Tuesday, May 10, 2016

Soe dan Aktivismenya

Saya kembali menonton film GIE siang tadi pasca penat hadapi ujian Matematika Keuangan Internasional (MKI). Film yang disutradarai Riri Riza ini menekaankan sisi biografis dari seorang Soe Hok Gie. Soe (Gie) dicitrakan sebagai mahasiswa yang menjunjung tinggi kebenaran yang dipercayainya di masa itu. Mahasiswa sastra UI ini tak bergeming untuk menerima ajakan beberapa temannya untuk bergabung dengan organisasi ekternal kampus yang bercorak politis. Bagi Soe, "politik tai kucing" itu hanya menjunjung tinggi kepentingan semata.

Sikap Soe demikian menjadikannya musuh bagi pemuka organisasi (eksternal) lain. Pemilihan senat fakultas menjadi bukti ketegangan itu. Soe dengan teman-temannya mengangkat Herman Lantang sebagai calon ketua senat berhadapan dengan kubu lain yang unsur politisnya sangat ketara. Di sini Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI sebagai organisasi pengusungnya. Organisasi ini dikisahkan tidak ditunggangi unsur politik manapun, murni dibangun oleh "idealisme" mahasiswa. Proses kampanye yang dijalani juga unik. Tak hanya orasi oral khas aktivis mahasiswa, melainkan juga melalui selebaran tulisan edukatif (nan persuasif) dan juga pemutaran film.

Ia dikenal karena menulis

Darah intelektual Soe mengalir dari ayahnya yang seorang penulis. Dari kecil, Soe terbiasa membaca buku-buku berbobot yang bercorak sosial-humaniora. Aktivitas rutin membaca ini diiringi Soe dengan menulis biarpun awalnya sekedar catatan harian. Seiring  dewasa, Soe terlibat aktif di bidang kepenulisan seperti menjadi penulis di Kompas. Tulisannya pun semakin tajam, apalagi setelah Ia lebur dengan berbagai aktivitas dunia intelektual di kampusnya UI. Sebelum mendirikan Mapala, Soe dengan teman-temannya aktif mengadakan diskusi dan pemutaran film.
Soe, Nicholas Saputra dalam GIE (2005), sedang membaca "The Rebel" (sumber : pandasurya.wordpress.com)
Menonjolnya Soe di dunia pemikiran membuat banyak orang untuk mengajaknya bergabung di berbagai organisasi. Soemitro, tokoh yang "dilengserkan" rezim, juga mengajak Soe di organisasi bentukannya yang bercorak sosialisme itu. Pernah suatu ketika, Soe menulis terkait pembunuhan besar-besaran di Bali di saat terjadi ketegangan antara militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari tulisan tersebut, Soe seringkali dibuntuti oleh orang-orang tak dikenal. Kehidupan Soe dimata-matai rezim.

Sosok Soe masih relevan

Aktivisme Soe di dunia kepenulisan terwariskan sampai generasi sekarang berkat kumpulan catatan hariannya yang dibukukan berjudul "Catatan Seorang Demonstran". Buku ini semacam buku wajib bagi aktivis mahasiswa di zaman saya. Banyak aktivis mengutip penggalan pemikiran Soe dari beberapa tulisannya. Soe di mata banyak aktivis adalah "role model" seorang aktivis. Dari Soe aktivis mahasiswa kudu kritis, menjunjung tinggi kebenaran yang diyakini, tidak politis, menulis, bercinta, dan dekat dengan alam.

Jika ditanya relevan atau tidak dengan zaman sekarang, saya akan menjawab "masih", namun tentunya harus disesuaikan dengan konteks. Kemudahan akses informasi dengan hadirnya berbagai jejaring sosial mendorong diferensiasi gerakan. Artinya mahasiswa sekarang tidak bisa mengadopsi mentah-mentah gerakan yang dilakukan Soe. Tegasnya harus berinovasi. Biarpun demikian, landasan dan intinya sama yakni bersikap dan bertindak berdasarkan kebenaran yang lahir dari aktivitas pengkayaan ilmu pengetahuan. Ini yang membedakan dengan gerakan politis yang mengandalkan arogansi golongan dan juga dangkal dalam berfikir.

0 komentar: