Suatu ketika saya dekat dengan seorang temen satu angkatan.
Kedekatan saya sangatlah sangat sampai dia saya anggap sebagai saudara dekat
biarpun dia adalah lawan jenis. Kedekatan ini membuat saya susah menolak
permintaannya. Bukti kedekatan saya dengannya adalah tiada hari tanpa kirim SMS.
Bukannya satu SMS yang masuk ke inbox HP saya, melainkan lebih dari 5 SMS jika
dirata-rata setiap harinya.
Suatu ketika saya dapat kenalan baru dengan seorang lawan
jenis juga. Dia dua tahun lebih muda dari pada saya. Saat melihat pertama kali
wajah dia, entah mengapa keluar energi yang lebih untuk melakukan pekerjaan
dimana saya geluti. Apalagi ketika menyaksikan dia tersenyum. Dia memang sangat
pemalu dan sangat keibuan. Dia bukanlah sosok perempuan pada umumnya yang bisa
bergaul dengan siapa saja dan sampai kapan saja. Dia punya batas-batas waktu.
Biasanya maghrib, dia harus sudah pulang. Saatnya orangtuanya menjemput.
Saya yang terbiasa bercanda dengan kawan dekat saya,
gerak-gerik saya memperlihatkan ketertarikan saya dengan perempuan yang dua
tahun lebih muda dari saya itu. Namun, bercandanya saya itu hari demi hari
terimplikasi dengan kerinduan saya atas perjumpaan kembali dengan dia. Kekangenan
saya untuk berinteraksi, biarpun sekedar bercanda dan bercerita ngalor-ngidul.
Seumur hidup, saya belum pernah punya pacar seperti anak
muda pada umumnya. Temen deket saya seangkatan memaksa saya untuk “menembak”
perempuan yang dua tahun lebih muda dari saya tersebut. Ini adalah pengalaman pertama saya selama hidup. Saya
pun enggan pada awalnya, namun kemudian saya luluh dan mengikuti perintahnya. Saat
itu saya habis pulih dari sakit gejala hepatitis ringan dan tepat saat habis
sholat maghrib. Melalui Blackberry
Messanger saya kirim pesan ke perempuan muda tersebut. Inti dari pesan itu
adalah bahwa saya suka dia dan saya menanyakan dia suka pada saya atau tidak.
Dia pun menjawab dengan jawaban yang relatif cepat, mata saya segera saya buka
setelah beberapa saat saya pejamkan. “Maaf kak, saya lagi ingin fokus belajar
dulu”, jawabnya. Isyarat menerima/tidak belumlah jelas. saya segera mengkopi
jawaban perempuan muda tadi kemudian mengirimnya ke temen deket yang saya anggap
saudara saya sendiri itu. Balasan dia dengan spontannya “cari yang lain saja”.
Kurang lebih jawabannya demikian.
Paksaan Atau memang Cinta ?
Pertanyaan ini memang relatif susah untuk dijawab. Upaya “menembak”
tadi memang tidaklah sesuai dengan hati nurani yang paling dalam. Ini lebih
banyak dipengaruhi oleh paksaan teman dekat saya. Sebenarnya saya punya
strategi yang lebih apik untuk selanjutnya mengungkapkan perasaan di waktu yang
tepat. Begitu kiranya.
Namun, saya melihat perempuan tersebut dari beberapa hal. Pertama, dia seagama dengan saya biarpun
terlihat dari penampilannya ia bukanlah sosok aktivis masjid. Ia juga bukanlah
sosok perempuan yang fasih baca al-qur’an atau melakukan ibadah sunnah yang
dianjurkan agama. Namun, sifat mau untuk belajar tersirat dari wajahnya. Saya sangat
yakin jika ada yang mengarahkan dia pastinya dia jauh melampui ekspektasi saya.
Kedua, sorotan matanya dan
gerak-gerik tubuhnya menunjukkan sosok pekerja keras. Saya menduga dia bukanlah
sosok papan atas di kelasnya saat ini, namun ia sangatlah mampu untuk berjuang
hingga titik akhir. Masalah dia cuma satu “motivasi”. Dia akan melesat jauh,
saya yakin demikian, dia selalu punya perasaan bahwa dia tertinggal dan
tertinggal, maka harus mengejar. Tinggal di stimulus motivasinya itu solusi
menurut saya. Ketiga, ia merupakan
pribadi yang penurut. Ia tidak akan banyak berdebat tentang hal yang tidak
perlu. Ia tipikal orang yang setia. Keempat,
kebangkitan motivasi ketika melihat senyum malunya. Pekerjaan berat yang
sukar akan penemuan solusi cukup terobati dengan melihat senyum wajahnya. Mungkin
itu yang bisa saya gambarkan dari dia, ini murni subjektif saya.
Saya Mendambakan Sosok Seperti Ini
Merajut hubungan percintaan antara dua insan tidak melulu
seputar fisik namun jauh lebih besar dari itu yaitu untuk mewujudkan keluarga
yang sakinah yang menjadi teladan bagi masyarakat. Keluarga dibingkai atas nama
cinta abadi, dalam bahasa BJ habibie disebut “manunggal”, kekal abadi.
Seorang pujaan hati turut serta merasakan pahit getir
kehidupan. Ia memberikan suntikan semangat ketika sang lelaki jatuh. Susah
senangnya hidup dibagi berdua.
Suatu ketika, saat saya jatuh depresi, pujaan hati
menenangkan dengan senyuman manisnya. Ketika saya stress, ia pun membacakan
ayat suci. Setiap senin dan kamis saya berdua jalankan puasa bersama-sama. Visi
besar untuk membangun bangsa dan negera divisualisasikan bersama. Saya berdua
saling mengisi kekurangan dan kelebihan.
Visi berdua jauh lebih besar dari sekedar mencari
kebahagiaan keluarga. Visi saya berdua
yaitu membahagiakan orang lain tentunya dengan karya nyata.
What’s next ?
Dalam kamus hidup saya, saya tidak mengenal “pacar” seperti
orang-orang muda pada umumnya. Bagi saya perempuan yang saya sukai, tujuan
akhirnya adalah pelaminan yakni membentuk keluarga yang utuh dan “manunggal”.
Sunken Court, 23:42 PM
0 komentar:
Post a Comment