Thursday, April 21, 2016

Ekonom Supply-Demand

Tulisan ini bersumber dari obrolan warung kopi antara saya, teman jurusan, dan dosen. Di awali dari obrolan pancingan saya terkait proyek Kereta Api Cepat China. Jadi saya ingin menceritakan sebagaian hasil keikutsertaan saya di Forum Asia Afrika (FAA) yang diadakan sore tadi di Gedung Pikiran Rakyat Jalan Asia Afrika. Saya memang datang telat sekali jadi hanya ikut di sekitar setengah jam terakhir. Tapi setidaknya saya mendengar paparan dari Dirut proyek dan sempat ngobrol pasca acara. Saya menilai proyek ini memang belum matang dengan aneka konstrain yang belum dapat diselesaikan menjelang proyek bergulir. Beberapa konstrain ini diantaranya penyiapan SDM untuk mengadopsi teknologi ini baru sebatas rencana, seperti ke depan pihak pemegang projek akan bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi untuk turut serta menyerahkan SDM-nya ke mereka untuk dididik di China. Selain itu, menurut Dirut proyek kegiatan maintenance dalam sepuluh tahun pertama akan dikelola oleh pihak China adapun setelahnya orang Indonesia harus dapat kelola sendiri.

Diskusi terkait proyek kereta api cepat sampai pada analisis market siapa yang akan naik moda transportasi ini. Dari beberapa opsi yang beredar, para pekerja yang berdomisili di Bandung lah yang mungkin. Ini setelah melihat perjalanan dengan kereta cepat hanya ditempuh kurang dari satu jam. Pekerja yang dimaksud juga terbatas bagi yang bekerja tak jauh dari stasion. Bagaimana dengan para eksekutif muda, seberapa butuh mereka akan kereta cepat ?. Sebelum menjawab ini, seberapa banyak sih para eksekutif muda yang harus bolak-balik Jakarta atau punya mobilitas tinggi ? Juga transportasi ke Jakarta udah ada travel door to door, “nebengers”, dan juga akses jalur tol Cipularang yang relatif bebas hambatan (kecuali jika waktu macet).

Obrolan tentang market akhirnya sampai pada pembahasan prinsip ekonomika. Ada akademisi yang mendalami ekonomi yang deterministik meyakini fenomena ekonomi sekedar supply-demand. Kedua hal ini diasumsikan variabel bebas yang tidak bergantung satu dengan yang lain. Faham seperti ini kami anggap sebagai faham dangkal atas berbagai realitas ekonomi. Apakah ekonomi harus mengikuti demand artinya katakan orang lagi gandrung dengan namanya cimol. Lantas orang berbondong-bondong untuk memproduksi cimol dan tumbuhlah ekonomi yang distimulus oleh perdagangan cimol. Bagaimana jika demand yang awalnya tidak ada ? Dalam faham supply-demand, mustahil adanya kegiatan perekonomian disitu. Tapi bagaimana dengan sikap pengusaha ? Menciptakan pasar alias demand. Sehingga muncullah aneka iklan untuk mempromosikan produk mereka. Terus jika supply-demand itu realitas yang independent, mengapa misalnya seorang beli produk A artinya ia punya demand akan produk tersebut, trus ia kebayang untuk buat produk serupa atau dengan sentuhan inovasi di produk tersebut untuk kemudian dijual. Itu bukannya Ia melakukan aktivitas supply yang didasarkan pada demand ?. Contoh sederhana ini memperlihatkan bahwa supply-demand adalah realitas yang saling bergantung (mutually dependent).

Realitas ekonomi itu di depan mata, bukan dengan konsepsi mengawang-ngawang apalagi ditambahi dengan bumbu-bumbu persamaan matematika rumit yang seolah-olah melegitimasi kemutlakan kebenaran dari pendekatan ilmu ini akan realitas makro. Seingat saya dosen Keuangan Internasional saya mengatakan bahwa penggunaan matematika dalam ilmu ekonomi di mulai sejak 1930-an. Artinya belum lama. Jika dibandingkan dengan engineering jauh. Biarpun banyak ekonom ingin menyebut ilmu ekonomi itu bagian dari sains, namun toh ilmu ini tetap dismal science alias sains abu-abu. Persamaan matematika secanggih apapun untuk memahami realitas ekonomi tetap saja memiliki kekurangan. Jika ia dibandingkan dengan hukum fisika, tingkat keelegananya masih tertinggal.

Biarpun demikian matematika adalah tool yang sangat penting untuk digunakan dalam memahami realitas ekonomi biarpun tidak satu-satunya. Logika yang terstuktur dalam matematika memudahkan untuk menggambarkan dan selanjutnya menarik kesimpulan dari berbagai persoalan perekonomian. Namun biarpun begitu, pemahaman akan realitas ekonomi yang komprehensif jauh lebih penting dari sekedar otak-atik-gatuk rumus dalam mempelajari ekonomika.         

Topik obrolan selanjutnya tentang Persib, namun saya tidak akan cerita di tulisan ini.

0 komentar: