Mengutip Opini Kompas (8/10/2013) dengan Judul Jalan Buntu
Pemimpin Baru bahwa setidaknya ada empat
persyaratan yang harus dimiliki seorang calon pemimpin untuk menjadi katalis
perubahan. Pertama, kemampuan
mengenali serta merumuskan masalah dan tantangan bangsa ke depan. Kedua, kemampuan merumuskan visi Indonesia masa
depan dalam beragam aspek. Ketiga,
kemampuan merumuskan strategi dan prioritas kebijakan. Keempat, kemampuan mengapitalisasi berbagai sumber
daya yang tersedia.
Demam pemilu 2014 sudah mulai.
Calon presiden 2014 bermunculan di media elektronik maupun di ruang publik ;
jalan raya, tempat pembelanjaan, terminal, dan sebagainya. Hal serupa juga
terjadi pada calon anggota legislatif DPR RI yang juga akan berkompetisi di
Pemilu 2014. Lembaga survei profesional maupun amatir berlomba-lomba munculkan
calon Presiden 2014 yang layak dipilih rakyat dengan berbagai variasi
parameter. Partai politik pun dengan gencar memoles citra partainya dengan
berbagai iklan politik mulai dari mengkampanyekan partainya sampai
mengkampanyekan secara terang-terangan calon presiden yang akan diusungnya.
Jalannya bermacam-macam mulai dari turba
(turun ke bawah) ke masyarakat maupun membangun citra dengan iklan politik di
berbagai media.
Fenomena diatas berimplikasi
dalam dua hal. Pertama, demokrasi itu
berharga mahal. Secara rasional kita bisa menduga bahwa biaya iklan di berbagai
media elektronik dan media di ruang publik pastinya ratusan bahkan milyaran
rupiah. Ditambah dengan biaya turba
dan juga uang ongkos memilih, luar biasa banyak. Fakta ini menunjukkan bahwa
pemilu hanya bisa diikuti oleh orang yang berduit. Orang yang memiliki track record baik sebagai calon
pemimpin, namun Ia tidak memiliki cukup dana pasti akan tersisih. Hasil dari
demokrasi berharga mahal ini adalah para pejabat korup matrealistik. Kita bisa saksikan berbagai kasus korupsi yang
hampir setiap hari menjerat para pejabat. Kedua,
Pemimpin tidak lahir dari penseleksian sejarah melainkan pemolesan citra. Dulu,
Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tampil sebagai pemimpin tidak ujug-ujug melainkan melalui proses perjuangan yang nyata dan
berhasil. Mereka memiliki gagasan brilian untuk mengeluarkan bangsa ini dari
keterjajahan dan kebodohan. Perjuangan mereka dirasakan betul oleh rakyat.
Ongkos mereka bukanlah uang yang melimpah melainkan dengan memeras keringat, pertarungan
ideologi, bahkan mengorbankan nyawa. Berbeda
dengan pemimpin saat ini. Mereka lahir dari sokongan dana dan relasi yang kuat.
Juga hasil polesan citra yang tidak lain hanyalah topeng belaka.
Pemimpin Instan Produk Parpol
Seperti yang ditulis oleh Sri
Palupi dalam Opini Kompas (8/10/2013)
dengan judul Membaca Tanda-Tanda Zaman,
setidaknya ada tiga fenomena penting yang layak untuk disorot. Pertama, Pemimpin saat ini banyak
kehilangan akal budi. Kasus Tubagus Chaeri Wardana, adik Gubernut Banten, Ratu
Atut Chosiyah, yang terlibat dalam sengketa Pilkada Lebak .Ia miliki 11 mobil
mewah senilai puluhan milyar, kontradiksi dengan kondisi rakyat Lebak. Lebih
dari setengah rumah tangga di lebak miskin, bahkan mati karena kekurangan gizi.
Kedua, Korupsi terang-terangan, kasus
Ratu Atut Chosiyah menurut laporan Indonesian
Corruption Watch (ICW) bahwa dana
hibah pemerintah Banten terus meningkat yakni 24 Milyar (2009), 200 Milyar
(2010), dan 340 Milyar(2011). Dana hibah ini diduga dialirkan kepada berbagai
yayasan keluarga Atut. Rumah Dinas Atut yang dibangun dengan dana APBD senilai
16,4 Milyar tidak ditempati Atut. Ia justru lebih memilih rumahnya sendiri
dimana APBD membayar 250 per tahun untuk uang sewanya. Ketiga, menjarah rakyat. Banyak sekali kebijakan yang lahir justru
membuat rakyat semakin sengsara. Sebut saja kebijakan Masterplan Percepatan
Pembangunan Perekonomian Indonesia (MP3EI) dimana dibangun kluster-kluster yang
diisi oleh korporat yang lebih mementingkan akumulasi kapitalnya dari pada
menjadikan masyarakat sekitar sejahtera. Kebijakan lain seperti obral Sumber
Daya Alam seperti tambang, minyak, dan mineral kepada asing semenjak zaman Orde
Baru sampai sekarang. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hanya
sekedar panjangan.
Kondisi-kondisi tersebut mencerminkan
sudah sangat kritis kondisi kepemimpinan republik ini. Mereka tidaklah memiliki
visi yang kuat untuk membangun bangsa. Jargon-jargon kampanye mereka hanya
sebatas retorika manis yang realisasinya nol besar. Disini nuansa perebuatan
kekuasaan lebih menonjol dan ketara dari pada imaji tentang Indonesia. Hal ini
menandakan bahwa pemimpin yang ada sekarang adalah produk instan dari sebuah
partai politik.
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menempatkan
partai politik sebagai agen tunggal pengusung pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini adalah salah satu akibat
dari lahirnya pasal ini. Partai politik tidak menjaring kadernya secara ketat
dan selektif. Banyak parpol mengambil kader dari entitas masyarakat populis yang
hanya memiliki citra dan duit seperti artis, pengusaha, dan tokoh agama namun
mereka tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai. Partai politik seharusnya
memberikan peluang bagi pemimpin daerah yang berprestasi untuk berkiprah di
wilayah yang lebih luas (naik jabatan) seperti halnya gubernur yang berprestasi
diusung untuk menjadi presiden atau wakil presiden. Namun realitanya, seringkali
partai politik punya pertimbangan khusus mengangkat seorang untuk dicalonkan.
Prestasi sebagai pemimpin daerah bukan hal nomor satu sehingga wajar pemimpin dari
kader parpol adalah pemimpin karbitan, tidak memiliki kemampuan memadai.
Pemimpin Kreatif
Teknologi informasi mengalir
deras ke dalam kehidupan kita. Masyarakat netokrat
layak kita sematkan kepada manusia abad 21 ini. Masyarakat netokrat memang belum menjadi entitas mayoritas di negeri ini. Kebanyakan
mereka berdomisili di kota besar. Namun, pengaruh mereka sangat besar dalam menggerakkan
kondisi politik akhir-akhir ini. Sebagai contoh, akun @triomacan2000 menggegerkan banyak pejabat akibat kicauannya di twitter. Belum lagi aktivis kaskus, facebook, dan jejaring sosial lain pasti lebih banyak lagi. Oleh karenanya dibutuhkan pemimpin
kreatif, pemimpin yang relevan dengan perkembangan zaman. Ia mampu munculkan
metafora bahasa baru yakni kepemimpinan yang elegan, tegas, dan memiliki
kelincahan yang tinggi. Metafora bahasa baru muncul disamping empat hal seperti
kalimat teratas dari tulisan ini. Pertama, kemampuan mengenali serta merumuskan
masalah dan tantangan bangsa ke depan. Kedua, kemampuan merumuskan visi Indonesia masa depan dalam beragam aspek. Ketiga, kemampuan merumuskan strategi dan prioritas
kebijakan. Keempat, kemampuan
mengapitalisasi berbagai sumber daya yang tersedia.
Gambar diambil dari www.google.com
*Ditulis oleh Uruqul Nadhif
Dzakiy, mahasiswa Matematika ITB Bandung
0 komentar:
Post a Comment