Saturday, April 16, 2016

Iptek dan Peran Cendekiawan Muhammadiyah

Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy[1]

Aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu, dengan penuh harapan agar Muhammadiyah dapat dipelihara dan dijaga dengan sesungguhnya. Karena dipelihara dan dijaga, hendaklah dapat abadi hidup Muhammadiyah kita. Memelihara dam menjaga Muhammadiyah bukan pekerjaan mudah, maka aku tetap berdo’a setiap masa dan ketika dihadapkan ilahi Robbi. Begitu pula mohon berkat restu do’a limpahan rahmat karunia Allah, agar Muhammadiyah tetap maju, berbuah dan memberi manfaat bagi seluruh manusia sepanjang masa, dari zaman ke zaman. Dan aku berdo’a agar kamu sekalian yang mewarisi, menjaga, dan memajukan Muhammadiyah” – KH. Ahmad Dahlan, 1923

Dalam literatur ilmu ekonomi, produktivita adalah kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Impilikasi akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Produktivitas secara sederhana didefinisikan dengan menggunakan input minimal namun didapatkan output maksimal. Produktivitas ini dipicu oleh berbagai faktor mulai dari pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Dimana letak teknologi ? Teknologi diletakkan dalam fungsi produksi. Secara sederhana fungsi yang dimaksud yaitu F(K,L) dimana K adalah kapital/modal dan L adalah tenaga kerja, sementara F adalah fungsi produksi. Ada yang mengatakan teknologi embedded di sana. Produktivitas yang dimaksud di atas adalah turunan dari fungsi produksi. Jadi tingginya produktivitas suatu bangsa merupakan cerminan kecanggihan teknologinya.

Dari sana kita akan bertanya, bagaimana tingkat produktivitas orang Indonesia ? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan aneka variasi jawaban. Ada yang menjawab, orang Indonesia itu produktif buktinya ekonomi kita tumbuh, buktinya krisis global pada 2008 lewat. Ada lagi yang menjawab lebih jauh lagi, dulu umat Islam jaya apalagi di kekhalifahan Usmaniyah. Kita dulu kuasai teknologi dan juga ekonomi. Jawaban-jawaban ini dengan mudah dibantah dengan permanent income hypothesis yang intinya mengatakan “Perilakumu hari ini cerminan dari nasibmu di masa mendatang”. Jadi intinya jangan bernostalgia dengan masa lalu. Dalam film Dead Poet Society dikatakan “Seize the day, rebutlah harimu!”.

Saya tidak akan membahas dunia Islam secara luas, namun terbatas Indonesia saja. Kemudian saya akan elaborasi potensi yang dapat dilakukan cendekiawan Muhammadiyah khususnya mereka yang bergelut di bidang sains dan teknologi. Potensi yang dimaksud adalah menjadi pelaku untuk kemajuan melalui persyarikatan Muhammadiyah. Di sini akan saya singgung beberapa bidang yang terdapat dalam struktural Persyarikatan Muhammadiyah. Saya baru bisa singgung di tingkat Pimpinan Pusat, belum sampai struktural di bawahnya seperti wilayah, daerah, cabang, dan ranting.

Saintek di Indonesia

Seperti yang saya jelaskan di muka bahwa kemajuan teknologi dapat diwakili (biarpun tidak sepenuhnya) dari tingkat produktivitas. Jika memakai definisi sederhana dari produktivitas maka perhitungannya adalah income total yang dihasilkan dari tenaga kerja dibagi dengan jumlah total dari tenaga kerja. Di sini kita nantinya akan mendapatkan jumlah income yang dihasilkan per bulan per satu pekerja (rata-rata). Data tersebut tidak berhasil saya dapatkan, namun saya hanya mendapatkan data gaji (disposable income) rata-rata orang Indonesia per bulan. Berdasarkan data yang dihimpun numbeo.com[2], Indonesia menempati peringkat 101 dengan 319.70 $ per bulan, sementara Malaysia (48/892.98 $), China (43/992.02 $), dan Amerika Serikat (11/2,794.81 $). Peringkat 1 ditempati Swiss dengan 5,781.75 $.

Gaji per bulan jelas disumbang oleh orang-orang yang bekerja. Oleh karenanya kita lihat berapa persen tenaga kerja kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio penduduk bekerja terhadap total penduduk adalah sebasar 61,7 % per Agustus 2015 (data terakhir). Artinya 319.70 $ disumbang oleh seorang dari 61,7 % penduduk Indonesia atau sekitar 157 juta (dari 255.461.700 pada 2015). Dari sekian persen penduduk yang bekerja, jika di-break down, berapa persen yang bekerja sebagai profesional  di perusahaan (dengan gaji tinggi) dan berapa persen yang bekerja serabutan (dengan gaji tidak menentu dan rendah).

Saintek di Indonesia jika dikorelasikan dengan gaji per bulan masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa perkembangannya di Indonesia tidak berdampak pada produktivitas orang Indonesia. Anda mungkin akan berpendapat, saintek itu tidak penting karena tidak berkorelasi dengan income buktinya sudah triliunan rupiah APBN digelontorkan buat perkembangan saintek tapi tetap saja perekonomian kita begitu-begitu saja.  Atau pendapat kedua, jelas saja income kita rendah, kan kita tidak kembangkan saintek dengan benar. Jika hanya dua pendapat ini, saya akan memilih alasan kedua biarpun demikian opsi pertama tidak benar-benar salah, masih ada benarnya.

Di opsi kedua pun saya tidak 100 % setuju, mengapa ? Karena di opsi kedua fulus minded alias hanya didasarkan pada material, uang. Saintek tidak sekedar itu tetapi lebih dari itu. Maksudnya apa ? Saya kira ini bahasan menarik dalam pertemuan kita nanti. Ini ada hubungannya dengan philosophy of technology (?) dan jelas panjang ceritanya. Nah, saya aka mencoba menggali beberapa data yang merepresetasikan pentingnya saintek. Pertama, kreativitas. Mengapa kreativitas ?. Hubungannya apa dengan saintek ?.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh martinprosperity.org[3], tingkat kreativitas (Global Creativity Index/GCI) Indonesia menempati nomor 115 dengan nilai 0,202. Sementara itu Malaysia (63/0.455), China(62/0.462), dan Amerika Serikat (2/0.950). GCI merupakan gabungan dari 3T (Teknologi[4], Talenta[5], dan Toleransi[6]), didasarkan pada peringkat dari tiga indeks keseluruhan dari tiga variabel tersebut. Perhitungan dilakukan secara equal artinya hasil dari ketiga indeks dijumlahkan dan selanjutnya dibagi tiga. Data ini cukup menggambarkan bahwa tingkat kreativitas bangsa ini masih rendah. Artinya orang-orang Indonesia belum banyak yang berfikir terbuka dan berkreasi yang positif. Ini cermin bagi kita yang muda, ngapain aja kita sekolah selama ini.

Jika data GCI dianggap kurang representatif menggambarkan kondisi Indonesia, data Global Innovation Index[7] (GII) bisa dirujuk. Di sana Indonesia menempati peringkat 97 dengan 29,79 poin, sementara Malaysia (32/45,98), China (29/47,47), Amerika Serikat (5/60,10). Peringkat 1 dihuni Swiss dengan 68,30 poin.

Tidak usah saya tunjukkan berapa budget pengembangan iptek di Indonesia, kita pasti mafhum bila dibandingkan dengan negara maju  pastilah  kita jauh. Namun sebenarnya yang menjadi persoalan inti bukanlah ini, namun paradigma proses transformasi penelitian kita yang keliru. Aliran inovasi masihlah difahami sebagai skema linear yang ini memunculkan masalah ketiadaan proses trasformasi pengetahuan di antara lembaga riset dan proses penelitian berada dalam lintasan irreversible. Sehingga antar lembaga peneltian seringlah tumpang tindih baik program penelitian maupun kewenangan. Selain itu yang paling fatal adalah ketiadaan gambaran kedepan riset Indonesia inginnya ke mana. Padahal untuk membentuk Republik Iptek menurut Yuliar (2011), selain penelitian harus berlangsung dalam lintasan reversible, juga perlu ada relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian yang memungkinankan ruang pembelajaran.

Potensi dari Persyarikatan

Lebih dari 100 tahun Persyarikatan Muhammadiyah berada di tanah air, bahkan meluas hingga di mancanegara dengan membentuk cabang istimewa. Keeksisan ini tak lain karena kiprah riil dari ormas ini kepada masyarakat. Salah satunya yaitu di dunia pendidikan. Jika dibandingkan dengan PTN di Indonesia, Muhammadiyah memiliki 161 buah yang tersebar di seluruh pelosok nusantara yang terdiri dari akademi, politeknik, institut, sekolah tinggi, dan universitas. Bandingkan dengan yang dimiliki oleh negara yang berjumlah 204 Perguruan Tinggi ( 15 akademi, 48 politeknik, 19 institut, 68 sekolah tinggi, 54 universitas) (MPI PP Muhammadiyah, 2013). Jangan tanya berapa banyak SD,SMP, SMA yang dimiliki ormas ini.

Dari aspek ini saja kira-kira apa yang dapat dilakukan oleh cendekiawan Muhammadiyah yang mendalami sains dan teknologi ? Tak lain adalah mewarnai kampus-kampus tersebut dengan nuansa sains dan teknologi. Jika ditanya bagaimana caranya ? Bisa dengan menjadi tenaga pendidik/peneliti di lembaga-lembaga tersebut. Ini saya kira tidak mudah karena di universitas negeri pun belum bisa dikatakan sukses. Dalam persepektif jaringan aktor, ide ini juga bisa dikatakan sulit biarpun tidak juga mustahil, karena stakeholder di berbagai PTM banyak sekali disertai dengan variasi kepentingan yang beragam. Intinya, menumbuhkan critical mass di tubuh Muhammadiyah untuk ngeh dengan sains dan teknologi.

Segi lainnya, satu hal yang menjadi titik lemah Muhammadiyah adalah kurangnya objektivikasi persoalan khususnya yang terkait kelompok sosial marjinal seperti kaum dhu’afa, masakin, fuqoro, dan mustadh’afin (Kuntowijoyo, 1995). Di sini perlunya cendekiawan Muhammadiyah untuk memformulasi dan menstrukturkan konsepsi lapangan sosial yang digarap oleh Muhammadiyah sehingga lebih berdampak riil ke masyarakat. Cendekiawan yang mendalami sains dan teknologi dapat mendifusi teknologi tepat guna sebagai contoh dalam teknis pemecahan persoalan.


Referensi :


Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2015, Badan Pusat Statistik


Yuliar, Sonny. (2011). Tranformasi Penelitian ke Dalam Inovasi, Jakarta : Penerbit Dewan Riset Nasional

Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. (2013). Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri

Kuntowijoyo dkk. (1995). Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Yogyakarta : Mizan.

Cornell University, INSEAD, and WIPO. (2015). The Global Innovation Index 2015: Effective Innovation Policies for Development , Fontainebleau, Ithaca, and Geneva.



[1] Uruqul Nadhif Dzakiy adalah mahasiswa Magister Studi Pembangunan ITB

[2] Numbeo is the world’s largest database of user contributed data about cities and countries worldwide. Numbeo provides current and timely information on world living conditions including cost of living, housing indicators, health care, traffic, crime and pollution. (http://www.numbeo.com/common/)

[3] The MPI aims to deepen our understanding of economic prosperity. Housed the University of Toronto’s Rotman School of Management, MPI’s mission is to develop a new understanding of, and inform, the broader public conversation about shared and sustainable prosperity that should be an essential part of democratic capitalism. Led by world leading thinkers like Roger Martin, Richard Florida and Don Tapscott, the Institute’s fellows and researchers want to help create an enduring prosperity for all. (http://martinprosperity.org/about/the-institute/)

[4] Dua variable dari indeks teknologi yaitu : investasi R&D dan inovasi (paten)

[5] Two measures of talent – one that captures the creative class, the other based on educational attainment

[6] two measures of tolerance based on surveys of attitudes toward ethnic and racial minorities and gay and lesbian people.

[7]The Global Innovation Index GII) relies on two sub-indices, the Innovation Input Sub-Index and the Innovation Output Sub-Index, each built around pillars. Five input pillars capture elements of the national economy that enable innovative activities: (1) Institutions, (2) Human capital and research, (3) Infrastructure, (4) Market sophistication, and (5) Business sophistication. Two output pillars capture actual evidence of innovation outputs: (6) Knowledge and technology outputs and (7) Creative outputs. (https://www.globalinnovationindex.org/content/page/GII-Home) 

0 komentar: