Saya
dengar dari salah satu mantan dosen di ITB bahwa basis pendidikan di ITB dulu
adalah jurusan, bukan program studi (prodi) seperti sekarang. Perbedaannya
sangat signifikan yang dampaknya juga sangat besar ternyata bagi proses
pendidikan ITB di tahun-tahun selanjutnya.
Adalah
Joko Santoso rektor ITB saat itu yang ingin menjadikan ITB lebih terintegrasi.
Adanya jurusan dinilai sebagai penghambat dalam upaya pengintegrasian itu. Maka
dibuatlah kebijakan dimana fakultas
memegang kendali akan prodi-prodi. Prodi-prodi inilah yang pada akhirnya
menggantikan jurusan-jurusan yang ada. Tak hanya nomenklatur yang berubah,
melainkan juga berbeda pula kewenangan yang dimilikinya. Sebagai dampak, dulu
jurusan memiliki kewenangan besar atas anggaran jurusan, pengangkatan dosen,
kebijakan akademik, dan berbagai penunjang kualitas akademik lain, namun sekarang
tidak lagi. Sekarang, prodi kewenangannya hanya sebatas administratif sehingga
tak salah ketua prodi adalah dosen-dosen muda dengan pengalaman yang relatif
terbatas.
KK
Sebagai Raja-Raja Kecil
Kewenangan
yang terbatas pada Prodi inilah yang membuat pengembangan keilmuan menjadi
tersendat. Betapa tidak, dulu jurusan memikirkan betul apa yang dibutuhkan oleh
jurusan itu sendiri khususnya dalam kualitas jurusan itu, sementara sekarang
siapa yang memikirkan itu, fakultas kah ? Jelas sulit. Dekan berasal dari salah
satu prodi di fakultas dan pastinya Ia tidak begitu faham dengan apa yang dibutuhkan
prodi-prodi lain. Birokrasi dari Prodi ke Fakultas tak mulus seperti yang
dibayangkan. Saya pernah diterima di konferensi internasional di Dubai beberapa
waktu lalu, kemudian saya ajukan proposal ke Prodi. Namun ternyata dana baru
akan cari menjelang hari-H keberangkatan. Keterlambatan ini membuat saya batal
ikut konferensi. Jika kasus saya adalah keikutsertaan pada konferensi
non-akademik, maka bagaimana dengan nasib mahasiswa yang akan konferensi untuk
mempresentasikan Tugas Akhir/Tesis/Disertasi-nya ? Sama. Bahkan saya pernah
dapat cerita dari senior, bahwa keikutsertaan Ia dalam konferesi di Malaysia
ditomboki dosen pembimbingnya !
Kerena
dulu kekuatan ada pada jurusan, maka persaingan program, proposal, dan
sebagainya ada pada level jurusan. Sekarang, fakultas. Jelas lebih sulit dan
ribet. Bayangkan saja jika dalam satu fakultas ada empat program studi seperti
FMIPA, belum lagi ditambah S2, S3, betapa sulitnya. Keribetan inilah yang
menjadi cikal bakal pengembangan prodi menjadi tidak berjalan dengan baik.
Pengembangan mencakup publikasi jurnal/konferensi internasional seperti yang
saya singgung di muka, infrastruktur program studi seperti buku, himpunan
mahasiswa, dan berbagai kegiatan keilmuan seperti diskusi ilmiah, kompetisi
mahasiswa, dan sebagainya. Khusus untuk kegiatan mahasiswa, seharusnya para
dosen ikutserta secara aktif di dalamnya untuk menjadikan mahasiswanya semakin
senang dalam berkeilmuan, tidak seperti sekarang yang seolah berjalan sendiri-sendiri.
Saya terkadang sedih mahasiswa yang relatif brilian namun hanya diperlakukan
biasa saja, sebagiannya ada yang lurus namun ada juga yang belok dengan hanya
mengikuti arus seperti lulus-kerja, padahal mereka punya potensi besar untuk
kembangkan ilmu di masa depan. Ini tugas dosen untuk memberikan support kepada mereka.
Dalam
lingkup jurusan, meredupnya program studi berbanding terbalik dengan Kelompok
Keahlian (KK). KK memiliki peranan kuat dalam pengembangan keilmuan namun
terbatas dalam lingkupnya saja, bagaimana grup KK ini berkembang. Lantas apakah
KK satu akan memikirkan KK lain ? Jelas tidak. Terkadang bahkan munculnya KK
timbulkan gap dan persaingan yang
tidak sehat. Prodi seolah terpecah dan tercerai berai, padahal kuliah itu pada prodi
bukan KK. Ketidakintegrasian antarKK membuat arogansi muncul yang akibatnya ada
KK yang menonjol, ada pula yang meredup. KK menjadi Raja-Raja kecil dengan
kewenangannya masing-masing. Akibatnya, upaya pengembangan prodi sebagai satu
kesatuan menjadi tersendat-sendat.
Kembali
ke Jurusan
Di
tengah birokrasi ke fakultas yang cenderung ribet dimana menjadi sumber
melambatnya pengembangan keilmuan di ITB, maka wacana pengembalian kewenangan
jurusan dianggap perlu. Dulu kekuatan ITB ada di jurusannya yang kuat, sebagai
contoh jurusan Sipil. Kini dengan kekuatan tersentral pada fakultas, kewenangan
prodi dipukul rata. Prodi yang menonjol disuruh untuk menurunkan 'kualitas'nya
untuk mengimbangi Prodi lain. Inilah yang membuat kekhasan kampus ITB
lambat-laun tidak ada. Tidak mungkin ITB terkenal dengan semua jurusannnya yang
menonjol. Pasti hanya sebagian jurusan saja. Lihat aja kampus lain di luar
negeri.
Atas
dasar kualitas pengembangan keilmuan, maka rektorat perlu untuk mengkaji wacana
pengembalian wewenang jurusan. Jangan sampai karena birokrasi yang
berbelit-belit, mahasiswa dan dosen semakin malas ikutserta mengembangkan ilmu.
Jika tidak ada pengembangan ilmu, lantas apa yang dibanggakan dari kampus ITB?.
2 komentar:
Saya rasa hal ini tidak hanya dirasakan oleh ITB, di Unpar pun demikian. Salah satu alasan mengenai wewenang diserahkan kepada Fakultas mungkin untuk melihat proses pengawasan yang terintegrasi, selain itu juga menekan jurusan favorit/dikenal hebat dan meningkatkan jurusan yang tidak populer. Ya, kuncinya di Fakultas.
berfikir positifnya begitu Ndri. Aku hanya men-share pemikiran mantan dosen. Heu
Post a Comment