Beberapa minggu terakhir saya terkejut dengan berbagai aksi
penolakan dan pemboikotan acara yang diadakan oleh beberapa elemen masyarakat.
Para pemboikot berdalih bahwa acara-acara tersebut berisi propaganda untuk
menumbuhkembalikan faham komunisme yang dilarang negeri ini pasca kejadian
Oktober 1965. Upaya-upaya ini terkesan pro-NKRI namun jika kita melihatnya
dengan mata dan hati jernih, semua itu tak lebih dari tindakan konyol.
Pelebelan ‘komunis’ pada sebuah kelompok diskusi atau komunitas yang membahas
teori-teori kapitalisme, Marxisme, dan sejenisnya adalah cermin penyederhanaan
(reduksi) atas realitas. Padahal jika kita belajar ilmu sosial, hampir
dipastikan kita akan mengenal teori-teori dan faham tersebut.
Tadi pagi di linimasa facebook, saya membaca sebuah berita yang
berisi tentang telah dan sedang dilakukan penyitaan terhadap buku-buku yang
bercorak ‘kiri’. Dikatakan bahwa buku-buku tersebut berhaluan komunisme,
leninisme, dan sebangsanya yang membuatnya ‘berbahaya’ bagi kedaulatan NKRI,
maka ia layak disita. Atas berita ini, saya pun gerah dengan mencoba menuliskan
pendapat saya di tulisan ini.
Sesat Pikir
Terang-terangan saya menyimpan buku Das Kapital Karl Marx versi Bahasa
Indonesia jilid I. Apakah lantas saya pro dengan ‘komunis’ lebih jauh lagi “Partai
Komunis Indonesia” ?. Saya saja belum tuntas membaca buku ini, padahal buku ini
sudah versi Indonesia. Dulu saya pernah membacanya sampai halaman 100-an, namun
saya tidak faham isinya. Bagi saya saat it, buku tesebut seberat textbook
kalkulus karangan Purcell. Karena pusing, saya tidak melanjutkan membaca buku
ini. Maka dari itu, pemahaman saya akan fikiran Marx sepotong-potong. Saya
mendengar terkait penggalan fikiran Marx dari beberapa diskusi, obrolan warung
kopi, kuliah di kelas, atau membaca beberapa artikel online. Dalam sepengetahuan
saya, Marx adalah ilmuwan, sementara Marxist adalah para pengikut fanatik beberapa
idenya untuk diimplikasikan di alam riil, tak lagi alam ide. Apakah setiap
orang yang ‘menghargai’ gagasan Marx adalah Marxist ? Belum tentu. Para Marxist
ini mengambil dunia politik (pergerakan) sebagai ladang. Di Indonesia, mereka
ini adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Anda mungkin akan bertanya
apakah anggota PKI adalah pasti kaum Marxist yang familier dengan karya-karya
Karl Marx?. Salah satu anggota PKI adalah petani dan pasti ada petani yang
tidak pernah mendengar siapa itu Marx. Maka, simpulkan sendiri.
Menurut saya, buku Das
Kapital tak berbeda dengan buku-buku lainnya (selain kitab suci). Maka atas
nama pengetahuan, buku tersebut adalah buah pikiran brilian yang harus dijaga,
bukan untuk dimusnahkan. Kembali ke paragraf sebelumnya, apakah pemilik/pengkoleksi
buku ‘kiri’ adalah simpatisan komunis ?. Logika yang sama jika kita bertanya,
apakah pemilik Al Quran itu pasti Islam ? Apakah juga pemilik Injil itu pasti
Kristian? Jika kita memakai akal sehat, pasti kita akan menjawab “belum tentu”.
Lantas jika yang ditakutkan adalah penyebaran faham komunisme, apakah dengan
penyitaan buku dan teks-teks serta literatur terkait akan menghilangkan faham
tersebut ? Jelas belum tentu. Faham itu terletak pada pola pikir dan itu ada di
otak tiap individu. Perlu diingat bahwa pemahaman manusia itu selalu berkembang
kecuali bagi kaum yang enggan berfikir. Maka dari situ jelas bahwa penyitaan
karya-karya untuk membendung arus perang pemikiran (ghozwatul fikri) adalah sesat fikir. Memang, banyak dari kita trauma
dengan kejadian berdarah pasca Oktober 1965, namun tidak cara-cara penyitaan,
pemberedelan (apalagi penculikan) seperti yang pernah dilakukan di zaman Orde
Baru. Di zaman terbuka seperti saat ini, cara yang pantas dilakukan adalah
mereproduksi pengetahuan untuk mengkritik atau menawarkan solusi baru.
‘Inovasi’ Pancasila
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah final menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara. Konsekuensinya, Indonesia tak akan mengubah
dasar negaranya dengan faham komunisme, sosialisme, dan isme-isme yang lain. Apakah
itu lantas Pancasila ‘final’ di lima butir asas yang bersama-sama kita sebut
saat upacara bendera Sekolah Dasar ? Apakah kemudian mengotak-atik (baca : menafsirkan)
Pancasila sebagai hal tabu? Jawabnya tidak. Sebagai faham/falsafah yang bisa
dikatakan setara dengan faham-faham lainnya, Pancasila harus intens dikaji di
mimbar akademik sehingga berkembang. Tegasnya harus ada ‘inovasi’ terkait dasar
NKRI ini.
Mungkin Anda lantas bertanya, berarti sila di Pancasila bisa
ditambah dong ?. Jangan berfikir sempit. Maksud ‘inovasi’ ini adalah perlu
adanya tafsir akan Pancasila. Bagaimana Pancasila membahas kesetaraan antarsuku,
bagaimana Pancasila membahas Pemilu Langsung, bagaimana Pancasila membahas
jejaring sosial, bagaimana Pancasila membahas teknologi, dan sebagainya. Di sinilah
Pancasila dapat mendekat dengan realitas. Saat ini yang terjadi Pancasila tak
lebih dari jimat yang semua orang harus taklid kepadanya. “Anda jangan sinis gitu mas, kan ada ilmuwan yang menulis buku
aktualisasi Pancasila?”. Betul, memang ada beberapa intelektual yang
membedah Pancasila lebih komprehensif seperti Yudi Latif dengan “Negara
Paripurna”-nya, namun berapa banyak. Siapa penikmat buku itu ? Apakah masyarakat
luas, jelas tertentu. Fakta ini menjadikan saya menyimpulkan bahwa negara ini
belum serius menjalankan Pancasila. Pancasila masih sekedar simbol dan klenik,
maka jangan kaget jika munculnya ide komunisme ala Soviet, sosialisme ala Barat,
khilafah ala Hizbut Tahrir, dan seterusnya yang menancapkan pengaruhnya ke bumi
Indonesia.
…
“Nak, kamu membaca apa ?”,
“komik Yah”, “Tentang apa?”, “Itu lo Yah,
seorang anak yang menjunjung tinggi kesetaraan dan persaudaraan”, “Trus?”, “Di halaman terakhir, anak ini mencium bendera merah putih, Itu tandanya
apa Yah?. Pancasila itu sebenarnya isinya apa sih Yah, kok beberapa kali
disebut di komik itu?”. –obrolan seorang ayah dengan anaknya yang
berusia 7 tahun (semoga tidak utopis).
0 komentar:
Post a Comment