Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy, Pemimpin
Umum Pers Mahasiswa “Majalah Ganesha” Institut Teknologi Bandung 2011-2012
Belum lama ini dunia akademik
digemparkan dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Ketua BEM UNJ Nomor
1/SP/2016 atas tindakannya mengkritik kebijakan Rektor melalui jejaring sosial.
Kasus ini menjadi viral dan cukup menyedot antusiasme publik baik pro maupun
kontra. Ujung cerita dari kasus ini adalah jalur damai antara Rektor dan
mahasiswa tersebut sehari setelah SK dikeluarkan. Sang mahasiswa dapat kembali
belajar di kampus seperti sedia kala.
Jika dipermasalahkan siapa yang salah ;
mahasiswa ataukah Rektor, menurut saya kedua-duanya sama-sama salah. Dari segi
hukum, mengutarakan kritik di jejaring sosial rawan terkena pasal UU ITE dimana
didalamnya banyak didapati pasal karet. Dalam segi moral, mahasiswa merupakan
kekuatan moral itu sendiri apalagi yang melakukan adalah pucuk pimpinan
mahasiswa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mengkritik kebijakan Rektor
dengan mencatut namanya di jejaring sosial adalah bentuk penyelewengan terhadap
moral. Maka dari sinilah saya mengkritisi kepada pihak-pihak yang mendukung tindakan
Ronny misalnya dengan tagar #SaveRonny atau dengan membuat petisi di change.org,
apakah melakukan hal itu dengan sadar atau justru hanya sekedar wujud
simpatisme belaka tanpa faham bahwa yang dilakukan Ronny juga salah.
Sedangkan apa yang dilakukan Rektor UNJ
juga tidak patut. Di tengah arus informasi yang sangat deras, tindakan
pemberhentian mahasiswa secara sepihak atas dugaan perbuatan kejahatan berbasis
teknologi, penghasutan, dan pencemaran nama baik akan mudah sekali tersebar
dalam hitungan detik ke jejaring sosial. Biarpun secara peraturan kampus,
mahasiswa tersebut harus dikeluarkan, namun berdasarkan hakikat universitas itu
sendiri, kampus adalah tempat untuk bertanya dan harus ada jawabnya seperti yang
terukir dalam monumen Plaza Widya Nusantara di ITB. Jadi sikap pemberian sanksi
secara cuma-cuma adalah tindakan yang secara moral keliru. Seharusnya mahasiswa
seperti itu diemong dan dididik agar melakukannya dengan cara yang elegan
seperti melalui menulis di media cetak yang ada di kampus.
Ketidakjelasan Posisi Mahasiswa
Familier di telinga mahasiswa baru bahwa
mahasiswa memiliki tiga fungsi ; manusia tangguh (iron stock), penjaga nilai-nilai di masyarakat (guardian of value), dan agen perubahan (agent of change). Ketiga fungsi ini
diindoktrinasi oleh para pengkader saat penyambutan mahasiswa baru untuk diaktualisasikan
selama studi di kampus. Mahasiswa dikatakan sebagai kaum cendekiawan
(intelektual) dan menjadi corong untuk menjembatani suara-suara marginal dari
rakyat Indonesia kepada para penguasa. Menurut Edward Shils (1972) kaum
cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran ; mencari prinsip-prinsip
yang terkandung dalam kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan, atau dalam
proses penjalinan hubungan antara pribadi (the
self) dan hakekat (the essential),
baik hubungan yang bercorak pengenalan (cognitive)
penilaian (appreciative) atau pun
pengutaraan (expressive). Sedangkan
Menurut Julien Benda (1928) cendekiawan seharusnya adalah orang-orang yang
kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Cendekiawan adalah
orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau
teka-teki metafisika ; singkatnya dalam hal-hal yang tidak menghasilkan
keuntungan kebendaan, dan dengan demikian dalam arti tertentu, bisa mengatakan
bahwa : Kerajaanku bukanlah di dunia ini.
Arief Budiman dalam tulisannya di Prisma
edisi 1 November 1976 memaparkan bahwa mahasiswa adakalanya berperan sebagai
resi. Resi menurutnya adalah seorang yang hidup dalam gua-gua atau
lereng-lereng gunung yang terpencil untuk menumbuhkan kemampuan mengetahui apa
yang bakal terjadi, mempelajari rahasia jagad raya dan mempersiapkan diri
menghadapi mati. Peran mereka yang khas adalah meramalkan kebobrokan serta
memberi peringatan bahwa kerajaan akan runtuh. Seorang resi ini tidak memiliki
kepentingan duniawi, maka jika seorang penguasa sampai menyiksa seorang suci
serupa itu atau bahkan sampai menitahkan hukuman mati terhadapnya, akibatnya
rakyat akan melihat bahwa sang penguasa telah dikuasai oleh nafsu pribadi.
Pemisalan mahasiswa sebagai seorang resi adalah bahwa gerakan yang dilakukan
mahasiswa didasari moralitas yang dianutnya sebagai insan akademis bukan
didasari atas ambisi kekuasaan yang bersifat politis.
Di era informasi seperti sekarang,
mahasiswa yang umumnya dipelopori oleh aktivis mahasiswa yang bergerak di BEM
sulit ditebak apakah mereka bertindak sebagai resi yang memiliki nilai-nilai
kecendekiawanan atau justru mereka adalah agen partai politik tertentu.
Kebingungan ini saya dapati setelah saya aktif dunia kemahasiswaan pada rentang
2009-2014. Pada saat itu saya seringkali berinteraksi dengan banyak pemimpin
organisasi kemahasiswaan dari beberapa universitas ternama di tanah air. Saya
juga beberapa kali mengikuti aksi turun ke jalan atau berdiskusi seputar
persoalan bangsa dan juga terkait gerakan mahasiswa itu sendiri. Kesimpulan
yang saya dapatkan adalah bahwa umumnya gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa
bersifat pragmatis nan politis, tidak terlihat apa nilai yang diperjuangkan.
Jauhnya jarak antara mahasiswa dengan entitas yang diperjuangkan yakni rakyat
miskin dan kaum tertindas adalah salah satu sebab. Hal ini menjadi wajar bahwa
ketika mahasiswa melakukan demonstrasi, rakyat seolah tidak terwakili, bahkan
ada sebagian rakyat yang justru mengecam aksi mahasiswa tersebut.
Reorientasi Gerakan
Kasus yang menimpa Ketua BEM UNJ
seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi segenap aktivis mahasiswa untuk
intropeksi diri apakah sejatinya gerakan yang dilakukan merupakan murni gerakan
moral yang dijiwai dengan nilai kecendekiawanan (intelektualitas) atau justru
sekedar gerakan politis yang kosong makna. Selanjutnya baru kemudian menentukan
bentuk gerakan yang relevan sesuai zaman saat ini. Ada yang mengatakan era saat
ini merupakan zaman postmodernisme dimana wujud gerakan bisa bermacam-macam,
tidak melulu demonstrasi turun ke jalan. Saya kira fikiran itu lumrah selama
tetap dalam bingkai kekuatan moral yang menjadi senjata mahasiswa dalam
melangkah.
Gerakan mahasiswa memang harus
disesuaikan dengan zamannya. Justru keliru jika mahasiswa saat ini seringkali
mengagung-agungkan kejayaan mahasiswa di masa lalu lantas meniru model gerakannya
di masa sekarang. Mahasiswa terlebih aktivis mahasiswa harus mampu menangkap
arah zaman sehingga diakui kehadirannya oleh masyarakat luas. Jangan sampai
dengan kemudahan arus informasi justru menjadikan para aktivis mahasiswa enggan
untuk berdialektika seputar persoalan bangsa. Nilai intelektualitas para
aktivis menjadi tumpul akibat sering berjejaring sosial. Dikhawatirkan Halili
dalam Kompas (12/1/2016) bahwa seringkali bermedia sosial dapat memancing
tumbuhnya watak instan dalam diri mahasiswa. Jika watak instan menjadi perilaku
dari para aktivis mahasiswa, pastaskah mahasiswa disebut seorang resi yang
berjuang atas nama rakyat ?.
0 komentar:
Post a Comment