Tuesday, November 17, 2015

Tentang Profesor

Dalam minggu-minggu terakhir ini, pembahasan tentang profesor mengemuka di harian KOMPAS. Pada 6 November 2015, Agus Suwignyo menulis dengan judul "Menggugat Profesor". Seminggu kemudian pada 11 November 2015, Terry Mart menulis dengan judul hampir sama "Menggugat Kinerja Profesor", dan pada hari ini 14 November 2015, Hendra Gunawan menulis dengan judul "Profesor untuk Apa?". Mereka semua adalah dosen senior dari masing-masing kampusnya (UGM, UI, dan ITB), dan dua diantaranya adalah guru besar. Saya menangkap inti dari ketiga tulisan itu adalah untuk memperbaiki kualitas profesor di tanah air ini sehingga berimplikasi pada meningkatnya kualitas lembaga akademik khususnya Perguruan Tinggi. Namun, alangkah tidak adilnya jika kita memakai ketiga tulisan tersebut sebagai satu-satunya landasan kita menilai kinerja profesor. Maka, sebagai seorang mahasiswa yang pernah dan sedang dibimbing oleh profesor dalam tugas akhir dan tesis, saya merasa punya peranan untuk menanggapi tentang kinerja profesor guna pembaca mendapatkan perspektif yang berbeda.



Agus Suwignyo katakan bahwa banyak dari profesor yang terjebak dalam hal-hal administratif yang mengganggu kegiatan intinya untuk meneliti dan membimbing mahasiswa. Ia sodorkan solusi untuk bagaimana dua mahasiswa pascasarjana yang dibimbingnya setiap tahun untuk mempublikasikan karya ilmiahnya ke jurnal internasional disamping para profesor ini melakukan hal serupa minimal sekali setahun. Pendapat senada disampaikan Terry Mart hanya saja ia menambahi untuk menempatkan setiap profesor dalam sebuah kelompok penelitian sebagai ketua di samping mengajar program pascasarjana. Di sana para profesor ini diharapkan mampu menghasilkan produk riset berdasarkan kriteria baku universitas kelas dunia. Solusi kedua yang disampaikan Terry adalah memanfaatkan definisi profesor paripurna sesuai dengan UU No 14/2005 tentang guru dan dosen. Sedangkan menurut Hendra Gunawan, ketiadaan apresiasi di perguruan tinggi atas kinerja keilmuan para akedemikusnya termasuk di dalamnya profesor menjadi satu hal yang perlu disoroti tentang masalah mutu profesor. Ia kemudian mengutip pendapatan salah satu pelopor Perguruan Tinggi, Kalapaking, bahwa baik buruknya mutu universitas terutama bergantung pada pemilihan orang-orang yang dijadikan guru besar (baca profesor).

Masalah Sistemik

Berbagai pendapat yang dilontarkan para dosen di atas memang cukup bisa menjawab akan upaya meningkatkan kualitas profesor. Namun, bagi saya itu belum cukup karena pada hakikatnya belum menjawab persoalan inti persoalan Perguruan Tinggi. Secara fundamental, universitas di Indonesia diselenggarakan untuk dapat mewujudkan tridharma perguruan Tinggi yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat.  Jika diperas lebih dalam, kampus didesain untuk bagaimana para civitas akademikanya yang mencakup dosen dan juga mahasiswa bergairah dalam belajar termasuk dididalamnya meneliti. Kampus berbeda dengan sekolah yang hanya sekedar mengajar an sich. Kampus memiliki tugas berat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atau dalam istilah lain riset. Inilah jati diri dari sebuah perguruan tinggi.

