Saturday, May 14, 2016

Terkait Penyitaan Buku ‘Kiri’

Beberapa minggu terakhir saya terkejut dengan berbagai aksi penolakan dan pemboikotan acara yang diadakan oleh beberapa elemen masyarakat. Para pemboikot berdalih bahwa acara-acara tersebut berisi propaganda untuk menumbuhkembalikan faham komunisme yang dilarang negeri ini pasca kejadian Oktober 1965. Upaya-upaya ini terkesan pro-NKRI namun jika kita melihatnya dengan mata dan hati jernih, semua itu tak lebih dari tindakan konyol. Pelebelan ‘komunis’ pada sebuah kelompok diskusi atau komunitas yang membahas teori-teori kapitalisme, Marxisme, dan sejenisnya adalah cermin penyederhanaan (reduksi) atas realitas. Padahal jika kita belajar ilmu sosial, hampir dipastikan kita akan mengenal teori-teori dan faham tersebut.

Tadi pagi di linimasa facebook, saya membaca sebuah berita yang berisi tentang telah dan sedang dilakukan penyitaan terhadap buku-buku yang bercorak ‘kiri’. Dikatakan bahwa buku-buku tersebut berhaluan komunisme, leninisme, dan sebangsanya yang membuatnya ‘berbahaya’ bagi kedaulatan NKRI, maka ia layak disita. Atas berita ini, saya pun gerah dengan mencoba menuliskan pendapat saya di tulisan ini.

Sesat Pikir

Terang-terangan saya menyimpan buku Das Kapital Karl Marx versi Bahasa Indonesia jilid I. Apakah lantas saya pro dengan ‘komunis’ lebih jauh lagi “Partai Komunis Indonesia” ?. Saya saja belum tuntas membaca buku ini, padahal buku ini sudah versi Indonesia. Dulu saya pernah membacanya sampai halaman 100-an, namun saya tidak faham isinya. Bagi saya saat it, buku tesebut seberat textbook kalkulus karangan Purcell. Karena pusing, saya tidak melanjutkan membaca buku ini. Maka dari itu, pemahaman saya akan fikiran Marx sepotong-potong. Saya mendengar terkait penggalan fikiran Marx dari beberapa diskusi, obrolan warung kopi, kuliah di kelas, atau membaca beberapa artikel online. Dalam sepengetahuan saya, Marx adalah ilmuwan, sementara Marxist adalah para pengikut fanatik beberapa idenya untuk diimplikasikan di alam riil, tak lagi alam ide. Apakah setiap orang yang ‘menghargai’ gagasan Marx adalah Marxist ? Belum tentu. Para Marxist ini mengambil dunia politik (pergerakan) sebagai ladang. Di Indonesia, mereka ini adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Anda mungkin akan bertanya apakah anggota PKI adalah pasti kaum Marxist yang familier dengan karya-karya Karl Marx?. Salah satu anggota PKI adalah petani dan pasti ada petani yang tidak pernah mendengar siapa itu Marx. Maka, simpulkan sendiri.
 
Das Kapital dan Purcell, buku koleksi saya
Menurut saya, buku  Das Kapital tak berbeda dengan buku-buku lainnya (selain kitab suci). Maka atas nama pengetahuan, buku tersebut adalah buah pikiran brilian yang harus dijaga, bukan untuk dimusnahkan. Kembali ke paragraf sebelumnya, apakah pemilik/pengkoleksi buku ‘kiri’ adalah simpatisan komunis ?. Logika yang sama jika kita bertanya, apakah pemilik Al Quran itu pasti Islam ? Apakah juga pemilik Injil itu pasti Kristian? Jika kita memakai akal sehat, pasti kita akan menjawab “belum tentu”. Lantas jika yang ditakutkan adalah penyebaran faham komunisme, apakah dengan penyitaan buku dan teks-teks serta literatur terkait akan menghilangkan faham tersebut ? Jelas belum tentu. Faham itu terletak pada pola pikir dan itu ada di otak tiap individu. Perlu diingat bahwa pemahaman manusia itu selalu berkembang kecuali bagi kaum yang enggan berfikir. Maka dari situ jelas bahwa penyitaan karya-karya untuk membendung arus perang pemikiran (ghozwatul fikri) adalah sesat fikir. Memang, banyak dari kita trauma dengan kejadian berdarah pasca Oktober 1965, namun tidak cara-cara penyitaan, pemberedelan (apalagi penculikan) seperti yang pernah dilakukan di zaman Orde Baru. Di zaman terbuka seperti saat ini, cara yang pantas dilakukan adalah mereproduksi pengetahuan untuk mengkritik atau menawarkan solusi baru.

‘Inovasi’ Pancasila

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah final menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Konsekuensinya, Indonesia tak akan mengubah dasar negaranya dengan faham komunisme, sosialisme, dan isme-isme yang lain. Apakah itu lantas Pancasila ‘final’ di lima butir asas yang bersama-sama kita sebut saat upacara bendera Sekolah Dasar ? Apakah kemudian mengotak-atik (baca : menafsirkan) Pancasila sebagai hal tabu? Jawabnya tidak. Sebagai faham/falsafah yang bisa dikatakan setara dengan faham-faham lainnya, Pancasila harus intens dikaji di mimbar akademik sehingga berkembang. Tegasnya harus ada ‘inovasi’ terkait dasar NKRI ini.

Mungkin Anda lantas bertanya, berarti sila di Pancasila bisa ditambah dong ?. Jangan berfikir sempit. Maksud ‘inovasi’ ini adalah perlu adanya tafsir akan Pancasila. Bagaimana Pancasila membahas kesetaraan antarsuku, bagaimana Pancasila membahas Pemilu Langsung, bagaimana Pancasila membahas jejaring sosial, bagaimana Pancasila membahas teknologi, dan sebagainya. Di sinilah Pancasila dapat mendekat dengan realitas. Saat ini yang terjadi Pancasila tak lebih dari jimat yang semua orang harus taklid kepadanya. “Anda jangan sinis gitu mas, kan ada ilmuwan yang menulis buku aktualisasi Pancasila?”. Betul, memang ada beberapa intelektual yang membedah Pancasila lebih komprehensif seperti Yudi Latif dengan “Negara Paripurna”-nya, namun berapa banyak. Siapa penikmat buku itu ? Apakah masyarakat luas, jelas tertentu. Fakta ini menjadikan saya menyimpulkan bahwa negara ini belum serius menjalankan Pancasila. Pancasila masih sekedar simbol dan klenik, maka jangan kaget jika munculnya ide komunisme ala Soviet, sosialisme ala Barat, khilafah ala Hizbut Tahrir, dan seterusnya yang menancapkan pengaruhnya ke bumi Indonesia.
Nak, kamu membaca apa ?”, “komik Yah”, “Tentang apa?”, “Itu lo Yah, seorang anak yang menjunjung tinggi kesetaraan dan persaudaraan”, “Trus?”, “Di halaman terakhir, anak ini mencium bendera merah putih, Itu tandanya apa Yah?. Pancasila itu sebenarnya isinya apa sih Yah, kok beberapa kali disebut di komik itu?”. –obrolan seorang ayah dengan anaknya yang berusia 7 tahun (semoga tidak utopis).

0 komentar: