Saturday, October 12, 2013

Golput Juga Berpolitik*

Saya Golput, Ada Masalah ? (doc. google.com)

Menanggapi tulisan saya sebelumnya di blog dengan judul "Melawan Golput di Pemilu 2014" pada 16 September 2013, saya merasa memberikan analisis yang keliru dalam tulisan saya tersebut. Mengutip beberapa kalimat terkait golongan putih (golput) dalam tulisan saya sebelumnya "Golput adalah tindakan melawan demokrasi. Berkembangnya sikap golput dalam berpolitik akan lahirkan ketidakseimbangan dalam roda pemerintahan. Kontrol rakyat menjadi semakin kecil. Negara menuju ketidakstabilan. Oleh karenanya, sikap golput dalam pemilu harus kita lawan bersama".

Dalam kutipan tersebut memuat ungkapan golput adalah tindakan melawan demokrasi. Benarkah demikian ? Demokrasi dalam pemilu memakai prinsip one man one vote. Setiap individu dengan menanggalkan kedudukan dan peran dalam masyarakat memiliki hak yang sama dalam menentukan  calon pemimpinnya. Demokrasi membebaskan tiap individu. Tidak peduli individu tersebut akan memilih atau tidak di dalam pemilu. Memilih untuk tidak memilih alias golput merupakan tindakan demokratis. Ungkapan golput melawan demokrasi menjadi tidak relevan.

Pernyataan selanjutnya bahwa golput akan lahirkan ketidakseimbangan dalam roda pemerintahan. Pertanyaannya, apa maksud dari ketidakseimbangan ? Selama pemilihan langsung yang diadakan sejak 2004, rasanya tidak ada kudeta yang berarti dari rakyat terhadap pemimpin yang dipilihnya entah mulai dari tingkat kabupaten maupun pusat. Pemerintahan setempat justru goncang dan ciptakan ketidakseimbangan dalam pemerintahan (akibat pemimpinnya kriminal) hanya ketika pemimpinnya terkena kasus korupsi dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Musuh pemimpin setempat bukanlah rakyat yang memilihnya justru KPK. Ungkapan golput akan lahirkan ketidakseimbangan dalam roda pemerintah menjadi tidak relevan.

Ungkapan terakhir bahwa golput ciptakan ketidakstabilan dalam negara. Apa maksud ketidakstabilan ? Benarkah negara menjadi tidak stabil ketika banyak rakyatnya yang golput? Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi offline, stabil berarti mantap, kukuh, tidak goyah. Menurut saya, negara menjadi tidak stabil tatkala para pemimpinnya lebih mementingkan diri sendiri dari pada rakyat yang dipimpinnya. Akibatnya rakyat kelaparan. Keadaan pun chaos. Rakyat tak henti-hentinya demo bahkan dengan kekerasan. Ekonomi terpuruk. Krisis pun tak bisa dielakkan. Pemerintahan menjadi tidak stabil. Lalu apa korelasinya golput dengan kondisi demikian ? Tidak ada. Pernyataan golput ciptakan ketidakstabilan dalam negara menjadi tidak valid.

Cerminan dalam Beberapa Pilkada

Saya akan menampilkan persentase golput di beberapa pilkada daerah. Golput di Jawa Timur menurut beberapa lembaga survei mencapai 40 %, Jawa Tengah 48 %, Jawa Barat 36 %, dan Sumatera Utara 60 %. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa golput telah menjadi fonomena tersendiri dalam berpolitik. Jika golput merupakan partai, maka Ia akan menang di semua pilkada di atas. Lantas apa yang mendasari golput ini ? Mengutip pernyataan Agus Sudibyo dalam Opini Kompas (25/9/2014) bahwa penyebab utama golput "Buruknya sosialisasi tentang tahap dan tata cara pilkada serta rendahnya perhatian masyarakat terhadap masalah politik". Pernyataan pertama dalam kutipan diatas kesalahannya kita sematkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena sudah menjadi kewajibannya. Sedangkan, untuk pernyataan kedua relevan jika kesalahan kita tujukan pada tiap individu. Apatis politik adalah ungkapan yang cocok di pernyataan kedua. Jejak pendapat kompas seminggu sebelum Pilkada Jatim digelar (Kompas, 30/8/2013) menunjukkan bahwa beberapa alasan mengapa warga Jatim golput ; tidak percaya pada calon (19 %), tak terdaftar (12 %), menganggap Pilkada tidak bermanfaat (11 %), belum mengenal calon (11 %), kendala waktu dan keperluan lain (24 %). Survei tersebut menunjukkan bahwa bahwa warga Jatim memilih golput karena masalah teknis bukan karena apatis. Parameter-parameter alasan golput diatas justru memperlihatkan sikap politik mereka. Bahwa mereka peduli dengan Pilkada. Jika memang mereka apatis politik, maka mereka akan memboikot pemilu. Tidak percaya sistem pemilu. Tetapi realitanya tidak. Ungkapan golput itu apatis politik menjadi tidak relevan.

Golput Sebagai Partai

Fenomena golput yang mendominasi (baca : pemenang) hampir semua Pilkada di Indonesia menunjukkan bahwa golput menjadi gerakan tersendiri. Partai Golput lebih tepatnya. Biarpun seringkali menang di berbagai Pilkada, namun tidak ada satu kursi pun yang disediakan untuk Partai Golput di DPR/DPRD. Persentase golput di dalam berbagai Pilkada menjadi cerminan bagi kesuksesan Pilkada yang diadakan KPU. Golput mensiratkan ketidaklayakan calon pemimpin untuk dipilih. Golput membawa pesan moral untuk memilih pemimpin yang benar-benar kredibel untuk memimpin. Bukan mereka yang pandai mengumbar janji tetapi tong kosong. Selama pemimpin yang maju di Pilkada adalah orang-orang yang tidak kredibel, maka sebagai warga negara yang tidak apatis politik, Partai Golput layak diperjuangkan. Partai Golput akan tetap berkuasa entah sampai kapan. Vivat Partai Golput ! 


*Ditulis oleh Uruqul Nadhif Dzakiy, mahasiswa Matematika Institut Teknologi Bandung

0 komentar: