Wajah PTN Bekas BHMN Pasca Disahkannya Statuta
Oktober lalu, Presiden
mensahkan statuta empat Perguruan Tinggi bekas BHMN yakni Institut Teknologi Bandung
(ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian
Bogor (IPB). Otomatis keempat PT ini berstatus PTN Badan Hukum (PTN BH).
Perguruan
Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) ini dipayungi oleh UU No 12/2012 tentang
Pendidikan Tinggi. Dipertegas dengan PP No 58/2013 tentang bentuk dan mekanisme
pendanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum. Sebelumnya keempat PTN bekas Badan Hukum
Milik Negara (BHMN) ini tanpa payung hukum. Hal ini dikarenakan pembatalan UU
No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembatalan ini menyebabkan PP No 61/1999 tentang penetapan Perguruan Tinggi
sebagai Badan Hukum tidak berlaku setelah dikeluarkannya PP No 7/2010 tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
![]() |
Salah satu sisi bangunan ITB, Aula Barat (doc. Majalah Ganesha ITB) |
Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan tiga PTN bekas BHMN diatas mungkin bisa bernafas
lega dengan disahkannya statuta. Mereka secara otonom dapat mengelola rumah
tangga sendiri termasuk didalamnya masalah keuangan dan akademik. Terkait
masalah keuangan, PTN tersebut dapat mencari sumber pendanaan sendiri dengan
caranya masing-masing. Ada yang mendirikan supermarket seperti halnya IPB atau
bahkan meningkatkan tarif masuk bagi mahasiswa baru seperti halnya UI. Mengutip
pernyataan Tulus Santoso dalam Opini Kompas (2/11/2013) berjudul Waspadai PTN Badan Hukum bahwa pada
tahun ajaran 2008/2009 (termasuk 2012/2013) untuk rumpun ilmu sosial dan
humaniora Biaya Operasional Pendidikan (BOP) UI mencapai Rp 5 Juta padahal
sebelum berstatus BHMN biaya kuliah di UI sekitar Rp 250.000,00. Kenaikan tarif
mencapai 20 kali lipat. Lain halnya dengan ITB. ITB miliki berbagai badan usaha
bidang engineering dan lainnya yang
cukup kompatibel yang bisa menjadi sumber masukan ITB seperti halnya PT. LAPI,
Sabuga, dan masih banyak lagi. ITB juga mengambil pemasukan dari mahasiswa
tetapi porsinya lebih kecil dibandingkan dengan porsi ITB. Sumber lainnya
berasal dari proyek dosen yang jumlahnya cukup besar. Berdasarkan sumber dari
Ketua Senat Akademik proporsi sumber dana ITB jika dipersentase ; mahasiswa
(30%), pemerintah (30%), dan ITB (40 %). Dana Bantuan Operasional PTN (BPO PTN)
belum bisa menjawab terkait masalah dana operasional kampus yang sangat besar.
Buktinya dana kemahasiswaan semakin tahun terus dipangkas. Begitu pula dengan
dana konferensi ke luar negeri, riset, dan sebagainya yang tidak banyak
berubah. Bahkan harus ditomboki
terlebih dahulu. PTN BH sejatinya adalah
penggantian baju dari BHMN.
Lepas
Tangannya Pemerintah
Disahkannya
statuta PTN bekas BHMN tersebut menegaskan bahwa pemerintah semakin lepas
tangan dengan pendanaan PTN. Amanat konstitusi bahwa pemerintah wajib
mencerdaskan kehidupkan bangsa secara perlahan dilanggar oleh pemerintah. Idealnya,
aspek pendanaan PTN wajib dibiayai 100 persen oleh pemerintah sedangkan
pengelolaannya,termasuk didalamnya operasional dan kebijakan akademik, diatur
oleh PTN sendiri. Inilah yang dinamakan otonomi PTN. Memang, pemerintah masih
memberikan dana untuk PTN bekas BHMN ini sekitar 30 persen dari biaya total pengeluaran
PTN. APBN memang telah mengamanatkan 20 persen untuk pendidikan. Nyatanya hal
itu habis bukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menambah dana
riset, dan sebagainya, namun habis untuk menggaji guru, dosen, dan berbagai kegiatan
yang diadakan oleh kementerian. Praktis meningkatnya anggaran pendidikan tidak
membuat kualitas PTN kita naik. Berbagai survei menunjukkan bahwa PTN kita
sangat tertinggal jauh dari universitas dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura
bahkan Thailand.
Kebijakan
otonomi bagi PTN memang bagus dan malah wajib agar PTN mengelola sendiri
operasional dan kebijakan akademik kampus. Namun, tidak halnya dengan
pendanaan. Kampus dikhawatirkan hanya akan berfikir akan pendanaan dan terlupa
dalam upaya peningkatan kualitas kampus. Akibatnya, kampus berlomba-lomba pamer
kekayaan. Kompetisi antar kampus hanya sekedar kompetisi lomba-lomba dan
pembangunan gedung. Bukan kompetisi paper
hasil riset dan budaya ilmiah lainnya. Fasilitas kampus seperti halnya
labolatorium dan buku tidak banyak berubah. Tidak jauh berbeda dengan ketika
awal mula kampus berdiri. Kampus hanya laku karena dapat mengeluarkan ijazah
untuk melamar kerja. Tidak lebih. Mengutip ungkapan Okie Fauzi Rachman dalam
opini Pendidikan dan Alienasi di
situs majalahganesha.com (27/10/2013) bahwa kampus sudah jauh dari hakekat
pendidikan yakni menciptakan manusia yang humanis. Pendidikan sudah menjelma
sebagai komoditas. Konsekuensinya lulusan kampus dicetak untuk menjadi pekerja
industri. Tidak lebih. Prinsip link and
match kampus dan industri terjadi. Buktinya belajar di PTN semakin
dibatasi. Belajar berubah dari kesenangan menjadi semacam ancaman. Mahasiswa
berlomba-lomba untuk lulus cepat agar segera terbebas dari tuntutan belajar dan
melepas diri dari olok-olok Lulus Lama
Memakan Uang Rakyat.
Penutup
UU
No. 12/2012 dan PP No. 53/2013 adalah cermin bahwa pemeritah semakin lepas
tangan terhadap Perguruan Tinggi. Pemberian otonomi seluas-luasnya terhadap
kampus memang seharusnya namun tidak pada pendanaan. Tugas kampus adalah
benar-benar menciptakan suasana akademis dan juga meningkatkan kualitas
pendidikan. Kampus harus selalu berbenah mengingat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat cepat. Buku-buku koleksi di perpustakaan harus
dilengkapi dan diperbaharui. Fasilitas labolatorium dan sarana belajar lainnya
harus diupayakan untuk berstandar internasional. Yang lebih penting lagi adalah
kampus menyediakan dosen yang benar-benar dosen, yang selalu full-time di kampus. Bukan dosen yang kerjanya
proyek dan abai pada mahasiswa. Bukan juga dosen yang hanya mengajar di kelas
lalu pulang. Bukan dosen selebritis yang selalu absen di kelas tetapi selalu
manggung di televisi dan berbagai acara di luar. Bukan dosen yang memakan gaji
buta. Kampus harus mengupayakan dosen dan mahasiswa yang mampu bekerja sama.
Bekerjasama untuk mencipta karya akademis yang dapat bersaing dengan karya dari
universitas luar negeri. Disahkannya statuta dilain sisi menciptakan
kedinamisan kampus dalam mengelola rumah tangganya sendiri termasuk didalamnya
pendananan, namun dilain sisi akan menyulitkan kampus kita untuk bisa bersaing
dengan universitas luar negeri. Rektor dan jajarannya sibuk mencari dana
talangan untuk operasional kampus sementara kualitas pendidikan kampus tidak
juga digenjot. Jika hal ini terus terjadi, bisa dipastikan PTN kita akan jalan
ditempat. Menjadi World Class University
(WCU) seperti yang sering diucapkan Akhmaloka sebelum menjadi Rektor ITB hanya
sekedar mimpi di siang bolong.
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mantan Ketua Majalah Ganesha ITB
0 komentar:
Post a Comment