Friday, October 18, 2013

Pemimpin Kreatif*


Mengutip Opini Kompas (8/10/2013) dengan Judul Jalan Buntu Pemimpin Baru bahwa setidaknya ada empat persyaratan yang harus dimiliki seorang calon pemimpin untuk menjadi katalis perubahan. Pertama, kemampuan mengenali serta merumuskan masalah dan tantangan bangsa ke depan. Kedua, kemampuan merumuskan visi Indonesia masa depan dalam beragam aspek. Ketiga, kemampuan merumuskan strategi dan prioritas kebijakan. Keempat, kemampuan mengapitalisasi berbagai sumber daya yang tersedia.

Demam pemilu 2014 sudah mulai. Calon presiden 2014 bermunculan di media elektronik maupun di ruang publik ; jalan raya, tempat pembelanjaan, terminal, dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi pada calon anggota legislatif DPR RI yang juga akan berkompetisi di Pemilu 2014. Lembaga survei profesional maupun amatir berlomba-lomba munculkan calon Presiden 2014 yang layak dipilih rakyat dengan berbagai variasi parameter. Partai politik pun dengan gencar memoles citra partainya dengan berbagai iklan politik mulai dari mengkampanyekan partainya sampai mengkampanyekan secara terang-terangan calon presiden yang akan diusungnya. Jalannya bermacam-macam mulai dari turba (turun ke bawah) ke masyarakat maupun membangun citra dengan iklan politik di berbagai media.

Fenomena diatas berimplikasi dalam dua hal. Pertama, demokrasi itu berharga mahal. Secara rasional kita bisa menduga bahwa biaya iklan di berbagai media elektronik dan media di ruang publik pastinya ratusan bahkan milyaran rupiah. Ditambah dengan biaya turba dan juga uang ongkos memilih, luar biasa banyak. Fakta ini menunjukkan bahwa pemilu hanya bisa diikuti oleh orang yang berduit. Orang yang memiliki track record baik sebagai calon pemimpin, namun Ia tidak memiliki cukup dana pasti akan tersisih. Hasil dari demokrasi berharga mahal ini adalah para pejabat korup matrealistik. Kita bisa saksikan berbagai kasus korupsi yang hampir setiap hari menjerat para pejabat. Kedua, Pemimpin tidak lahir dari penseleksian sejarah melainkan pemolesan citra. Dulu, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tampil sebagai pemimpin tidak ujug-ujug melainkan melalui proses perjuangan yang nyata dan berhasil. Mereka memiliki gagasan brilian untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterjajahan dan kebodohan. Perjuangan mereka dirasakan betul oleh rakyat. Ongkos mereka bukanlah uang yang melimpah melainkan dengan memeras keringat, pertarungan ideologi,  bahkan mengorbankan nyawa. Berbeda dengan pemimpin saat ini. Mereka lahir dari sokongan dana dan relasi yang kuat. Juga hasil polesan citra yang tidak lain hanyalah topeng belaka.

Pemimpin Instan Produk Parpol

Seperti yang ditulis oleh Sri Palupi dalam Opini Kompas (8/10/2013) dengan judul Membaca Tanda-Tanda Zaman, setidaknya ada tiga fenomena penting yang layak untuk disorot. Pertama, Pemimpin saat ini banyak kehilangan akal budi. Kasus Tubagus Chaeri Wardana, adik Gubernut Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang terlibat dalam sengketa Pilkada Lebak .Ia miliki 11 mobil mewah senilai puluhan milyar, kontradiksi dengan kondisi rakyat Lebak. Lebih dari setengah rumah tangga di lebak miskin, bahkan mati karena kekurangan gizi. Kedua, Korupsi terang-terangan, kasus Ratu Atut Chosiyah menurut laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa dana hibah pemerintah Banten terus meningkat yakni 24 Milyar (2009), 200 Milyar (2010), dan 340 Milyar(2011). Dana hibah ini diduga dialirkan kepada berbagai yayasan keluarga Atut. Rumah Dinas Atut yang dibangun dengan dana APBD senilai 16,4 Milyar tidak ditempati Atut. Ia justru lebih memilih rumahnya sendiri dimana APBD membayar 250 per tahun untuk uang sewanya. Ketiga, menjarah rakyat. Banyak sekali kebijakan yang lahir justru membuat rakyat semakin sengsara. Sebut saja kebijakan Masterplan Percepatan Pembangunan Perekonomian Indonesia (MP3EI) dimana dibangun kluster-kluster yang diisi oleh korporat yang lebih mementingkan akumulasi kapitalnya dari pada menjadikan masyarakat sekitar sejahtera. Kebijakan lain seperti obral Sumber Daya Alam seperti tambang, minyak, dan mineral kepada asing semenjak zaman Orde Baru sampai sekarang. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hanya sekedar panjangan.

Kondisi-kondisi tersebut mencerminkan sudah sangat kritis kondisi kepemimpinan republik ini. Mereka tidaklah memiliki visi yang kuat untuk membangun bangsa. Jargon-jargon kampanye mereka hanya sebatas retorika manis yang realisasinya nol besar. Disini nuansa perebuatan kekuasaan lebih menonjol dan ketara dari pada imaji tentang Indonesia. Hal ini menandakan bahwa pemimpin yang ada sekarang adalah produk instan dari sebuah partai politik.

Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menempatkan partai politik sebagai agen tunggal pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini adalah salah satu akibat dari lahirnya pasal ini. Partai politik tidak menjaring kadernya secara ketat dan selektif. Banyak parpol mengambil kader dari entitas masyarakat populis yang hanya memiliki citra dan duit seperti artis, pengusaha, dan tokoh agama namun mereka tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai. Partai politik seharusnya memberikan peluang bagi pemimpin daerah yang berprestasi untuk berkiprah di wilayah yang lebih luas (naik jabatan) seperti halnya gubernur yang berprestasi diusung untuk menjadi presiden atau wakil presiden. Namun realitanya, seringkali partai politik punya pertimbangan khusus mengangkat seorang untuk dicalonkan. Prestasi sebagai pemimpin daerah bukan hal nomor satu sehingga wajar pemimpin dari kader parpol adalah pemimpin karbitan, tidak memiliki kemampuan memadai.

Pemimpin Kreatif

Teknologi informasi mengalir deras ke dalam kehidupan kita. Masyarakat netokrat layak kita sematkan kepada manusia abad 21 ini. Masyarakat netokrat memang belum menjadi entitas mayoritas di negeri ini. Kebanyakan mereka berdomisili di kota besar. Namun, pengaruh mereka sangat besar dalam menggerakkan kondisi politik akhir-akhir ini. Sebagai contoh, akun @triomacan2000 menggegerkan banyak pejabat akibat kicauannya di twitter. Belum lagi aktivis kaskus, facebook, dan jejaring sosial lain pasti lebih banyak lagi. Oleh karenanya dibutuhkan pemimpin kreatif, pemimpin yang relevan dengan perkembangan zaman. Ia mampu munculkan metafora bahasa baru yakni kepemimpinan yang elegan, tegas, dan memiliki kelincahan yang tinggi. Metafora bahasa baru muncul disamping empat hal seperti kalimat  teratas dari tulisan ini. Pertama, kemampuan mengenali serta merumuskan masalah dan tantangan bangsa ke depan. Kedua, kemampuan merumuskan visi Indonesia masa depan dalam beragam aspek. Ketiga, kemampuan merumuskan strategi dan prioritas kebijakan. Keempat, kemampuan mengapitalisasi berbagai sumber daya yang tersedia.

Gambar diambil dari www.google.com
*Ditulis oleh Uruqul Nadhif Dzakiy, mahasiswa Matematika ITB Bandung

0 komentar: