Bandung kaya akan komunitas mulai dari seni, budaya, sampai komunitas bisnis
startup. Berkembangnya aneka komunitas sebagai salah satu pertanda bahwa warga
Bandung amat menyukai kebersamaan atau dalam istilah sunda keguyuban. Sebagai bukti, saat Persib menantang Sriwijaya FC di final piala Presiden beberapa
minggu lalu, keguyuban warga Bandung
sangat terasa. Di RW saya daerah Sekeloa Selatan diadakanlah nonton bareng oleh
warga setempat, begitu pula RW-RW di sekitar daerah kostan saya. Tak peduli
warga miskin maupun kaya, mereka berkumpul
dalam satu tempat untuk menyaksikan maung Bandung bertanding.
Dari sekian banyak komunitas di Bandung,
saya hanya akan menyoroti komunitas startup bisnis khususnya yang bergerak
dalam bidang teknologi. Para startup ini bergerak dalam berbagai macam domain
bisnis mulai dari IT, ecommerce,
fashion, seni, dan sebagainya yang umumnya skala mikro dan menengah. Para pelakunya
banyak dari golongan kaum muda jebolan universitas-universitas terkemuka dari
Bandung ataupun luar Bandung. Bahkan ada
perusahaan startup IT seperti Suitmedia yang sengaja membuka kantornya di
Bandung. Kota kembang ini disebut cocok untuk dijadikan lokasi kantor
perusahaan melihat secara geografis sangat mendukung dengan udaranya yang
relatif sejuk dan tidak sebising kota-kota besar lain seperti Jakarta.
Menghubungkan Komunitas
Salah satu tantangan bagi para startup
bisnis adalah inovasi. Bagaimana ia dapat lakukan terobosan dalam produk yang
dihasilkan maupun sistem bisnis yang dijalankan selama ini. Biasanya perusahaan
startup gulung tikar karena tidak menguasai hal tersebut yang akibatnya kalah
bersaing. Kemampuan inovasi setiap perusahaan tidaklah sama. Ini sangat
bergantung dengan kecepatannya belajar membaca pasar. Sumber-sumber
pembelajaran pun tak semua perusahaan startup miliki. Bandung memang memiliki
ITB sebagai kampus teknologi, namun kampus gajah ini tidak secara otomatis dijadikan
sumber pembelajaran perusahaan startup. ITB biapun memiliki Lembaga
Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) sebagai pusat inkubasi bisnis,
namun karena belum adanya kerjasama dengan Pemerintah kota Bandung, hubungan
erat antara kampus ini dan perusahaan startup belum terjadi.
Kota Bandung dalam periode Ridwan Kamil
berencana membangun semacam technopark di Gedebage. Pertanyaan besarnya,
hadirnya wadah berkumpulnya perusahaan teknologi tersebut untuk siapa. Apakah
untuk para perusahaan startup yang para pendirinya adalah banyak dari anak
bangsa sendiri khususnya anak muda, atau untuk para perusahaan asing. Saya kira
Pemkot yang baik pasti lebih mementingkan warganya tak melulu mengejar
pedapatan daerah. Dalam konteks ini, Pemda kota Bandung men-support warganya yang berkecimpung di
dunia bisnis startup untuk lebih dapat meningkatkan produk dan manajemen
bisnisnya sehingga siap hadapi persaingan global apalagi tak lama lagi akan ada
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jika memang keberpihakan Pemkot total untuk
warganya, maka saya akan kembali menyoroti urgensi pemilihan lokasi technopark.
Satu masalah krusial para pebisnis
startup adalah jejaring dengan kemudahan untuk spin-off dengan perusahaan lain. Masalahnya sekarang dalam pembentukan
jejaring mereka harus mencari sendiri. Tidak semua perusahaan memiliki jejaring
yang bagus dengan investor atau calon market. Katakan produk dari perusahaan A
sangat worthed, namun karena
kurangnya kemampuan membaca pasar akibatnya tak lama perusahaan tersebut gulung
tikar. Pemkot bisa masuk disitu dengan menginiasi suatu wadah untuk
menjembatani para startup berkolaborasi dan dapat menciptakan pasarnya sendiri.
Masalah krusial kedua adalah inovasi produk. Tidak semua perusahaan startup
mampu melakukan inovasi produk yang sesuai dengan kondisi pasar. Ini tak lain
karena jam terbang mereka belum banyak. Padahal kecepatan dan ketepatan inovasi
produk khususnya produk teknologi mutlak diperlukan karena persaingan biasanya
hadir di produk-produk dari luar negeri.
Technopark Berbasis Komunitas
Dua masalah krusial diatas seharusnya
dikaji secara mendalam oleh Pemkot Bandung sebelum mengaplikasikan gagasan
sebuah technopark. Artinya technopark yang ada nantinya merupakan jawaban dari berbagai
kebutuhan mendasar para perusahaan startup yang ada, bukan malah menjadi beban
baru bagi mereka. Pertama yang dapat dilakukan Pemkot adalah mengidentifikasi
berapa banyak komunitas yang bergerak di bisnis teknologi, mengadakan pertemuan
untuk menganalisis kebutuhan, baru kemudian mendirikan technopark. Jadi
berdirinya technopark ini berasal dari para perusahaan startup itu sendiri
dengan dimediasi oleh Pemkot. Dalam teknik pelaksanaannya, Pemkot bisa
melibatkan kampus-kampus ataupun lembaga-lembaga inovasi yang ada di kota
Bandung.
Selain itu, pemilihan lokasi technopark
pun atas persetujuan berbagai komunitas perusahaan startup. Dengan begitu
technopark yang ada nantinya bisa berlanjut di masa yang akan datang (sustainable). Pemkot Bandung bisa
mengikutsertakan kampus-kampus bidang teknologi dan juga lembaga inovasi lain
untuk membangun bersama-sama technopark. Lembaga-lembaga ini dapat menjadi
mentoring bidang inovasi produk atau marketing produk yang menjadi persoalan
dasar bagi para perusahaan startup sepeti penulis jelaskan di atas. Hadirnya
technopark diharapkan menjadi stimulus untuk berinovasi bagi para anggotanya (creative milieu) dan juga menjadi wahana
keguyuban bagi para perusahaan startup. Disana para perusahaan bisa saling
membantu menyelesaikan persoalan yang ada. Kekuatan informal itulah yang justru
menjadi roh penyemangat tersendiri bagi insan pelaku bisnis startup untuk dapat
meningkatkan kualitas perusahaan.
Dengan
kerjasama yang kuat antara Pemkot kota Bandung, para perusahaan startup, dan
juga lembaga pendidikan dan riset seperti kampus diharapkan akan muncul
kesadaran yang lebih luas akan pentingnya bisnis teknologi di kota Bandung.
Pada akhirnya, Bandung Silicon Valley, Bandung Digital Valley dan berbagai
istilah lain tentang Bandung tak lagi sekedar jargon belaka tetapi memang
istilah itu muncul dari masyarakat Indonesia bahkan dunia secara luas.
Orang-orang mengenal Bandung tidak hanya kota kuliner dan pariwisata, melainkan
juga kota teknologi. Semua itu hendak diciptakan untuk mewujudkan masyarakat
Bandung yang cerdas (knowledge-based
society), yang dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia.
*dimuat di harian Pikiran Rakyat, 18 November 2015 (versi asli)
0 komentar:
Post a Comment