Friday, December 25, 2015

Antara Jurusan dan Program Studi

Saya dengar dari salah satu mantan dosen di ITB bahwa basis pendidikan di ITB dulu adalah jurusan, bukan program studi (prodi) seperti sekarang. Perbedaannya sangat signifikan yang dampaknya juga sangat besar ternyata bagi proses pendidikan ITB di tahun-tahun selanjutnya.

Adalah Joko Santoso rektor ITB saat itu yang ingin menjadikan ITB lebih terintegrasi. Adanya jurusan dinilai sebagai penghambat dalam upaya pengintegrasian itu. Maka dibuatlah kebijakan dimana  fakultas memegang kendali akan prodi-prodi. Prodi-prodi inilah yang pada akhirnya menggantikan jurusan-jurusan yang ada. Tak hanya nomenklatur yang berubah, melainkan juga berbeda pula kewenangan yang dimilikinya. Sebagai dampak, dulu jurusan memiliki kewenangan besar atas anggaran jurusan, pengangkatan dosen, kebijakan akademik, dan berbagai penunjang kualitas akademik lain, namun sekarang tidak lagi. Sekarang, prodi kewenangannya hanya sebatas administratif sehingga tak salah ketua prodi adalah dosen-dosen muda dengan pengalaman yang relatif terbatas.

KK Sebagai Raja-Raja Kecil

Kewenangan yang terbatas pada Prodi inilah yang membuat pengembangan keilmuan menjadi tersendat. Betapa tidak, dulu jurusan memikirkan betul apa yang dibutuhkan oleh jurusan itu sendiri khususnya dalam kualitas jurusan itu, sementara sekarang siapa yang memikirkan itu, fakultas kah ? Jelas sulit. Dekan berasal dari salah satu prodi di fakultas dan pastinya Ia tidak begitu faham dengan apa yang dibutuhkan prodi-prodi lain. Birokrasi dari Prodi ke Fakultas tak mulus seperti yang dibayangkan. Saya pernah diterima di konferensi internasional di Dubai beberapa waktu lalu, kemudian saya ajukan proposal ke Prodi. Namun ternyata dana baru akan cari menjelang hari-H keberangkatan. Keterlambatan ini membuat saya batal ikut konferensi. Jika kasus saya adalah keikutsertaan pada konferensi non-akademik, maka bagaimana dengan nasib mahasiswa yang akan konferensi untuk mempresentasikan Tugas Akhir/Tesis/Disertasi-nya ? Sama. Bahkan saya pernah dapat cerita dari senior, bahwa keikutsertaan Ia dalam konferesi di Malaysia ditomboki dosen pembimbingnya !

Kerena dulu kekuatan ada pada jurusan, maka persaingan program, proposal, dan sebagainya ada pada level jurusan. Sekarang, fakultas. Jelas lebih sulit dan ribet. Bayangkan saja jika dalam satu fakultas ada empat program studi seperti FMIPA, belum lagi ditambah S2, S3, betapa sulitnya. Keribetan inilah yang menjadi cikal bakal pengembangan prodi menjadi tidak berjalan dengan baik. Pengembangan mencakup publikasi jurnal/konferensi internasional seperti yang saya singgung di muka, infrastruktur program studi seperti buku, himpunan mahasiswa, dan berbagai kegiatan keilmuan seperti diskusi ilmiah, kompetisi mahasiswa, dan sebagainya. Khusus untuk kegiatan mahasiswa, seharusnya para dosen ikutserta secara aktif di dalamnya untuk menjadikan mahasiswanya semakin senang dalam berkeilmuan, tidak seperti sekarang yang seolah berjalan sendiri-sendiri. Saya terkadang sedih mahasiswa yang relatif brilian namun hanya diperlakukan biasa saja, sebagiannya ada yang lurus namun ada juga yang belok dengan hanya mengikuti arus seperti lulus-kerja, padahal mereka punya potensi besar untuk kembangkan ilmu di masa depan. Ini tugas dosen untuk memberikan support kepada mereka.

Dalam lingkup jurusan, meredupnya program studi berbanding terbalik dengan Kelompok Keahlian (KK). KK memiliki peranan kuat dalam pengembangan keilmuan namun terbatas dalam lingkupnya saja, bagaimana grup KK ini berkembang. Lantas apakah KK satu akan memikirkan KK lain ? Jelas tidak. Terkadang bahkan munculnya KK timbulkan gap dan persaingan yang tidak sehat. Prodi seolah terpecah dan tercerai berai, padahal kuliah itu pada prodi bukan KK. Ketidakintegrasian antarKK membuat arogansi muncul yang akibatnya ada KK yang menonjol, ada pula yang meredup. KK menjadi Raja-Raja kecil dengan kewenangannya masing-masing. Akibatnya, upaya pengembangan prodi sebagai satu kesatuan menjadi tersendat-sendat.

Kembali ke Jurusan

Di tengah birokrasi ke fakultas yang cenderung ribet dimana menjadi sumber melambatnya pengembangan keilmuan di ITB, maka wacana pengembalian kewenangan jurusan dianggap perlu. Dulu kekuatan ITB ada di jurusannya yang kuat, sebagai contoh jurusan Sipil. Kini dengan kekuatan tersentral pada fakultas, kewenangan prodi dipukul rata. Prodi yang menonjol disuruh untuk menurunkan 'kualitas'nya untuk mengimbangi Prodi lain. Inilah yang membuat kekhasan kampus ITB lambat-laun tidak ada. Tidak mungkin ITB terkenal dengan semua jurusannnya yang menonjol. Pasti hanya sebagian jurusan saja. Lihat aja kampus lain di luar negeri.

Atas dasar kualitas pengembangan keilmuan, maka rektorat perlu untuk mengkaji wacana pengembalian wewenang jurusan. Jangan sampai karena birokrasi yang berbelit-belit, mahasiswa dan dosen semakin malas ikutserta mengembangkan ilmu. Jika tidak ada pengembangan ilmu, lantas apa yang dibanggakan dari kampus ITB?.

2 komentar:

@andrysatrio said...

Saya rasa hal ini tidak hanya dirasakan oleh ITB, di Unpar pun demikian. Salah satu alasan mengenai wewenang diserahkan kepada Fakultas mungkin untuk melihat proses pengawasan yang terintegrasi, selain itu juga menekan jurusan favorit/dikenal hebat dan meningkatkan jurusan yang tidak populer. Ya, kuncinya di Fakultas.

Uruqul Nadhif Dzakiy said...

berfikir positifnya begitu Ndri. Aku hanya men-share pemikiran mantan dosen. Heu