan selanjutnya tentang Persib, namun saya tidak akan cerita di tulisan ini.
0 komentar:
Post a Comment