Sebagaimana tulisan saya di SELASAR
(16/11/2015), bahwa persoalan peningkatan kualitas lembaga riset khususnya
Perguruan Tinggi tak berhenti pada peningkatan kualitas mumpuni dari para
profesornya, melainkan ini merupakan masalah sistemik. Oleh karenannya
dibutuhkan konsepsi yang menyeluruh, tidak parsial. Dalam tulisan ini saya
mencoba akan memberikan uraian singkat terkait dari mana kita memulainya.
Sadar Potensi
Indonesia dianugerahi wilayah yang
relatif luas di daerah tropis yang memungkinkan hadirnya aneka kekayaan alam.
Gunung dan laut adalah salah duanya. Kita memiliki 76 gunung api (http://www.vsi.esdm.go.id/).
Sementara itu laut kita luasnya 2/3 dari total wilayah yang ada. Saya rasa
pemerintah sudah sadar dengan potensi ini. Sebagai buktinya terkait laut,
pemerintah telah mengeluarkan UU no.32 tahun 2014 tentang kelautan.
Undang-undang ini dinilai sudah lengkap untuk membahas berbagai aturan terkait
laut. Namun setelah keluarnya UU tersebut, apa langkah selanjutnya ?
Pertanyaan ini mudah dinyatakan tapi
sulit untuk direalisasikan. Di masa pemerintahan Jokowi-JK diangkatlah konsep
"Indonesia sebagai poros maritim[1]
dunia". Langkah yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan langkah maju.
Tinggal bagaimana memastikan program ini sukses dan dapat dijalankan di
periode-periode selanjutnya. Namun, jika ditengok potensi laut yang luar biasa
besar (perikanan, industri, minyak gas, pariwisata, dan lain-lain), langkah
yang dilakukan pemerintah dapat dikatakan masih kurang.
Karena pemaknaan akan pemanfaatan
potensi laut sangat lemah, upaya teknikal untuk mencapai tujuan besar sebagai
poros maritim dunia tidak diupayakan secara sistemik. Bayangkan hadirnya visi
besar tersebut tidak diikuti dengan upaya masif untuk meningkatkan kualitas SDM
dalam negeri. Pemerintah sampai saat ini belum serius menyiapkan SDM untuk
bergerak di sektor kelautan, sekolah-sekolah terkait laut masihlah minim,
begitu pula jurusan-jurusan di berbagai perguruan tinggi dan akademi. Bakamla
biarpun telah menggagas sekolah tentang sekuriti laut, kurikulumnya dibuat
secara tergesa-gesa (Sulasdi, 2015). Hal ini berkorelasi dengan lapangan
pekerjaan di bidang kelautan relatif kecil. Ini merupakan indikasi bahwa
pemerintah belum sepenuhnya memaknai potensi laut. Hal serupa juga terjadi pada
konteks gunung. Akibatnya riset terkait dua bidang ini tidaklah berkembang
secara signifikan.
Tak Dimaknai Sepotong
Di hampir semua bidang keilmuan, riset
kita tak ada yang menonjol. Mengidentifikasinya sederhana, adakah mahasiswa
asing yang belajar ke universitas-universitas di Indonesia ? Ada namun sangat
sedikit jika dibandingkan dengan mahasiswa domestik. Parameter kedua yaitu
publikasi riset dari para ilmuwan dalam negeri. Biarpun hal ini tidak
mencerminkan kualitas riset, namun cukup merepresentasikan gairah melakukan
riset. Berdasarkan data yang dihimpun
Hendra Gunawan (2015), jumlah publikasi internasional menurut scopus per 7
Agustus 2015 untuk 10 kampus terproduktif di Indonesia dan 2 lembaga riset
pemerintah mencapai 19.929 paper. Ini masih kalah dengan satu kampus di
Malaysia yakni Universitas Kebangsaan Malaysia dengan 21.336 paper. Dua fakta
diatas menandakan bahwa riset di Indonesia belum menjadi semangat bersama di
kalangan para insan akademik.
Fenomena rendahnya produktivitas riset
di Indonesia seringkali dimaknai sepotong oleh pemerintah, bahkan oleh insan
akademik yang sadar akan riset (biasanya guru besar). Banyaknya jurnal di
scopus dijadikan patokan tunggal meningkatnya iklim riset dan ini katanya sesuai
dengan falsafah tridharma Perguruan Tinggi. Maka, para periset dituntut untuk
mempublikasikan sebanyak mungkin jurnal tak peduli bermutu atau tidak. Pemaknaan
yang lebih gegabah lagi adalah sikap terhadap pemeringkatan Perguruan Tinggi.
Ada kampus yang bahkan membuat lembaga khusus untuk menjadikan kampusnya masuk
dalam papan atas kampus terbaik di level nasional. Padahal dua parameter
tersebut (banyaknya jurnal di scopus dan peringkat kampus) adalah akibat dari
manajemen riset yang baik, jadi yang perlu difokuskan penyelesaiannya adalah
sebabnya.
Bagi saya sebab masalah diatas adalah
manajemen riset. Lembaga-lembaga penelitian ini yang mencakup lembaga riset
nasional dan Perguruan Tinggi seharusnya memfokuskan risetnya ke bidang apa.
Ini tak lain dibutuhkan interferensi pemerintah guna agar segenap lembaga
tersebut berjalan seiringan dan sinergis.
Fokus di Gunung dan Laut
Interferensi yang dapat dilakukan
pemerintah adalah dengan mengangkat visi riset Indonesia dalam sekian tahun ke
depan di bidang apa. Saya menyarankan fokus riset kita di bidang gunung dan laut.
Alasannya seperti yang telah saya jelaskan di muka. Dengan memfokuskan riset di
bidang tertentu akan dengan mudah diukur perkembangan (progress) hasil riset tiap tahunnya. Seberapa jauh riset telah
dilakukan dan apa saja kendala yang dihadapi. Pemfokusan ini juga akan
memfokuskan energi para peneliti ke bidang ini sehingga hasilnya akan maksimal.
Memang jika langkah ini dilakukan akan didapatkan resistensi dari para ilmuwan
yang tidak secara langsung berinteraksi dengan dua bidang tersebut (gunung dan
laut). Namun bagi saya ini tidaklah menjadi masalah serius bahkan saya yakin
kefokusan ini justru akan menjadikan bidang-bidang ilmu lain di luar bidang tersebut
akan jauh lebih berkembang.
Melalui kefokusan riset ini akan
didapatkan hasil riset yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Ini tak lain
karena objek riset yaitu gunung dan laut kita miliki sendiri. Satu kemanfaatan
yang dapat diperoleh adalah di bidang ekonomi. Pemerintah dapat mengupayakan
hasil riset untuk dipakai oleh industri sehingga manfaat riset dapat dirasakan
secara langsung.
[1] Mengacu pada Oxford Dictionary, maritim didefinisikan terhubung dengan
laut, khususnya dalam hubungannya dengan perdagangan laut atau hal-hal angkatan
laut (connected with the sea, especially
in relation to seaborne trade or naval matters)
0 komentar:
Post a Comment