Sekarang berapa banyak kampus yang memiliki misi betul-betul sebagai Perguruan Tinggi Riset ? Saya katakan sangat minim. Banyak kampus-kampus yang memiliki jargon World Class University, Research University, Entrepreneurial University, dan berbagai jargon lain yang bombastis, namun bagi saya itu jargon kosong. Mengapa ? Karena jika dikejar lebih lanjut bagaimana upaya merealisasikannya, tidak banyak yang bisa jelaskan. Ada yang menjawab dengan bagaimana kampus-kampus ini berlomba-lomba mengirimkan karya-karya ilmiah di berbagai jurnal berindeks seperti scopus, dan ada juga yang membuat lembaga khusus untuk meningkatkan peringkat kampusnya di sistem peringkatan internasional sepeti webomatics. Sementara itu kegiatan pendidikan di kelas dan luar kelas tidak berbeda sama sekali, juga labolatorium yang dipakai sudah berusia puluhan tahun. Saya pernah dapat cerita dari senior bahwa, ada dosen senior yang memakai data lama yang sama sekali tidak akurat dan itu berulangkali disodorkan ke mahasiswanya. Ini tak lain karena alat lab tidak memungkinkan untuk dapatkan data baru. Ada lagi yang mengeluhkan akan semakin tidak idealya proporsi antara dosen dan mahasiswa. Jumlah kelas tetap, namun setiap tahun kampus dituntut Dikti (kini Kemenristekdikti) untuk menambah jumlah mahasiswanya. Mahasiswa yang ditambah itu bukan mahasiswa magister atau doktoral, namun justru mahasiswa sarjana. Bahkan menurut cerita dosen saya, jumlah mahasiswa doktoral di ITB setiap tahunnya mengalami penurunan. Kondisi di lapangan demikian yang membuat saya semakin yakin bahwa masalah peningkatan kualitas perguruan Tinggi adalah masalah sistemik.

Jika masalah fundamental seperti yang saya sebutkan diatas belum dapat diatasi oleh kampus lantas cukupkah kita berharap dengan kinerja apik dari profesor ?. Saya katakan tidak. Sehebat-hebatnya profesor dengan produktivitas tinggi dalam hal riset dan disertai dengan riset-riset yang bermutu, namun jika budaya riset di kampus lemah akibat masalah fundamental seperti lab maka upaya untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi akan sia-sia. Pemeringkatan Perguruan Tinggi itu adalah akibat dari bagusnya manajemen Perguruan Tinggi khususnya dalam hal riset. Bukan itu yang dikejar melainkan hal yang lebih fundamental yakni budaya ilmiah (riset) itu sendiri. Kita tidak dapat menggantungkan Perguran Tinggi hanya pada profesornya.

Membuat Arah Riset

Budaya ilmiah khususnya riset di lembaga pendidikan tinggi khususnya universitas ternyata belum baik. Banyak kampus yang hanya melakukan formalitas mengajar semata. Banyak juga yang melakukan riset namun melakukannya sebatas untuk mememuhi syarat kelulusan. Inilah hal fundamental yang harus diatasi oleh masing-masing kampus dan juga Kemenristekdikti. Khusus untuk Kemenristekdikti, seharusnya membuat manajemen riset yang apik dari berbagai lembaga penelitian seperti Perguruan Tinggi, LIPI, dan lain sebagainya. Peran dari masing-masing lembaga tersebut seringkali tidak jelas. Ada lembaga yang meriset tentang A, lembaga yang lain juga tentang A dan ironisnya hasilnya juga sama. Lantas jika ini terjadi di banyak sekali penelitian, bukannya penelitian tersebut akan mubazir ?.

Manajemen riset yang dimaksud membuat arahan riset secara makro. Di bidang-bidang mana lembaga penelitian Indonesia dapat leading dibandingkan dengan negara-negara lain. Selanjutnya ditentukan peran masing-masing lembaga terkait riset. Sebagai contoh LIPI bertugas memonitoring perkembangan riset lembaga riset lain dan menjadi rujukan jika terjadi ketidakberesan dalam menjalankan riset seperti yang dilakukan LIPI-ya Jepang. Langkah lain yang krusial untuk dapat dilakukan adalah membuat bank data riset satu pintu. Dari sini kita dapat mengetahui akan karya-karya ilmiah dari semua lembaga riset yang ada Indonesia. Langkah ini juga bisa membantu mereduksi plagiasi yangs sering terjadi akhir-akhir ini.

*dimuat pertama kali di selasar(dot)com

0 komentar: