Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy[1]
“Aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu, dengan penuh harapan agar
Muhammadiyah dapat dipelihara dan dijaga dengan sesungguhnya. Karena dipelihara
dan dijaga, hendaklah dapat abadi hidup Muhammadiyah kita. Memelihara dam
menjaga Muhammadiyah bukan pekerjaan mudah, maka aku tetap berdo’a setiap masa
dan ketika dihadapkan ilahi Robbi. Begitu pula mohon berkat restu do’a limpahan
rahmat karunia Allah, agar Muhammadiyah tetap maju, berbuah dan memberi manfaat
bagi seluruh manusia sepanjang masa, dari zaman ke zaman. Dan aku berdo’a agar
kamu sekalian yang mewarisi, menjaga, dan memajukan Muhammadiyah” – KH.
Ahmad Dahlan, 1923
Dalam literatur ilmu
ekonomi, produktivita adalah kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Impilikasi akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Produktivitas secara sederhana
didefinisikan dengan menggunakan input minimal namun didapatkan output
maksimal. Produktivitas ini dipicu oleh berbagai faktor mulai dari pendidikan,
kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Dimana letak teknologi ? Teknologi
diletakkan dalam fungsi produksi. Secara sederhana fungsi yang dimaksud yaitu
F(K,L) dimana K adalah kapital/modal dan L adalah tenaga kerja, sementara F
adalah fungsi produksi. Ada yang mengatakan teknologi embedded di sana. Produktivitas yang dimaksud di atas adalah
turunan dari fungsi produksi. Jadi tingginya produktivitas suatu bangsa
merupakan cerminan kecanggihan teknologinya.
Dari sana kita akan
bertanya, bagaimana tingkat produktivitas orang Indonesia ? Pertanyaan ini bisa
dijawab dengan aneka variasi jawaban. Ada yang menjawab, orang Indonesia itu
produktif buktinya ekonomi kita tumbuh, buktinya krisis global pada 2008 lewat.
Ada lagi yang menjawab lebih jauh lagi, dulu umat Islam jaya apalagi di kekhalifahan
Usmaniyah. Kita dulu kuasai teknologi dan juga ekonomi. Jawaban-jawaban ini
dengan mudah dibantah dengan permanent
income hypothesis yang intinya mengatakan “Perilakumu hari ini cerminan dari nasibmu di masa mendatang”. Jadi
intinya jangan bernostalgia dengan masa lalu. Dalam film Dead Poet Society
dikatakan “Seize the day, rebutlah
harimu!”.
Saya tidak akan membahas
dunia Islam secara luas, namun terbatas Indonesia saja. Kemudian saya akan
elaborasi potensi yang dapat dilakukan cendekiawan Muhammadiyah khususnya mereka
yang bergelut di bidang sains dan teknologi. Potensi yang dimaksud adalah
menjadi pelaku untuk kemajuan melalui persyarikatan Muhammadiyah. Di sini akan
saya singgung beberapa bidang yang terdapat dalam struktural Persyarikatan
Muhammadiyah. Saya baru bisa singgung di tingkat Pimpinan Pusat, belum sampai
struktural di bawahnya seperti wilayah, daerah, cabang, dan ranting.
Saintek di Indonesia
Seperti yang saya jelaskan
di muka bahwa kemajuan teknologi dapat diwakili (biarpun tidak sepenuhnya) dari
tingkat produktivitas. Jika memakai definisi sederhana dari produktivitas maka
perhitungannya adalah income total yang dihasilkan dari tenaga kerja dibagi
dengan jumlah total dari tenaga kerja. Di sini kita nantinya akan mendapatkan
jumlah income yang dihasilkan per bulan per satu pekerja (rata-rata). Data
tersebut tidak berhasil saya dapatkan, namun saya hanya mendapatkan data gaji
(disposable income) rata-rata orang Indonesia per bulan. Berdasarkan data yang
dihimpun numbeo.com[2],
Indonesia menempati peringkat 101 dengan 319.70 $ per bulan, sementara Malaysia
(48/892.98 $), China (43/992.02 $), dan Amerika Serikat (11/2,794.81 $).
Peringkat 1 ditempati Swiss dengan 5,781.75 $.
Gaji per bulan jelas disumbang
oleh orang-orang yang bekerja. Oleh karenanya kita lihat berapa persen tenaga
kerja kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio penduduk
bekerja terhadap total penduduk adalah sebasar 61,7 % per Agustus 2015 (data
terakhir). Artinya 319.70 $ disumbang oleh seorang dari 61,7 % penduduk
Indonesia atau sekitar 157 juta (dari 255.461.700 pada 2015). Dari sekian
persen penduduk yang bekerja, jika di-break down, berapa persen yang bekerja
sebagai profesional di perusahaan (dengan
gaji tinggi) dan berapa persen yang bekerja serabutan (dengan gaji tidak
menentu dan rendah).
Saintek di Indonesia jika
dikorelasikan dengan gaji per bulan masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa
perkembangannya di Indonesia tidak berdampak pada produktivitas orang
Indonesia. Anda mungkin akan berpendapat, saintek itu tidak penting karena
tidak berkorelasi dengan income buktinya sudah triliunan rupiah APBN
digelontorkan buat perkembangan saintek tapi tetap saja perekonomian kita
begitu-begitu saja. Atau pendapat kedua,
jelas saja income kita rendah, kan kita tidak kembangkan saintek dengan benar.
Jika hanya dua pendapat ini, saya akan memilih alasan kedua biarpun demikian
opsi pertama tidak benar-benar salah, masih ada benarnya.
Di opsi kedua pun saya
tidak 100 % setuju, mengapa ? Karena di opsi kedua fulus minded alias hanya didasarkan pada material, uang. Saintek
tidak sekedar itu tetapi lebih dari itu. Maksudnya apa ? Saya kira ini bahasan
menarik dalam pertemuan kita nanti. Ini ada hubungannya dengan philosophy of technology (?) dan jelas
panjang ceritanya. Nah, saya aka mencoba menggali beberapa data yang merepresetasikan
pentingnya saintek. Pertama, kreativitas. Mengapa kreativitas ?. Hubungannya
apa dengan saintek ?.
Berdasarkan data yang
dihimpun oleh martinprosperity.org[3],
tingkat kreativitas (Global Creativity Index/GCI) Indonesia menempati nomor 115
dengan nilai 0,202. Sementara itu Malaysia (63/0.455), China(62/0.462), dan
Amerika Serikat (2/0.950). GCI merupakan gabungan dari 3T (Teknologi[4],
Talenta[5],
dan Toleransi[6]),
didasarkan pada peringkat dari tiga indeks keseluruhan dari tiga variabel
tersebut. Perhitungan dilakukan secara equal artinya hasil dari ketiga indeks
dijumlahkan dan selanjutnya dibagi tiga. Data ini cukup menggambarkan bahwa
tingkat kreativitas bangsa ini masih rendah. Artinya orang-orang Indonesia
belum banyak yang berfikir terbuka dan berkreasi yang positif. Ini cermin bagi
kita yang muda, ngapain aja kita sekolah selama ini.
Jika data GCI dianggap
kurang representatif menggambarkan kondisi Indonesia, data Global Innovation
Index[7]
(GII) bisa dirujuk. Di sana Indonesia menempati peringkat 97 dengan 29,79 poin,
sementara Malaysia (32/45,98), China (29/47,47), Amerika Serikat (5/60,10).
Peringkat 1 dihuni Swiss dengan 68,30 poin.
Tidak usah saya tunjukkan
berapa budget pengembangan iptek di Indonesia, kita pasti mafhum bila
dibandingkan dengan negara maju
pastilah kita jauh. Namun
sebenarnya yang menjadi persoalan inti bukanlah ini, namun paradigma proses
transformasi penelitian kita yang keliru. Aliran inovasi masihlah difahami
sebagai skema linear yang ini memunculkan masalah ketiadaan proses trasformasi
pengetahuan di antara lembaga riset dan proses penelitian berada dalam lintasan
irreversible. Sehingga antar lembaga
peneltian seringlah tumpang tindih baik program penelitian maupun kewenangan.
Selain itu yang paling fatal adalah ketiadaan gambaran kedepan riset Indonesia
inginnya ke mana. Padahal untuk membentuk Republik Iptek menurut Yuliar (2011),
selain penelitian harus berlangsung dalam lintasan reversible, juga perlu ada relasi-relasi antara jejaring penelitian
dan jejaring non-penelitian yang memungkinankan ruang pembelajaran.
Potensi dari Persyarikatan
Lebih dari 100 tahun
Persyarikatan Muhammadiyah berada di tanah air, bahkan meluas hingga di
mancanegara dengan membentuk cabang istimewa. Keeksisan ini tak lain karena
kiprah riil dari ormas ini kepada masyarakat. Salah satunya yaitu di dunia
pendidikan. Jika dibandingkan dengan PTN di Indonesia, Muhammadiyah memiliki
161 buah yang tersebar di seluruh pelosok nusantara yang terdiri dari akademi,
politeknik, institut, sekolah tinggi, dan universitas. Bandingkan dengan yang
dimiliki oleh negara yang berjumlah 204 Perguruan Tinggi ( 15 akademi, 48
politeknik, 19 institut, 68 sekolah tinggi, 54 universitas) (MPI PP
Muhammadiyah, 2013). Jangan tanya berapa banyak SD,SMP, SMA yang dimiliki ormas
ini.
Dari aspek ini saja
kira-kira apa yang dapat dilakukan oleh cendekiawan Muhammadiyah yang mendalami
sains dan teknologi ? Tak lain adalah mewarnai kampus-kampus tersebut dengan
nuansa sains dan teknologi. Jika ditanya bagaimana caranya ? Bisa dengan
menjadi tenaga pendidik/peneliti di lembaga-lembaga tersebut. Ini saya kira
tidak mudah karena di universitas negeri pun belum bisa dikatakan sukses. Dalam
persepektif jaringan aktor, ide ini juga bisa dikatakan sulit biarpun tidak
juga mustahil, karena stakeholder di berbagai PTM banyak sekali disertai dengan
variasi kepentingan yang beragam. Intinya, menumbuhkan critical mass di tubuh Muhammadiyah untuk ngeh dengan sains dan teknologi.
Segi lainnya, satu hal yang
menjadi titik lemah Muhammadiyah adalah kurangnya objektivikasi persoalan
khususnya yang terkait kelompok sosial marjinal seperti kaum dhu’afa, masakin, fuqoro, dan mustadh’afin (Kuntowijoyo, 1995). Di
sini perlunya cendekiawan Muhammadiyah untuk memformulasi dan menstrukturkan
konsepsi lapangan sosial yang digarap oleh Muhammadiyah sehingga lebih
berdampak riil ke masyarakat. Cendekiawan yang mendalami sains dan teknologi
dapat mendifusi teknologi tepat guna sebagai contoh dalam teknis pemecahan
persoalan.
Referensi :
http://www.numbeo.com/cost-of-living/country_price_rankings?itemId=105 diakses 16/4/2016 1:37 AM
Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2015, Badan
Pusat Statistik
Yuliar, Sonny. (2011). Tranformasi
Penelitian ke Dalam Inovasi, Jakarta : Penerbit Dewan Riset Nasional
Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. (2013). Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri
Kuntowijoyo dkk. (1995). Intelektualisme
Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Yogyakarta : Mizan.
Cornell University, INSEAD, and WIPO. (2015). The Global Innovation Index 2015: Effective
Innovation Policies for Development , Fontainebleau, Ithaca, and Geneva.
[1]
Uruqul Nadhif Dzakiy adalah mahasiswa Magister Studi Pembangunan ITB
[2] Numbeo
is the world’s largest database of user contributed data about cities and
countries worldwide. Numbeo provides current and timely information on world
living conditions including cost of living, housing indicators, health care,
traffic, crime and pollution. (http://www.numbeo.com/common/)
[3] The
MPI aims to deepen our understanding of economic prosperity. Housed the
University of Toronto’s Rotman School of Management, MPI’s mission is to
develop a new understanding of, and inform, the broader public conversation
about shared and sustainable prosperity that should be an essential part of
democratic capitalism. Led by world leading thinkers like Roger Martin, Richard
Florida and Don Tapscott, the Institute’s fellows and researchers want to help
create an enduring prosperity for all. (http://martinprosperity.org/about/the-institute/)
[4]
Dua variable dari indeks teknologi yaitu : investasi R&D dan inovasi
(paten)
[5]
Two measures of talent – one that captures the creative class, the other based
on educational attainment
[6]
two measures of tolerance based on surveys of attitudes toward ethnic and
racial minorities and gay and lesbian people.
[7]The
Global Innovation Index GII) relies on two sub-indices, the Innovation Input
Sub-Index and the Innovation Output Sub-Index, each built around pillars. Five
input pillars capture elements of the national economy that enable innovative
activities: (1) Institutions, (2) Human capital and research, (3) Infrastructure,
(4) Market sophistication, and (5) Business sophistication. Two output pillars
capture actual evidence of innovation outputs: (6) Knowledge and technology
outputs and (7) Creative outputs. (https://www.globalinnovationindex.org/content/page/GII-Home)
0 komentar:
Post a Comment