Senin
(4/1/2016) saya bersama kakak saya mengunjungi rumah HOS Cokroaminoto di Jalan
Peneleh Gang VII. Dengan dibantu tukang becak
yang mengantarkan kami dari Pasar Turi ke lokasi serta setelah bertanya-tanya dengan warga setempat. Setibanya
di lokasi, saya mengamati rumah berwarna hijau kebiru-biruan, konon itu rumahnya HOS Cokroaminoto (Pak
Cokro). Di zaman Pak Cokro, rumah ini dijadikan kos-kosan
dimana penghuninya saat itu adalah anak-anak muda yang kelak menjadi tokoh pergerakan nasional dengan corak ideologi yang berbeda-beda; Soekarno dengan nasionalisme, Semaun dengan
komunisme, dan Kartosoewirjo dengan Islam.
Rumah ini terlihat belum lama dipugar, terlihat dari cat rumah ini yang bisa
digolongkan baru. Kami bertemu dengan tetangga rumah, seorang Ibu paruh baya.
Beliau memberi tahu kami bahwa pengunjung diizinkan masuk ke lokasi dengan
meminta izin dari ketua RT. Beliau mengantarkan kami ke rumah ketua RT dan kami
bertemu Ibu RT. Ketua RT setempat, Pak Eko namanya, kebetulan sedang bekerja.
![]() |
Rumah HOS Cokroaminoto tampak depan (dok. pribadi) |
Diantar Bu
RT, Bu Ana namanya, kami mengunjungi rumah hijau ini. Rumah Pak RT tak jauh
dengan lokasi ini. Kami berjalan kurang dari lima menit. Di sepanjang gang ini
banyak didapati bangunan tua peninggalan Belanda. Rumah-rumah di sekitar lokasi
bisa dikatakan kecil dan di gang ini tidak saya dapati mobil satupun. Di tengah
perjalanan, saya bertanya kepada Bu Ana tentang dua kuburan tak jauh dari rumah
Pak Cokro. Beliau katakan, " Itu kuburan sesepuh kampung". Di
sepanjang jalan kami bercakap-cakap dengan Ibu asal Malang ini.
Suasana
Rumah
Rumah HOS
Cokroaminoto yang juga merupakan rumah indekost Bung Karno saat SMA di Surabaya
tidak luas. Menurut cerita toko buku depan rumah HOS Cokro, warga setempat
mengenal rumah ini belum lama setelah Megawati menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia. Sebelumnya, saat Megawati menduduki RI 1,
rumah ini dikenal sebagai rumah Bung Karno. Pada masa itu sekitaran Gang
Paneleh VII dipugar oleh kader PDIP. Tiba-tiba aja tak lama setelah itu, sudah
ada plang pengumuman bertuliskan Rumah HOS Cokroaminoto di depan rumah.
Jauh sebelum
itu, rumah ini pernah didiami oleh Polisi. Kemudian
sang Polisi ini pergi entah kemana dan kunci rumah dititipkan oleh seorang
tetangga tepat di depan rumah ini, Bu Narjo namanya. Oleh anak angkat Janda ini, rumah tersebut dipakai sebagai kos-kosan sampai rumah ini
dikenal sebagai rumah Bung Karno. Jadi lama sekali rumah ini dipakai sebagai
kos-kosan yang menjadikan warga setempat tidak mencurigai rumah ini sebagai
rumah seorang pahlawan.
![]() |
Di dinding rumah, banyak dijumpai foto berpigura atau tulisan sejarah HOS. Cokro dan penghuni indekost (dok. pribadi) |
Rumah ini
terdiri dari dua kamar. satu kamar ditempati HOS Cokroaminoto dan keluarga, dan
satu kamar luas ukuran sekitar 10 x 4.5 m2 di lantai dua yang ditempati oleh
anak-anak indekost. Adapun kamar mandi sudah tidak asli. Pemkot Surabaya
melalui dinas terkait mengganti kamar mandi lama dengan yang baru.
Bekas-bekasnya hilang sama sekali. Berdasarkan penuturan Bu Ana, kamar mandi
lama berupa batu bata yang tersusun rapi. Seringkali cucu HOS Cokro, Bu Ani
(alm) – istri MS Hidayat (Menteri Perindustrian), mandi di sini saat berkunjung
ke Surabaya. Dinding-dinding dari rumah ini dihiasi oleh foto-foto dan aneka
pigura berisi penjelasan terkait kiprah HOS Cokro maupun Bung Karno namun tidak
lengkap. Mebel-mebel di rumah ini berdasar penuturan Bu Ana sulit dijelaskan
mana yang asli dan replika. Dinding dan langit-langit dari rumah juga telah
diganti dengan yang baru namun menyerupai bentuk asli. Rumah ini sebetulnya
lebih luas dari sekarang. Bagian belakang rumah awalnya merupakan pekarangan
dan dapur namun sekarang dipakai bagunan Sekolah Dasar (SD).
Kamar kosan
Bung Karno berlantai kayu dengan dua kayu membentang tepat di bawah
langit-langit. Bentuknya seperti rumah adat Padang dimana
bagian langit-langit ke atap berbentuk prisma segitiga. Kamar ini relatif gelap
dengan ventilasi hanya lubang berbentuk garis sebanyak lima buah. Garis
ventilasi sebelah barat relatif lebih panjang dibandingkan dengan sebelah
timur. Di sini tidak didapati satupun dipan, meja, dan sebagainya. Berdasarkan
penuturan Bu Ana, memang kamar kostan Bung Karno pada saat itu campur dengan
anak kostan lainnya. Bisa dikatakan mereka tidur tidak berkasur. Sementara itu
ruang kamar HOS Cokro jauh lebih kecil dibandingkan kamar yang dikostkan.
Ukurannya sekitar sepertiganya. Di kamar ini ada pajangan logo PSII tepat di
atas tulisan "Allah" dan "Muhammad" dalam tulisan bahasa
Arab. Kamar ini terletak di belakang ruang tamu. Sedangkan di depan kamar HOS
Cokro ada perkakas-perkakas seperti meja kursi dan sebagainya. Menurut
penuturan Bu Ana, ada dua kursi hibah dari ayahnya Maya (mantan istri Ahmad
Dani, cucu Pak Cokro). Ayah Maya sendiri merupakan mantan Rektor
ITS.
Di ruang
tamu tersedia kursi tamu dan juga gambaran umum tentang HOS Cokro yang diambil
dari pamflet majalah Tempo. Berdasarkan cerita dari Bu Ana, silsilah HOS Cokro
belum didapatkan sampai sekarang. Seringkali Pak Eko ditanya mahasiswa terkait
hal ini, namun beliau belum mampu menjawabnya. Buku-buku yang menceritakan HOS
Cokro jauh lebih sedikit dibandingkan tentang Soekarno. Karena hal inilah
gambaran tentang sosok Bung Karno jauh lebih lengkap dibandingkan dengan
gurunya, HOS Cokroaminoto.
Antara HOS
Cokro, Kyai Dahlan, dan Bung Karno
Setelah
mengeksplorasi rumah Pak Cokro, kami mengunjungi toko tak
jauh dari rumah ijo ini. Toko ini termasuk tua yang berdasarkan penuturan Bu
Ana, saat zaman HOS Cokro, toko ini adalah perpustakaan. Setibanya di toko ini,
kami disambut sama penjaga toko dan pemilik toko, Pak Ashari. Kami berbincang panjang lebar terkait
sejarah toko, kiprah HOS Cokro, dan sejarah masuknya Muhammadiyah ke Surabaya.
Selain menjual buku-buku Muhammadiyah, toko ini berperan sebagai agen
distributor majalah Suara Muhammadiyah (SM) ke daerah-daerah di Jawa Timur
seperti daerah saya Lamongan.
Dalam penuturan Pak Ashari, toko ini awalnya adalah sebuah percetakan.
Kala itu kakeknya, Haji Abdul Latif Zen, sebagai pemilik percetakan yang
mencetak buku-buku. Kakek Pak Ashari diperkirakan seumuran dengan Bung Karno.
Setelah kakek Pak Ashari berkenalan dengan Mas Mansyur, beliau bergabung di
kepengurusan Muhammadiyah Surabaya dan aktif menerbitkan karya-karya Mas
Mansyur seperti khutbah jumat. Muhammadiyah berkembang di Surabaya pada tahun
1926 dimana saat itu persyarikatan yang didirikan oleh Kyai Dahlan ini hanya
memiliki satu amal usaha yaitu Taman Kanak-Kanan (TK) ‘Aisyiyah di Plampitan
Surabaya.
Pak Anshari menceritakan bahwa Pak Cokro memiliki kedekatan dengan Kyai
Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kyai Dahlan beberapa kali berkunjung ke rumah
Raja Jawa Tanpa Mahkota ini. Menurutnya, Kyai Dahlan memiliki peranan membentuk
pemahaman keislaman Bung Karno saat indekost di rumah Pak Cokro.
Film Guru Bangsa Tjokroaminoto
Bu Ana dan Pak Anshari menuturkan bahwa shooting film layar lebar “Guru
Bangsa Tjokroaminoto” tidak diadakan di rumah Pak Cokro di Peneleh gang VII,
melainkan di Jogja. Di sana dibuat replikanya.
Namun biarpun demikian, beberapa aktor seperti Reza Rahardian dan Christine
Hakim mensurvei rumah Pak Cokro di Peneleh terlebih dahulu. Tidak dipilihnya
lokasi rumah Pak Cokro sebagai lokasi shooting karena lokasinya bisa dikatakan sempit
sehingga tidak mampu dijangkau oleh alat-alat shooting.
Semenjak itulah, rumah Pak Cokro semakin ramai dikunjungi.
0 komentar:
Post a Comment