Catatan Seorang Petualang
Edisi 2 #KampungNaga
Dunia lambat laun semakin modern. Parameter modern terlihat dari pola
kehidupan masyarakat yang cenderung gunakan teknologi di berbagai segi
kehidupan. Modernitas juga menutut kompetisi yang ketat. Menang dan kalah
adalah konsekuesi logis. Kehidupan harmoni tidak menjadi prioritas asalkan
miliki kapital yang cukup. Kehidupan cenderung diikomoditaskan. Manusia seakan
diarahkan sebagai individu individualistik yang menyalahi prinsip manusia
sebagai makhluk sosial. Kampung Naga merupakan antitesis dari itu semua.
Sabtu (2/11/2013) adalah hari
yang berbeda bagi empat orang mahasiswa yang tergabung dalam Kelas Sampurasun,
Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika (SMKAA). Mereka semua adalah saya, Ria
(Unpad), Santi (Unpad), dan Julia (UPI). Kami dipandu dengan guru sekaligus
teman kami Kang Asep, Kang Igo, Kang Deni, Kang Basar, dan Kang Sadu bertolak
ke Kampung Naga, Tasikmalaya untuk menyaksikan langsung kehidupan salah satu
entitas masyarakat yang memegang teguh adat leluhur, adat sunda. Menggunakan
mobil Kijang kapsul kami bertolak dari museum sekitar jam 08.00 WIB setelah
dilepas pengurus SMKAA, Teh Dila dan lainnya. Perjalanan memakan waktu sekitar
tiga jam dari kota Bandung.
Bertemu Punuh Adat
Pemandangan yang tersajikan di
Kampung Naga benar-benar natural. Dari parkiran mobil, kami menuruni anak
tangga menuju perkampungan ini. Kurang lebih memakan waktu sekitar 10 menit. Di
kanan kiri anak tangga terdapat banyak jajanan dan kerajinan tangan yang
dijual. Penjualnya menurut Kang Asep adalah bagian dari penduduk kampung Naga
juga. Pemandangan indah pun menyambut saat anak tangga berhasil kami lalui.
Sungai yang relatif bersih, persawahanan yang organik, hutan larangan sebagai
pengendali abrasi sungai, dan yang paling khas rumah adat. Bentuk rumah khas
sekali ; rumah panggung (relatif rendah), atap terbuat dari ijuk bekas pohon
aren yg terdiri dari beberapa lapis, dan berbahan dasar kayu. Jika ambil
gambar dari anak tangga terakhir
terlihat indah sekali. Pemandangan sekitar rumah tak kalah indah. Kolam-kolam
ikan dengan ikan mas, mujahir, dan lain-lain yang besar-besar. Juga aliran air
dari pegunungan dan kakus diatas kolam. Saya sempatkan untuk cicipi kakus khas
kampung naga ini. Kakus ini tanpa gayung dan airnya langsung dari mata air. Jadinya
tidak pernah berhenti mengalir. Saat saya buang air besar, kotoran langsung
turun ke kolam dan dimakan oleh ikan-ikan. Pemandangan yang indah. Namun
sayang, tidak ada atap dan pintu kakus juga tidak tinggi.
![]() |
Punuh Adar, Aki Maun (doc. pribadi) |
Saat kami berkunjung, ternyata
ada rombongan beberapa bus dari salah satu sekolah dari Balaendah Bandung.
Setibanya di dalam kampung, kami menuju ke Punuh Adat. Namanya Aki Maun,
usianya lebih dari 70 tahun. Ketika kami kunjungi, beliau sedang membuat
semacam bak dari kayu. Karya-karya Aki Maun selain itu ada banyak lagi seperti
gelas dari bambu, teko dari kayu, dan cangkir kecil dari kayu. Kami makan siang
di rumah Aki Maun dengan bekal yang sudah dibawa sebelumnya.
![]() |
Pemandangan Dapur (doc. pribadi) |
Hal unik dari rumah di kampung
adat selain yang sudah saya sebutkan diatas yakni rumah terdiri dari ruang tamu
dengan dinding khusus bersandar yang berbahan dasar kayu jati, dapur dengan pawon [1] dari tanah, dan kamar tidur
(saya tidak mengecek bagian dalam ruangan ini). Di pintu rumah juga terdapat
semacam benda tolak bala yang tergantung tepat dibagian atas pintu. Seperti
halnya kampung adat lainnya, penduduk setempat biarpun menganut agama Islam
namun tetap jalani ritual adat seperti halnya sesaji dan ritual lainnya.
Penduduk kampung Naga tidak menggunakan listrik PLN, namun gunakan aliran Aki
(sebesar aki mobil), dan petromak. Namun biarpun demikian, televisi dan handphone sudah masuk kampung ini. Bahkan,
ada juga penduduk yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kami juga sempat mengunjungi
rumah Aki Suharyo, Punuh Desa, namun beliau tidak ada di rumah. Kami hanya
disambut oleh istrinya. Disini kami disuguhi teh tawar dan pisang. Kami juga
dipersilahkan untuk mengamati dari dekat dapur dan juga padi yang istilahnya
disini pari ageng, saeundan. Ternyata
setahun, penduduk kampung Naga panen padi sebanyak dua kali yakni pada Januari
dan Juli. Saat panen, ada ritual khusus yang dipimpin oleh Punuh Adat. Sebelum
pamit, kami diberi oleh-oleh yakni padi yang utuh dengan batangnya. Kami pun
selanjutnya tunaikan sholat di surau kampung ini. Suraunya khas sekali. Aliran
air dari tempat wudlu mengalir terus. Bagian dalam masjid menyerupai masjid
jamaah Nadhiyin. Hanya saja, arsitek bangunannya tidak menyerupai masjid saat
kita amati dari luar.
Sebelum meninggalkan kampung
adat, kami sempatkan untuk terapi ikan. Kami datangi salah satu kolam dengan
ikan yang beraneka ragam. Kami pun melepas alas kaki kemudian celupkan kaki ke
dalam kolam. Ikan-ikan pun mengerumuni kaki kami. Ikan-ikan semakin girang dan
tidak punya malu saat Kang Asep berikan pelet
[2]. Saya pun cukup khawatir dengan ikan-ikan mas yang besar ini yang mungkin saja
memakan jempol kaki saya. Saya taksir ikan mas yang besar ini beratnya melebihi
tiga kilo. Besar sekali. Selanjutnya, kami pun menaiki anak tangga meninggalkan
pemandangan indah kampung ini.
Kehidupan yang harmoni adalah ciri khas kehidupan Kampung Naga. Disini,
saya belajar bahwa hidup haruslah berbagi. Hidup haruslah bekerja sama.
Kehidupan seharusnya mengantarkan kita menjadi makhluk sosial.
Uruqul
Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika
ITB
[1] Pawon adalah kompor yang terbuat dari tanah
[2] Pelet adalah pakan ikan yang
terbuat dari dedek dan campuran
lainnya
0 komentar:
Post a Comment