Dalam minggu-minggu terakhir ini,
pembahasan tentang profesor mengemuka di harian KOMPAS. Pada 6 November 2015,
Agus Suwignyo menulis dengan judul "Menggugat Profesor". Seminggu
kemudian pada 11 November 2015, Terry Mart menulis dengan judul hampir sama "Menggugat
Kinerja Profesor", dan pada hari ini 14 November 2015, Hendra Gunawan
menulis dengan judul "Profesor untuk Apa?". Mereka semua adalah dosen
senior dari masing-masing kampusnya (UGM, UI, dan ITB), dan dua diantaranya
adalah guru besar. Saya menangkap inti dari ketiga tulisan itu adalah untuk
memperbaiki kualitas profesor di tanah air ini sehingga berimplikasi pada
meningkatnya kualitas lembaga akademik khususnya Perguruan Tinggi. Namun,
alangkah tidak adilnya jika kita memakai ketiga tulisan tersebut sebagai
satu-satunya landasan kita menilai kinerja profesor. Maka, sebagai seorang mahasiswa
yang pernah dan sedang dibimbing oleh profesor dalam tugas akhir dan tesis,
saya merasa punya peranan untuk menanggapi tentang kinerja profesor guna
pembaca mendapatkan perspektif yang berbeda.
Agus Suwignyo katakan bahwa banyak dari
profesor yang terjebak dalam hal-hal administratif yang mengganggu kegiatan
intinya untuk meneliti dan membimbing mahasiswa. Ia sodorkan solusi untuk
bagaimana dua mahasiswa pascasarjana yang dibimbingnya setiap tahun untuk
mempublikasikan karya ilmiahnya ke jurnal internasional disamping para profesor
ini melakukan hal serupa minimal sekali setahun. Pendapat senada disampaikan
Terry Mart hanya saja ia menambahi untuk menempatkan setiap profesor dalam
sebuah kelompok penelitian sebagai ketua di samping mengajar program
pascasarjana. Di sana para profesor ini diharapkan mampu menghasilkan produk riset
berdasarkan kriteria baku universitas kelas dunia. Solusi kedua yang
disampaikan Terry adalah memanfaatkan definisi profesor paripurna sesuai dengan
UU No 14/2005 tentang guru dan dosen. Sedangkan menurut Hendra Gunawan,
ketiadaan apresiasi di perguruan tinggi atas kinerja keilmuan para
akedemikusnya termasuk di dalamnya profesor menjadi satu hal yang perlu
disoroti tentang masalah mutu profesor. Ia kemudian mengutip pendapatan salah
satu pelopor Perguruan Tinggi, Kalapaking, bahwa baik buruknya mutu universitas
terutama bergantung pada pemilihan orang-orang yang dijadikan guru besar (baca
profesor).
Masalah Sistemik
Berbagai pendapat yang dilontarkan para
dosen di atas memang cukup bisa menjawab akan upaya meningkatkan kualitas
profesor. Namun, bagi saya itu belum cukup karena pada hakikatnya belum menjawab
persoalan inti persoalan Perguruan Tinggi. Secara fundamental, universitas di
Indonesia diselenggarakan untuk dapat mewujudkan tridharma perguruan Tinggi
yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat. Jika diperas lebih dalam, kampus didesain
untuk bagaimana para civitas akademikanya yang mencakup dosen dan juga
mahasiswa bergairah dalam belajar termasuk dididalamnya meneliti. Kampus berbeda
dengan sekolah yang hanya sekedar mengajar an
sich. Kampus memiliki tugas berat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atau
dalam istilah lain riset. Inilah jati diri dari sebuah perguruan tinggi.
Sekarang berapa banyak kampus yang
memiliki misi betul-betul sebagai Perguruan Tinggi Riset ? Saya katakan sangat
minim. Banyak kampus-kampus yang memiliki jargon World Class University, Research
University, Entrepreneurial
University, dan berbagai jargon lain yang bombastis, namun bagi saya itu
jargon kosong. Mengapa ? Karena jika dikejar lebih lanjut bagaimana upaya
merealisasikannya, tidak banyak yang bisa jelaskan. Ada yang menjawab dengan
bagaimana kampus-kampus ini berlomba-lomba mengirimkan karya-karya ilmiah di
berbagai jurnal berindeks seperti scopus, dan ada juga yang membuat lembaga
khusus untuk meningkatkan peringkat kampusnya di sistem peringkatan
internasional sepeti webomatics. Sementara itu kegiatan pendidikan di kelas dan
luar kelas tidak berbeda sama sekali, juga labolatorium yang dipakai sudah
berusia puluhan tahun. Saya pernah dapat cerita dari senior bahwa, ada dosen senior
yang memakai data lama yang sama sekali tidak akurat dan itu berulangkali
disodorkan ke mahasiswanya. Ini tak lain karena alat lab tidak memungkinkan
untuk dapatkan data baru. Ada lagi yang mengeluhkan akan semakin tidak idealya
proporsi antara dosen dan mahasiswa. Jumlah kelas tetap, namun setiap tahun
kampus dituntut Dikti (kini Kemenristekdikti) untuk menambah jumlah
mahasiswanya. Mahasiswa yang ditambah itu bukan mahasiswa magister atau
doktoral, namun justru mahasiswa sarjana. Bahkan menurut cerita dosen saya,
jumlah mahasiswa doktoral di ITB setiap tahunnya mengalami penurunan. Kondisi
di lapangan demikian yang membuat saya semakin yakin bahwa masalah peningkatan
kualitas perguruan Tinggi adalah masalah sistemik.
Jika masalah fundamental seperti yang
saya sebutkan diatas belum dapat diatasi oleh kampus lantas cukupkah kita
berharap dengan kinerja apik dari profesor ?. Saya katakan tidak.
Sehebat-hebatnya profesor dengan produktivitas tinggi dalam hal riset dan
disertai dengan riset-riset yang bermutu, namun jika budaya riset di kampus
lemah akibat masalah fundamental seperti lab maka upaya untuk meningkatkan
kualitas perguruan tinggi akan sia-sia. Pemeringkatan Perguruan Tinggi itu
adalah akibat dari bagusnya manajemen Perguruan Tinggi khususnya dalam hal
riset. Bukan itu yang dikejar melainkan hal yang lebih fundamental yakni budaya
ilmiah (riset) itu sendiri. Kita tidak dapat menggantungkan Perguran Tinggi
hanya pada profesornya.
Membuat Arah Riset
Budaya ilmiah khususnya riset di lembaga
pendidikan tinggi khususnya universitas ternyata belum baik. Banyak kampus yang
hanya melakukan formalitas mengajar semata. Banyak juga yang melakukan riset
namun melakukannya sebatas untuk mememuhi syarat kelulusan. Inilah hal
fundamental yang harus diatasi oleh masing-masing kampus dan juga Kemenristekdikti.
Khusus untuk Kemenristekdikti, seharusnya membuat manajemen riset yang apik dari
berbagai lembaga penelitian seperti Perguruan Tinggi, LIPI, dan lain
sebagainya. Peran dari masing-masing lembaga tersebut seringkali tidak jelas.
Ada lembaga yang meriset tentang A, lembaga yang lain juga tentang A dan
ironisnya hasilnya juga sama. Lantas jika ini terjadi di banyak sekali
penelitian, bukannya penelitian tersebut akan mubazir ?.
Manajemen riset yang dimaksud membuat
arahan riset secara makro. Di bidang-bidang mana lembaga penelitian Indonesia
dapat leading dibandingkan dengan
negara-negara lain. Selanjutnya ditentukan peran masing-masing lembaga terkait
riset. Sebagai contoh LIPI bertugas memonitoring perkembangan riset lembaga
riset lain dan menjadi rujukan jika terjadi ketidakberesan dalam menjalankan riset
seperti yang dilakukan LIPI-ya Jepang. Langkah lain yang krusial untuk dapat
dilakukan adalah membuat bank data riset satu pintu. Dari sini kita dapat
mengetahui akan karya-karya ilmiah dari semua lembaga riset yang ada Indonesia.
Langkah ini juga bisa membantu mereduksi plagiasi yangs sering terjadi
akhir-akhir ini.
*dimuat pertama kali di selasar(dot)com
0 komentar:
Post a Comment