Monday, November 04, 2013

Catatan Seorang Petualang

Catatan Seorang Petualang
Edisi 2 #KampungNaga

Dunia lambat laun semakin modern. Parameter modern terlihat dari pola kehidupan masyarakat yang cenderung gunakan teknologi di berbagai segi kehidupan. Modernitas juga menutut kompetisi yang ketat. Menang dan kalah adalah konsekuesi logis. Kehidupan harmoni tidak menjadi prioritas asalkan miliki kapital yang cukup. Kehidupan cenderung diikomoditaskan. Manusia seakan diarahkan sebagai individu individualistik yang menyalahi prinsip manusia sebagai makhluk sosial. Kampung Naga merupakan antitesis dari itu semua.
 

Pemandangan kampung Naga diambil dari anak tangga (doc.pribadi)

Sabtu (2/11/2013) adalah hari yang berbeda bagi empat orang mahasiswa yang tergabung dalam Kelas Sampurasun, Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika (SMKAA). Mereka semua adalah saya, Ria (Unpad), Santi (Unpad), dan Julia (UPI). Kami dipandu dengan guru sekaligus teman kami Kang Asep, Kang Igo, Kang Deni, Kang Basar, dan Kang Sadu bertolak ke Kampung Naga, Tasikmalaya untuk menyaksikan langsung kehidupan salah satu entitas masyarakat yang memegang teguh adat leluhur, adat sunda. Menggunakan mobil Kijang kapsul kami bertolak dari museum sekitar jam 08.00 WIB setelah dilepas pengurus SMKAA, Teh Dila dan lainnya. Perjalanan memakan waktu sekitar tiga jam dari kota Bandung.

Bertemu Punuh Adat

Pemandangan yang tersajikan di Kampung Naga benar-benar natural. Dari parkiran mobil, kami menuruni anak tangga menuju perkampungan ini. Kurang lebih memakan waktu sekitar 10 menit. Di kanan kiri anak tangga terdapat banyak jajanan dan kerajinan tangan yang dijual. Penjualnya menurut Kang Asep adalah bagian dari penduduk kampung Naga juga. Pemandangan indah pun menyambut saat anak tangga berhasil kami lalui. Sungai yang relatif bersih, persawahanan yang organik, hutan larangan sebagai pengendali abrasi sungai, dan yang paling khas rumah adat. Bentuk rumah khas sekali ; rumah panggung (relatif rendah), atap terbuat dari ijuk bekas pohon aren yg terdiri dari beberapa lapis, dan berbahan dasar kayu. Jika ambil gambar  dari anak tangga terakhir terlihat indah sekali. Pemandangan sekitar rumah tak kalah indah. Kolam-kolam ikan dengan ikan mas, mujahir, dan lain-lain yang besar-besar. Juga aliran air dari pegunungan dan kakus diatas kolam. Saya sempatkan untuk cicipi kakus khas kampung naga ini. Kakus ini tanpa gayung dan airnya langsung dari mata air. Jadinya tidak pernah berhenti mengalir. Saat saya buang air besar, kotoran langsung turun ke kolam dan dimakan oleh ikan-ikan. Pemandangan yang indah. Namun sayang, tidak ada atap dan pintu kakus juga tidak tinggi.

Punuh Adar, Aki Maun
(doc. pribadi)
Saat kami berkunjung, ternyata ada rombongan beberapa bus dari salah satu sekolah dari Balaendah Bandung. Setibanya di dalam kampung, kami menuju ke Punuh Adat. Namanya Aki Maun, usianya lebih dari 70 tahun. Ketika kami kunjungi, beliau sedang membuat semacam bak dari kayu. Karya-karya Aki Maun selain itu ada banyak lagi seperti gelas dari bambu, teko dari kayu, dan cangkir kecil dari kayu. Kami makan siang di rumah Aki Maun dengan bekal yang sudah dibawa sebelumnya.

Pemandangan Dapur
(doc. pribadi)
Hal unik dari rumah di kampung adat selain yang sudah saya sebutkan diatas yakni rumah terdiri dari ruang tamu dengan dinding khusus bersandar yang berbahan dasar kayu jati, dapur dengan pawon [1] dari tanah, dan kamar tidur (saya tidak mengecek bagian dalam ruangan ini). Di pintu rumah juga terdapat semacam benda tolak bala yang tergantung tepat dibagian atas pintu. Seperti halnya kampung adat lainnya, penduduk setempat biarpun menganut agama Islam namun tetap jalani ritual adat seperti halnya sesaji dan ritual lainnya. Penduduk kampung Naga tidak menggunakan listrik PLN, namun gunakan aliran Aki (sebesar aki mobil), dan petromak. Namun biarpun demikian, televisi dan handphone sudah masuk kampung ini. Bahkan, ada juga penduduk yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Berfoto besama istri Punuh Desa, Aki Suharyo
(doc. pribadi) 
Kami juga sempat mengunjungi rumah Aki Suharyo, Punuh Desa, namun beliau tidak ada di rumah. Kami hanya disambut oleh istrinya. Disini kami disuguhi teh tawar dan pisang. Kami juga dipersilahkan untuk mengamati dari dekat dapur dan juga padi yang istilahnya disini pari ageng, saeundan. Ternyata setahun, penduduk kampung Naga panen padi sebanyak dua kali yakni pada Januari dan Juli. Saat panen, ada ritual khusus yang dipimpin oleh Punuh Adat. Sebelum pamit, kami diberi oleh-oleh yakni padi yang utuh dengan batangnya. Kami pun selanjutnya tunaikan sholat di surau kampung ini. Suraunya khas sekali. Aliran air dari tempat wudlu mengalir terus. Bagian dalam masjid menyerupai masjid jamaah Nadhiyin. Hanya saja, arsitek bangunannya tidak menyerupai masjid saat kita amati dari luar.


Saya dan latar rumah adat
(doc. pribadi)
Terapi Ikan

Sebelum meninggalkan kampung adat, kami sempatkan untuk terapi ikan. Kami datangi salah satu kolam dengan ikan yang beraneka ragam. Kami pun melepas alas kaki kemudian celupkan kaki ke dalam kolam. Ikan-ikan pun mengerumuni kaki kami. Ikan-ikan semakin girang dan tidak punya malu saat Kang Asep berikan pelet [2]. Saya pun cukup khawatir dengan ikan-ikan mas yang besar ini yang mungkin saja memakan jempol kaki saya. Saya taksir ikan mas yang besar ini beratnya melebihi tiga kilo. Besar sekali. Selanjutnya, kami pun menaiki anak tangga meninggalkan pemandangan indah kampung ini.

Kehidupan yang harmoni adalah ciri khas kehidupan Kampung Naga. Disini, saya belajar bahwa hidup haruslah berbagi. Hidup haruslah bekerja sama. Kehidupan seharusnya mengantarkan kita menjadi makhluk sosial.


                                                                                                                   Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB


[1] Pawon adalah kompor yang terbuat dari tanah
[2] Pelet  adalah pakan ikan yang terbuat dari dedek dan campuran lainnya

0 komentar: