Sunday, January 31, 2016

Cerita dari Peneleh Gang VII

Senin (4/1/2016) saya bersama kakak saya mengunjungi rumah HOS Cokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII. Dengan dibantu tukang becak yang mengantarkan kami dari Pasar Turi ke lokasi serta setelah bertanya-tanya dengan warga setempat. Setibanya di lokasi, saya mengamati rumah berwarna hijau kebiru-biruan, konon itu rumahnya HOS Cokroaminoto (Pak Cokro). Di zaman Pak Cokro, rumah ini dijadikan kos-kosan dimana penghuninya saat itu adalah anak-anak muda yang kelak menjadi tokoh pergerakan nasional dengan corak ideologi yang berbeda-beda; Soekarno dengan nasionalisme, Semaun dengan komunisme, dan Kartosoewirjo dengan Islam. Rumah ini terlihat belum lama dipugar, terlihat dari cat rumah ini yang bisa digolongkan baru. Kami bertemu dengan tetangga rumah, seorang Ibu paruh baya. Beliau memberi tahu kami bahwa pengunjung diizinkan masuk ke lokasi dengan meminta izin dari ketua RT. Beliau mengantarkan kami ke rumah ketua RT dan kami bertemu Ibu RT. Ketua RT setempat, Pak Eko namanya, kebetulan sedang bekerja.
Rumah HOS Cokroaminoto tampak depan (dok. pribadi)
Diantar Bu RT, Bu Ana namanya, kami mengunjungi rumah hijau ini. Rumah Pak RT tak jauh dengan lokasi ini. Kami berjalan kurang dari lima menit. Di sepanjang gang ini banyak didapati bangunan tua peninggalan Belanda. Rumah-rumah di sekitar lokasi bisa dikatakan kecil dan di gang ini tidak saya dapati mobil satupun. Di tengah perjalanan, saya bertanya kepada Bu Ana tentang dua kuburan tak jauh dari rumah Pak Cokro. Beliau katakan, " Itu kuburan sesepuh kampung". Di sepanjang jalan kami bercakap-cakap dengan Ibu asal Malang ini.

Suasana Rumah

Rumah HOS Cokroaminoto yang juga merupakan rumah indekost Bung Karno saat SMA di Surabaya tidak luas. Menurut cerita toko buku depan rumah HOS Cokro, warga setempat mengenal rumah ini belum lama setelah Megawati menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebelumnya, saat Megawati menduduki RI 1, rumah ini dikenal sebagai rumah Bung Karno. Pada masa itu sekitaran Gang Paneleh VII dipugar oleh kader PDIP. Tiba-tiba aja tak lama setelah itu, sudah ada plang pengumuman bertuliskan Rumah HOS Cokroaminoto di depan rumah.
 
Ruang tamu di bagian dalam rumah (dok. pribadi)
Jauh sebelum itu, rumah ini pernah didiami oleh Polisi. Kemudian sang Polisi ini pergi entah kemana dan kunci rumah dititipkan oleh seorang tetangga tepat di depan rumah ini, Bu Narjo namanya. Oleh anak angkat Janda ini, rumah tersebut dipakai sebagai kos-kosan sampai rumah ini dikenal sebagai rumah Bung Karno. Jadi lama sekali rumah ini dipakai sebagai kos-kosan yang menjadikan warga setempat tidak mencurigai rumah ini sebagai rumah seorang pahlawan.
 
Di dinding rumah, banyak dijumpai foto berpigura atau tulisan sejarah
HOS. Cokro dan penghuni indekost (dok. pribadi)
Rumah ini terdiri dari dua kamar. satu kamar ditempati HOS Cokroaminoto dan keluarga, dan satu kamar luas ukuran sekitar 10 x 4.5 m2 di lantai dua yang ditempati oleh anak-anak indekost. Adapun kamar mandi sudah tidak asli. Pemkot Surabaya melalui dinas terkait mengganti kamar mandi lama dengan yang baru. Bekas-bekasnya hilang sama sekali. Berdasarkan penuturan Bu Ana, kamar mandi lama berupa batu bata yang tersusun rapi. Seringkali cucu HOS Cokro, Bu Ani (alm) – istri MS Hidayat (Menteri Perindustrian), mandi di sini saat berkunjung ke Surabaya. Dinding-dinding dari rumah ini dihiasi oleh foto-foto dan aneka pigura berisi penjelasan terkait kiprah HOS Cokro maupun Bung Karno namun tidak lengkap. Mebel-mebel di rumah ini berdasar penuturan Bu Ana sulit dijelaskan mana yang asli dan replika. Dinding dan langit-langit dari rumah juga telah diganti dengan yang baru namun menyerupai bentuk asli. Rumah ini sebetulnya lebih luas dari sekarang. Bagian belakang rumah awalnya merupakan pekarangan dan dapur namun sekarang dipakai bagunan Sekolah Dasar (SD).
 
Perkakas di dalam kamar HOS Cokro (dok. pribadi)
Kamar kosan Bung Karno berlantai kayu dengan dua kayu membentang tepat di bawah langit-langit. Bentuknya seperti rumah adat Padang dimana bagian langit-langit ke atap berbentuk prisma segitiga. Kamar ini relatif gelap dengan ventilasi hanya lubang berbentuk garis sebanyak lima buah. Garis ventilasi sebelah barat relatif lebih panjang dibandingkan dengan sebelah timur. Di sini tidak didapati satupun dipan, meja, dan sebagainya. Berdasarkan penuturan Bu Ana, memang kamar kostan Bung Karno pada saat itu campur dengan anak kostan lainnya. Bisa dikatakan mereka tidur tidak berkasur. Sementara itu ruang kamar HOS Cokro jauh lebih kecil dibandingkan kamar yang dikostkan. Ukurannya sekitar sepertiganya. Di kamar ini ada pajangan logo PSII tepat di atas tulisan "Allah" dan "Muhammad" dalam tulisan bahasa Arab. Kamar ini terletak di belakang ruang tamu. Sedangkan di depan kamar HOS Cokro ada perkakas-perkakas seperti meja kursi dan sebagainya. Menurut penuturan Bu Ana, ada dua kursi hibah dari ayahnya Maya (mantan istri Ahmad Dani, cucu Pak Cokro). Ayah Maya sendiri merupakan mantan Rektor ITS.
 
Kamar indekost Bung Karno dan lainnya (dok. pribadi)
Di ruang tamu tersedia kursi tamu dan juga gambaran umum tentang HOS Cokro yang diambil dari pamflet majalah Tempo. Berdasarkan cerita dari Bu Ana, silsilah HOS Cokro belum didapatkan sampai sekarang. Seringkali Pak Eko ditanya mahasiswa terkait hal ini, namun beliau belum mampu menjawabnya. Buku-buku yang menceritakan HOS Cokro jauh lebih sedikit dibandingkan tentang Soekarno. Karena hal inilah gambaran tentang sosok Bung Karno jauh lebih lengkap dibandingkan dengan gurunya, HOS Cokroaminoto.
 
Ruang tengah rumah HOS Cokro (dok. pribadi)
Antara HOS Cokro, Kyai Dahlan, dan Bung Karno

Setelah mengeksplorasi rumah Pak Cokro, kami mengunjungi toko tak jauh dari rumah ijo ini. Toko ini termasuk tua yang berdasarkan penuturan Bu Ana, saat zaman HOS Cokro, toko ini adalah perpustakaan. Setibanya di toko ini, kami disambut sama penjaga toko dan pemilik toko, Pak Ashari. Kami berbincang panjang lebar terkait sejarah toko, kiprah HOS Cokro, dan sejarah masuknya Muhammadiyah ke Surabaya. Selain menjual buku-buku Muhammadiyah, toko ini berperan sebagai agen distributor majalah Suara Muhammadiyah (SM) ke daerah-daerah di Jawa Timur seperti daerah saya Lamongan.
 
Toko "Muhammadiyah" tak jauh dari rumah HOS Cokro (dok. pribadi)
Dalam penuturan Pak Ashari, toko ini awalnya adalah sebuah percetakan. Kala itu kakeknya, Haji Abdul Latif Zen, sebagai pemilik percetakan yang mencetak buku-buku. Kakek Pak Ashari diperkirakan seumuran dengan Bung Karno. Setelah kakek Pak Ashari berkenalan dengan Mas Mansyur, beliau bergabung di kepengurusan Muhammadiyah Surabaya dan aktif menerbitkan karya-karya Mas Mansyur seperti khutbah jumat. Muhammadiyah berkembang di Surabaya pada tahun 1926 dimana saat itu persyarikatan yang didirikan oleh Kyai Dahlan ini hanya memiliki satu amal usaha yaitu Taman Kanak-Kanan (TK) ‘Aisyiyah di Plampitan Surabaya.
 
Pemilik toko Pak Ashari (kiri) dan karyawan toko (kanan) (dok. pribadi)
Pak Anshari menceritakan bahwa Pak Cokro memiliki kedekatan dengan Kyai Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kyai Dahlan beberapa kali berkunjung ke rumah Raja Jawa Tanpa Mahkota ini. Menurutnya, Kyai Dahlan memiliki peranan membentuk pemahaman keislaman Bung Karno saat indekost di rumah Pak Cokro.

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto

Bu Ana dan Pak Anshari menuturkan bahwa shooting film layar lebar “Guru Bangsa Tjokroaminoto” tidak diadakan di rumah Pak Cokro di Peneleh gang VII, melainkan di Jogja. Di sana dibuat replikanya.  Namun biarpun demikian, beberapa aktor seperti Reza Rahardian dan Christine Hakim mensurvei rumah Pak Cokro di Peneleh terlebih dahulu. Tidak dipilihnya lokasi rumah Pak Cokro sebagai lokasi shooting karena lokasinya bisa dikatakan sempit sehingga tidak mampu dijangkau oleh alat-alat shooting.

Semenjak itulah, rumah Pak Cokro semakin ramai dikunjungi. 

0 komentar: