Monday, January 25, 2016

Meneguhkan Kembali Gerakan Mahasiswa

Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy, Pemimpin Umum Pers Mahasiswa “Majalah Ganesha” Institut Teknologi Bandung 2011-2012

Belum lama ini dunia akademik digemparkan dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Ketua BEM UNJ Nomor 1/SP/2016 atas tindakannya mengkritik kebijakan Rektor melalui jejaring sosial. Kasus ini menjadi viral dan cukup menyedot antusiasme publik baik pro maupun kontra. Ujung cerita dari kasus ini adalah jalur damai antara Rektor dan mahasiswa tersebut sehari setelah SK dikeluarkan. Sang mahasiswa dapat kembali belajar di kampus seperti sedia kala.

Jika dipermasalahkan siapa yang salah ; mahasiswa ataukah Rektor, menurut saya kedua-duanya sama-sama salah. Dari segi hukum, mengutarakan kritik di jejaring sosial rawan terkena pasal UU ITE dimana didalamnya banyak didapati pasal karet. Dalam segi moral, mahasiswa merupakan kekuatan moral itu sendiri apalagi yang melakukan adalah pucuk pimpinan mahasiswa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mengkritik kebijakan Rektor dengan mencatut namanya di jejaring sosial adalah bentuk penyelewengan terhadap moral. Maka dari sinilah saya mengkritisi kepada pihak-pihak yang mendukung tindakan Ronny misalnya dengan tagar #SaveRonny atau dengan membuat petisi di change.org, apakah melakukan hal itu dengan sadar atau justru hanya sekedar wujud simpatisme belaka tanpa faham bahwa yang dilakukan Ronny juga salah.

Sedangkan apa yang dilakukan Rektor UNJ juga tidak patut. Di tengah arus informasi yang sangat deras, tindakan pemberhentian mahasiswa secara sepihak atas dugaan perbuatan kejahatan berbasis teknologi, penghasutan, dan pencemaran nama baik akan mudah sekali tersebar dalam hitungan detik ke jejaring sosial. Biarpun secara peraturan kampus, mahasiswa tersebut harus dikeluarkan, namun berdasarkan hakikat universitas itu sendiri, kampus adalah tempat untuk bertanya dan harus ada jawabnya seperti yang terukir dalam monumen Plaza Widya Nusantara di ITB. Jadi sikap pemberian sanksi secara cuma-cuma adalah tindakan yang secara moral keliru. Seharusnya mahasiswa seperti itu diemong dan dididik agar melakukannya dengan cara yang elegan seperti melalui menulis di media cetak yang ada di kampus.

Ketidakjelasan Posisi Mahasiswa

Familier di telinga mahasiswa baru bahwa mahasiswa memiliki tiga fungsi ; manusia tangguh (iron stock), penjaga nilai-nilai di masyarakat (guardian of value), dan agen perubahan (agent of change). Ketiga fungsi ini diindoktrinasi oleh para pengkader saat penyambutan mahasiswa baru untuk diaktualisasikan selama studi di kampus. Mahasiswa dikatakan sebagai kaum cendekiawan (intelektual) dan menjadi corong untuk menjembatani suara-suara marginal dari rakyat Indonesia kepada para penguasa. Menurut Edward Shils (1972) kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran ; mencari prinsip-prinsip yang terkandung dalam kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan, atau dalam proses penjalinan hubungan antara pribadi (the self) dan hakekat (the essential), baik hubungan yang bercorak pengenalan (cognitive) penilaian (appreciative) atau pun pengutaraan (expressive). Sedangkan Menurut Julien Benda (1928) cendekiawan seharusnya adalah orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Cendekiawan adalah orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika ; singkatnya dalam hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan, dan dengan demikian dalam arti tertentu, bisa mengatakan bahwa : Kerajaanku bukanlah di dunia ini. 

Arief Budiman dalam tulisannya di Prisma edisi 1 November 1976 memaparkan bahwa mahasiswa adakalanya berperan sebagai resi. Resi menurutnya adalah seorang yang hidup dalam gua-gua atau lereng-lereng gunung yang terpencil untuk menumbuhkan kemampuan mengetahui apa yang bakal terjadi, mempelajari rahasia jagad raya dan mempersiapkan diri menghadapi mati. Peran mereka yang khas adalah meramalkan kebobrokan serta memberi peringatan bahwa kerajaan akan runtuh. Seorang resi ini tidak memiliki kepentingan duniawi, maka jika seorang penguasa sampai menyiksa seorang suci serupa itu atau bahkan sampai menitahkan hukuman mati terhadapnya, akibatnya rakyat akan melihat bahwa sang penguasa telah dikuasai oleh nafsu pribadi. Pemisalan mahasiswa sebagai seorang resi adalah bahwa gerakan yang dilakukan mahasiswa didasari moralitas yang dianutnya sebagai insan akademis bukan didasari atas ambisi kekuasaan yang bersifat politis.

Di era informasi seperti sekarang, mahasiswa yang umumnya dipelopori oleh aktivis mahasiswa yang bergerak di BEM sulit ditebak apakah mereka bertindak sebagai resi yang memiliki nilai-nilai kecendekiawanan atau justru mereka adalah agen partai politik tertentu. Kebingungan ini saya dapati setelah saya aktif dunia kemahasiswaan pada rentang 2009-2014. Pada saat itu saya seringkali berinteraksi dengan banyak pemimpin organisasi kemahasiswaan dari beberapa universitas ternama di tanah air. Saya juga beberapa kali mengikuti aksi turun ke jalan atau berdiskusi seputar persoalan bangsa dan juga terkait gerakan mahasiswa itu sendiri. Kesimpulan yang saya dapatkan adalah bahwa umumnya gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa bersifat pragmatis nan politis, tidak terlihat apa nilai yang diperjuangkan. Jauhnya jarak antara mahasiswa dengan entitas yang diperjuangkan yakni rakyat miskin dan kaum tertindas adalah salah satu sebab. Hal ini menjadi wajar bahwa ketika mahasiswa melakukan demonstrasi, rakyat seolah tidak terwakili, bahkan ada sebagian rakyat yang justru mengecam aksi mahasiswa tersebut.

Reorientasi Gerakan

Kasus yang menimpa Ketua BEM UNJ seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi segenap aktivis mahasiswa untuk intropeksi diri apakah sejatinya gerakan yang dilakukan merupakan murni gerakan moral yang dijiwai dengan nilai kecendekiawanan (intelektualitas) atau justru sekedar gerakan politis yang kosong makna. Selanjutnya baru kemudian menentukan bentuk gerakan yang relevan sesuai zaman saat ini. Ada yang mengatakan era saat ini merupakan zaman postmodernisme dimana wujud gerakan bisa bermacam-macam, tidak melulu demonstrasi turun ke jalan. Saya kira fikiran itu lumrah selama tetap dalam bingkai kekuatan moral yang menjadi senjata mahasiswa dalam melangkah.

Gerakan mahasiswa memang harus disesuaikan dengan zamannya. Justru keliru jika mahasiswa saat ini seringkali mengagung-agungkan kejayaan mahasiswa di masa lalu lantas meniru model gerakannya di masa sekarang. Mahasiswa terlebih aktivis mahasiswa harus mampu menangkap arah zaman sehingga diakui kehadirannya oleh masyarakat luas. Jangan sampai dengan kemudahan arus informasi justru menjadikan para aktivis mahasiswa enggan untuk berdialektika seputar persoalan bangsa. Nilai intelektualitas para aktivis menjadi tumpul akibat sering berjejaring sosial. Dikhawatirkan Halili dalam Kompas (12/1/2016) bahwa seringkali bermedia sosial dapat memancing tumbuhnya watak instan dalam diri mahasiswa. Jika watak instan menjadi perilaku dari para aktivis mahasiswa, pastaskah mahasiswa disebut seorang resi yang berjuang atas nama rakyat ?.

0 komentar: