Thursday, November 26, 2015

Menjadikan Indonesia sebagai Pusat Riset Gunung dan Laut



Sebagaimana tulisan saya di SELASAR (16/11/2015), bahwa persoalan peningkatan kualitas lembaga riset khususnya Perguruan Tinggi tak berhenti pada peningkatan kualitas mumpuni dari para profesornya, melainkan ini merupakan masalah sistemik. Oleh karenannya dibutuhkan konsepsi yang menyeluruh, tidak parsial. Dalam tulisan ini saya mencoba akan memberikan uraian singkat terkait dari mana kita memulainya.

Sadar Potensi

Indonesia dianugerahi wilayah yang relatif luas di daerah tropis yang memungkinkan hadirnya aneka kekayaan alam. Gunung dan laut adalah salah duanya. Kita memiliki 76 gunung api (http://www.vsi.esdm.go.id/). Sementara itu laut kita luasnya 2/3 dari total wilayah yang ada. Saya rasa pemerintah sudah sadar dengan potensi ini. Sebagai buktinya terkait laut, pemerintah telah mengeluarkan UU no.32 tahun 2014 tentang kelautan. Undang-undang ini dinilai sudah lengkap untuk membahas berbagai aturan terkait laut. Namun setelah keluarnya UU tersebut, apa langkah selanjutnya ?

Pertanyaan ini mudah dinyatakan tapi sulit untuk direalisasikan. Di masa pemerintahan Jokowi-JK diangkatlah konsep "Indonesia sebagai poros maritim[1] dunia". Langkah yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan langkah maju. Tinggal bagaimana memastikan program ini sukses dan dapat dijalankan di periode-periode selanjutnya. Namun, jika ditengok potensi laut yang luar biasa besar (perikanan, industri, minyak gas, pariwisata, dan lain-lain), langkah yang dilakukan pemerintah dapat dikatakan masih kurang.

Karena pemaknaan akan pemanfaatan potensi laut sangat lemah, upaya teknikal untuk mencapai tujuan besar sebagai poros maritim dunia tidak diupayakan secara sistemik. Bayangkan hadirnya visi besar tersebut tidak diikuti dengan upaya masif untuk meningkatkan kualitas SDM dalam negeri. Pemerintah sampai saat ini belum serius menyiapkan SDM untuk bergerak di sektor kelautan, sekolah-sekolah terkait laut masihlah minim, begitu pula jurusan-jurusan di berbagai perguruan tinggi dan akademi. Bakamla biarpun telah menggagas sekolah tentang sekuriti laut, kurikulumnya dibuat secara tergesa-gesa (Sulasdi, 2015). Hal ini berkorelasi dengan lapangan pekerjaan di bidang kelautan relatif kecil. Ini merupakan indikasi bahwa pemerintah belum sepenuhnya memaknai potensi laut. Hal serupa juga terjadi pada konteks gunung. Akibatnya riset terkait dua bidang ini tidaklah berkembang secara signifikan.


Tak Dimaknai Sepotong

Di hampir semua bidang keilmuan, riset kita tak ada yang menonjol. Mengidentifikasinya sederhana, adakah mahasiswa asing yang belajar ke universitas-universitas di Indonesia ? Ada namun sangat sedikit jika dibandingkan dengan mahasiswa domestik. Parameter kedua yaitu publikasi riset dari para ilmuwan dalam negeri. Biarpun hal ini tidak mencerminkan kualitas riset, namun cukup merepresentasikan gairah melakukan riset.  Berdasarkan data yang dihimpun Hendra Gunawan (2015), jumlah publikasi internasional menurut scopus per 7 Agustus 2015 untuk 10 kampus terproduktif di Indonesia dan 2 lembaga riset pemerintah mencapai 19.929 paper. Ini masih kalah dengan satu kampus di Malaysia yakni Universitas Kebangsaan Malaysia dengan 21.336 paper. Dua fakta diatas menandakan bahwa riset di Indonesia belum menjadi semangat bersama di kalangan para insan akademik.

Fenomena rendahnya produktivitas riset di Indonesia seringkali dimaknai sepotong oleh pemerintah, bahkan oleh insan akademik yang sadar akan riset (biasanya guru besar). Banyaknya jurnal di scopus dijadikan patokan tunggal meningkatnya iklim riset dan ini katanya sesuai dengan falsafah tridharma Perguruan Tinggi. Maka, para periset dituntut untuk mempublikasikan sebanyak mungkin jurnal tak peduli bermutu atau tidak. Pemaknaan yang lebih gegabah lagi adalah sikap terhadap pemeringkatan Perguruan Tinggi. Ada kampus yang bahkan membuat lembaga khusus untuk menjadikan kampusnya masuk dalam papan atas kampus terbaik di level nasional. Padahal dua parameter tersebut (banyaknya jurnal di scopus dan peringkat kampus) adalah akibat dari manajemen riset yang baik, jadi yang perlu difokuskan penyelesaiannya adalah sebabnya.

Bagi saya sebab masalah diatas adalah manajemen riset. Lembaga-lembaga penelitian ini yang mencakup lembaga riset nasional dan Perguruan Tinggi seharusnya memfokuskan risetnya ke bidang apa. Ini tak lain dibutuhkan interferensi pemerintah guna agar segenap lembaga tersebut berjalan seiringan dan sinergis.

Fokus di Gunung dan Laut

Interferensi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengangkat visi riset Indonesia dalam sekian tahun ke depan di bidang apa. Saya menyarankan fokus riset kita di bidang gunung dan laut. Alasannya seperti yang telah saya jelaskan di muka. Dengan memfokuskan riset di bidang tertentu akan dengan mudah diukur perkembangan (progress) hasil riset tiap tahunnya. Seberapa jauh riset telah dilakukan dan apa saja kendala yang dihadapi. Pemfokusan ini juga akan memfokuskan energi para peneliti ke bidang ini sehingga hasilnya akan maksimal. Memang jika langkah ini dilakukan akan didapatkan resistensi dari para ilmuwan yang tidak secara langsung berinteraksi dengan dua bidang tersebut (gunung dan laut). Namun bagi saya ini tidaklah menjadi masalah serius bahkan saya yakin kefokusan ini justru akan menjadikan bidang-bidang ilmu lain di luar bidang tersebut akan jauh lebih berkembang.

Melalui kefokusan riset ini akan didapatkan hasil riset yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Ini tak lain karena objek riset yaitu gunung dan laut kita miliki sendiri. Satu kemanfaatan yang dapat diperoleh adalah di bidang ekonomi. Pemerintah dapat mengupayakan hasil riset untuk dipakai oleh industri sehingga manfaat riset dapat dirasakan secara langsung.



[1] Mengacu pada Oxford Dictionary, maritim didefinisikan terhubung dengan laut, khususnya dalam hubungannya dengan perdagangan laut atau hal-hal angkatan laut (connected with the sea, especially in relation to seaborne trade or naval matters)

0 komentar: