![]() |
Saya Golput, Ada Masalah ? (doc. google.com) |
Menanggapi tulisan saya
sebelumnya di blog dengan judul "Melawan Golput di Pemilu 2014" pada 16 September 2013, saya
merasa memberikan analisis yang keliru dalam tulisan saya tersebut. Mengutip
beberapa kalimat terkait golongan putih (golput) dalam tulisan saya sebelumnya "Golput adalah tindakan melawan demokrasi.
Berkembangnya sikap golput dalam berpolitik akan lahirkan ketidakseimbangan
dalam roda pemerintahan. Kontrol rakyat menjadi semakin kecil. Negara menuju
ketidakstabilan. Oleh karenanya, sikap golput dalam pemilu harus kita lawan
bersama".
Dalam kutipan tersebut memuat
ungkapan golput adalah tindakan melawan
demokrasi. Benarkah demikian ? Demokrasi dalam pemilu memakai prinsip one man one vote. Setiap individu dengan
menanggalkan kedudukan dan peran dalam masyarakat memiliki hak yang sama dalam
menentukan calon pemimpinnya. Demokrasi
membebaskan tiap individu. Tidak peduli individu tersebut akan memilih atau
tidak di dalam pemilu. Memilih untuk tidak memilih alias golput merupakan tindakan
demokratis. Ungkapan golput melawan demokrasi menjadi tidak relevan.
Pernyataan selanjutnya bahwa golput akan lahirkan ketidakseimbangan dalam
roda pemerintahan. Pertanyaannya, apa maksud dari ketidakseimbangan ?
Selama pemilihan langsung yang diadakan sejak 2004, rasanya tidak ada kudeta
yang berarti dari rakyat terhadap pemimpin yang dipilihnya entah mulai dari
tingkat kabupaten maupun pusat. Pemerintahan setempat justru goncang dan
ciptakan ketidakseimbangan dalam pemerintahan (akibat pemimpinnya kriminal)
hanya ketika pemimpinnya terkena kasus korupsi dan ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Musuh pemimpin setempat bukanlah rakyat yang
memilihnya justru KPK. Ungkapan golput akan lahirkan ketidakseimbangan dalam
roda pemerintah menjadi tidak relevan.
Ungkapan terakhir bahwa golput ciptakan ketidakstabilan dalam
negara. Apa maksud ketidakstabilan ? Benarkah negara menjadi tidak stabil
ketika banyak rakyatnya yang golput? Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) versi offline, stabil berarti
mantap, kukuh, tidak goyah. Menurut saya, negara menjadi tidak stabil tatkala
para pemimpinnya lebih mementingkan diri sendiri dari pada rakyat yang
dipimpinnya. Akibatnya rakyat kelaparan. Keadaan pun chaos. Rakyat tak henti-hentinya demo bahkan dengan kekerasan. Ekonomi
terpuruk. Krisis pun tak bisa dielakkan. Pemerintahan menjadi tidak stabil.
Lalu apa korelasinya golput dengan kondisi demikian ? Tidak ada. Pernyataan
golput ciptakan ketidakstabilan dalam negara menjadi tidak valid.
Cerminan dalam Beberapa Pilkada
Saya akan menampilkan persentase
golput di beberapa pilkada daerah. Golput di Jawa Timur menurut beberapa
lembaga survei mencapai 40 %, Jawa Tengah 48 %, Jawa Barat 36 %, dan Sumatera
Utara 60 %. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa golput telah menjadi
fonomena tersendiri dalam berpolitik. Jika golput merupakan partai, maka Ia
akan menang di semua pilkada di atas. Lantas apa yang mendasari golput ini ?
Mengutip pernyataan Agus Sudibyo dalam Opini Kompas (25/9/2014) bahwa penyebab
utama golput "Buruknya sosialisasi
tentang tahap dan tata cara pilkada serta rendahnya perhatian masyarakat
terhadap masalah politik". Pernyataan pertama dalam kutipan diatas
kesalahannya kita sematkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena sudah
menjadi kewajibannya. Sedangkan, untuk pernyataan kedua relevan jika kesalahan
kita tujukan pada tiap individu. Apatis politik adalah ungkapan yang cocok di
pernyataan kedua. Jejak pendapat kompas seminggu sebelum Pilkada Jatim digelar
(Kompas, 30/8/2013) menunjukkan bahwa beberapa alasan mengapa warga Jatim
golput ; tidak percaya pada calon (19 %), tak terdaftar (12 %), menganggap
Pilkada tidak bermanfaat (11 %), belum mengenal calon (11 %), kendala waktu dan
keperluan lain (24 %). Survei tersebut menunjukkan bahwa bahwa warga Jatim
memilih golput karena masalah teknis bukan karena apatis. Parameter-parameter
alasan golput diatas justru memperlihatkan sikap politik mereka. Bahwa mereka
peduli dengan Pilkada. Jika memang mereka apatis politik, maka mereka akan
memboikot pemilu. Tidak percaya sistem pemilu. Tetapi realitanya tidak.
Ungkapan golput itu apatis politik menjadi tidak relevan.
Golput Sebagai Partai
Fenomena golput yang mendominasi
(baca : pemenang) hampir semua Pilkada di Indonesia menunjukkan bahwa golput
menjadi gerakan tersendiri. Partai Golput
lebih tepatnya. Biarpun seringkali menang di berbagai Pilkada, namun tidak ada
satu kursi pun yang disediakan untuk Partai Golput di DPR/DPRD. Persentase
golput di dalam berbagai Pilkada menjadi cerminan bagi kesuksesan Pilkada yang
diadakan KPU. Golput mensiratkan ketidaklayakan calon pemimpin untuk dipilih.
Golput membawa pesan moral untuk memilih pemimpin yang benar-benar kredibel
untuk memimpin. Bukan mereka yang pandai mengumbar janji tetapi tong kosong. Selama pemimpin yang maju
di Pilkada adalah orang-orang yang tidak kredibel, maka sebagai warga negara
yang tidak apatis politik, Partai Golput layak diperjuangkan. Partai Golput
akan tetap berkuasa entah sampai kapan. Vivat Partai Golput !
*Ditulis oleh Uruqul Nadhif
Dzakiy, mahasiswa Matematika Institut Teknologi Bandung
0 komentar:
Post a Comment