Friday, November 20, 2015

Technopark Berbasis Komunitas*

  Bandung kaya akan komunitas mulai  dari seni, budaya, sampai komunitas bisnis startup. Berkembangnya aneka komunitas sebagai salah satu pertanda bahwa warga Bandung amat menyukai kebersamaan atau dalam istilah sunda keguyuban. Sebagai bukti, saat Persib menantang  Sriwijaya FC di final piala Presiden beberapa minggu lalu, keguyuban warga Bandung sangat terasa. Di RW saya daerah Sekeloa Selatan diadakanlah nonton bareng oleh warga setempat, begitu pula RW-RW di sekitar daerah kostan saya. Tak peduli warga miskin maupun kaya, mereka berkumpul  dalam satu tempat untuk menyaksikan maung Bandung bertanding.

Dari sekian banyak komunitas di Bandung, saya hanya akan menyoroti komunitas startup bisnis khususnya yang bergerak dalam bidang teknologi. Para startup ini bergerak dalam berbagai macam domain bisnis mulai dari IT, ecommerce, fashion, seni, dan sebagainya yang umumnya skala mikro dan menengah. Para pelakunya banyak dari golongan kaum muda jebolan universitas-universitas terkemuka dari Bandung ataupun luar Bandung.  Bahkan ada perusahaan startup IT seperti Suitmedia yang sengaja membuka kantornya di Bandung. Kota kembang ini disebut cocok untuk dijadikan lokasi kantor perusahaan melihat secara geografis sangat mendukung dengan udaranya yang relatif sejuk dan tidak sebising kota-kota besar lain seperti Jakarta.

Menghubungkan Komunitas

Salah satu tantangan bagi para startup bisnis adalah inovasi. Bagaimana ia dapat lakukan terobosan dalam produk yang dihasilkan maupun sistem bisnis yang dijalankan selama ini. Biasanya perusahaan startup gulung tikar karena tidak menguasai hal tersebut yang akibatnya kalah bersaing. Kemampuan inovasi setiap perusahaan tidaklah sama. Ini sangat bergantung dengan kecepatannya belajar membaca pasar. Sumber-sumber pembelajaran pun tak semua perusahaan startup miliki. Bandung memang memiliki ITB sebagai kampus teknologi, namun kampus gajah ini tidak secara otomatis dijadikan sumber pembelajaran perusahaan startup. ITB biapun memiliki Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) sebagai pusat inkubasi bisnis, namun karena belum adanya kerjasama dengan Pemerintah kota Bandung, hubungan erat antara kampus ini dan perusahaan startup belum terjadi.

Kota Bandung dalam periode Ridwan Kamil berencana membangun semacam technopark di Gedebage. Pertanyaan besarnya, hadirnya wadah berkumpulnya perusahaan teknologi tersebut untuk siapa. Apakah untuk para perusahaan startup yang para pendirinya adalah banyak dari anak bangsa sendiri khususnya anak muda, atau untuk para perusahaan asing. Saya kira Pemkot yang baik pasti lebih mementingkan warganya tak melulu mengejar pedapatan daerah. Dalam konteks ini, Pemda kota Bandung men-support warganya yang berkecimpung di dunia bisnis startup untuk lebih dapat meningkatkan produk dan manajemen bisnisnya sehingga siap hadapi persaingan global apalagi tak lama lagi akan ada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jika memang keberpihakan Pemkot total untuk warganya, maka saya akan kembali menyoroti urgensi pemilihan lokasi technopark.

Satu masalah krusial para pebisnis startup adalah jejaring dengan kemudahan untuk spin-off dengan perusahaan lain. Masalahnya sekarang dalam pembentukan jejaring mereka harus mencari sendiri. Tidak semua perusahaan memiliki jejaring yang bagus dengan investor atau calon market. Katakan produk dari perusahaan A sangat worthed, namun karena kurangnya kemampuan membaca pasar akibatnya tak lama perusahaan tersebut gulung tikar. Pemkot bisa masuk disitu dengan menginiasi suatu wadah untuk menjembatani para startup berkolaborasi dan dapat menciptakan pasarnya sendiri. Masalah krusial kedua adalah inovasi produk. Tidak semua perusahaan startup mampu melakukan inovasi produk yang sesuai dengan kondisi pasar. Ini tak lain karena jam terbang mereka belum banyak. Padahal kecepatan dan ketepatan inovasi produk khususnya produk teknologi mutlak diperlukan karena persaingan biasanya hadir di produk-produk dari luar negeri.

Technopark Berbasis Komunitas

Dua masalah krusial diatas seharusnya dikaji secara mendalam oleh Pemkot Bandung sebelum mengaplikasikan gagasan sebuah technopark. Artinya technopark yang ada nantinya merupakan jawaban dari berbagai kebutuhan mendasar para perusahaan startup yang ada, bukan malah menjadi beban baru bagi mereka. Pertama yang dapat dilakukan Pemkot adalah mengidentifikasi berapa banyak komunitas yang bergerak di bisnis teknologi, mengadakan pertemuan untuk menganalisis kebutuhan, baru kemudian mendirikan technopark. Jadi berdirinya technopark ini berasal dari para perusahaan startup itu sendiri dengan dimediasi oleh Pemkot. Dalam teknik pelaksanaannya, Pemkot bisa melibatkan kampus-kampus ataupun lembaga-lembaga inovasi yang ada di kota Bandung.

Selain itu, pemilihan lokasi technopark pun atas persetujuan berbagai komunitas perusahaan startup. Dengan begitu technopark yang ada nantinya bisa berlanjut di masa yang akan datang (sustainable). Pemkot Bandung bisa mengikutsertakan kampus-kampus bidang teknologi dan juga lembaga inovasi lain untuk membangun bersama-sama technopark. Lembaga-lembaga ini dapat menjadi mentoring bidang inovasi produk atau marketing produk yang menjadi persoalan dasar bagi para perusahaan startup sepeti penulis jelaskan di atas. Hadirnya technopark diharapkan menjadi stimulus untuk berinovasi bagi para anggotanya (creative milieu) dan juga menjadi wahana keguyuban bagi para perusahaan startup. Disana para perusahaan bisa saling membantu menyelesaikan persoalan yang ada. Kekuatan informal itulah yang justru menjadi roh penyemangat tersendiri bagi insan pelaku bisnis startup untuk dapat meningkatkan kualitas perusahaan.

 Dengan kerjasama yang kuat antara Pemkot kota Bandung, para perusahaan startup, dan juga lembaga pendidikan dan riset seperti kampus diharapkan akan muncul kesadaran yang lebih luas akan pentingnya bisnis teknologi di kota Bandung. Pada akhirnya, Bandung Silicon Valley, Bandung Digital Valley dan berbagai istilah lain tentang Bandung tak lagi sekedar jargon belaka tetapi memang istilah itu muncul dari masyarakat Indonesia bahkan dunia secara luas. Orang-orang mengenal Bandung tidak hanya kota kuliner dan pariwisata, melainkan juga kota teknologi. Semua itu hendak diciptakan untuk mewujudkan masyarakat Bandung yang cerdas (knowledge-based society), yang dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia. 

 *dimuat di harian Pikiran Rakyat, 18 November 2015 (versi asli)

0 komentar: