Monday, August 01, 2016

Belajar dari Pak Budi Rahardjo (Bagian 2)

Setelah kemarin saya ceritakan petikan ide dari Pak Budi Rahardjo, kini saya akan sampaikan petikan yang lain. Kan kemarin saya tulis beberapa petikan ? Betul, dua petikan kan bisa dikatakan beberapa petikan kan ? Hi hi hi. Oke, pada tulisan kali ini saya akan ceritakan terkait bagaimana konsepsi entrepreneurial university versi pelaku entrepreneurship yaitu Pak Budi sendiri. Saya dulu pernah sih menulis terkait konsep ini di opini saya yang formal, namun malas ah pake referensi-referensi buku kayak gitu. Mengapa ? karena subjek penelitian di buku yang saya baca itu Barat, beda pisan ama ITB. Hehe

Pak Budi ini unik, beliau bukannya sering bicara bahwa menjadi startup itu asik dan bla bla bla, namun beliau ini justru ceritakan panjang lebar tentang kendala yang dihadapi seorang startup. Itupun ditambah dengan “Bisa jadi yang akan Anda rasakan beda dengan yang saya rasakan”. Nah ini kan menegangkan juga menakutkan betul. Ya, Pak Budi pengen ceritakan apa adanya, tidak melebih-lebihkan bahwa profesi bisnis startup ini lebih mulia dan berkasta lebih tinggi dibandingkan yang lain. Tidak kayak gitu. Jika diperas lagi, beliau pengen ceritakan betul bahwa entrepreneurship adalah mental. Tidak ada rumus khusus untuk mempelajarinya (jadi inget Artificial Intelligence yang katanya rumusnya tidak sesaklek kriptografi, hehe).

Oke kembali ke topik pembahasan. Pak Aca (nama panggilan rektor kita semua, Pak Kadarsah Suryadi), di proses kampanye menjelang Pemilihan Rektor beberapa waktu lalu mengenalkan konsep Entrepreneurial University. Intinya sih gini, ITB ingin mencetak buanyuaaaaakkkkk sekali pengusaha muda. Nah, tapi kumaha ieu ? Ini yang sulit kita saksikan hari ini hasilnya. Padahal Pak Aca kan udah hampir 2 tahun menjadi rektor (cek ya barangkali saya salah). Lantas Pak Aca kita salahkan begitu saya ? Jangan buru-buru gitu, saya bukan Jonru/tipikal pengamat politik. Intinya ITB itu kompleks bahkan lebih kompleks dari bilangan kompleks. Di dalamnya banyak sekali orang-orang dengan keminatan yang bueesar di bidang tertentu. Saya pernah menemukan dosen saya baru pulang pagi hari dari kantornya, ini kan jelas bahwa beliau ini tidur di kantornya. Nah, ini satu indikasi bahwa orang-orang ITB umumnya punya determinasi yang tinggi di bidang keilmuan.

Kembali ke topik pembahasan (2). Banyak pelaku bisnis yang juga akademisi (saya ambil sampel dosen tesis dan Pak Budi doang, heu) yang katakan bahwa setiap kita mendengar ungkapan Entrepreneurial University pasti langsung menyebut Stanford University. Betul, kampus inilah yang berada dibalik berdirinya Silicon Valley, yang melahirkan aneka bisnis di bidang IT seperti Google dan Facebook itu. Konon iklim berbisnis startup di sangat di dorong. Sebagai contoh di sana ada data terkait berapa banyak alumni Stanford yang berkiprah di dunia bisnis (di ITB kan ada tracer study, iya sih tapi masih g sedetail mereka). Iklim yang lebih riil di kampus itu saya belum tahu. Mungkin akan dibahas di lain kesempatan (underline kata ‘mungkin’ ya). Nah, kembali ke ITB. Niat Pak Aca sih baik dan saya yakin beliau mengenal konsep entrepreneurship yang cukup dari jurusannya di Teknik Industri (secara beliau professor di sana). Namun, konsep ini  tidak ujug-ujug bisa terlaksana dengan hadirnya Pak Aca dengan idenya tentang Entrepreneurial University. Konsep ini jika akan dilaksanakan kompleks sekali. Sistem pendidikan ITB, pola pengajaran, aturan-aturan akademik, dan suasana di kampus ini harus sama sekali berbeda dengan pola-pola sebelumnya. Itu harusnya, realitanya ? ITB tidak banyak berubah. Periode Pak Aca dengan sebelumnya (Pak Loka) sulit bagi kita temukan perbedaannya secara signifikan. Yang ketara dari ITB sekarang ya dorongan kepada dosen-dosen ITB untuk publikasi paper. Nah, inikan sama saja dengan university pada umumnya. Ya, kita masih universitas yang fokusnya ngajar di kelas. Kata Pak Budi, “Jadi ini sebenarnya secara kenyataan teaching university. Jadi akui aja teaching university.


Lantas apa yang perlu dilakukan ITB ? Pendapat saya tanggalkan konsep Entrepreneurial University yang masih imajinatif ini. Kita fokus pada rakyat ITB (dosen dan mahasiswa, karyawan gimana ? Itu beda konteks yak). Kita kan sama-sama tahu bahwa ITB itu kumpulan orang-orang yang bergairah dan berhasrat menjadi orang top di bidang tertentu. Nggak cuma dosen saja, mahasiswa juga (mudah kita dapati mahasiswa S1 yang balapan IPK-nya, hehe). Nah itu bagaimana mereka semua itu difasilitasi dan diklaim sebagai bagian dari keunggulan ITB. ITB kudunya tidak membiarkan mereka hidup dengan dunia mereka sendiri, tapi diemong. Sebagai contohnya Pak Budi. Beliau aktif mementor mahasiswa di bidang startup dan juga memiliki beberapa perusahaan di bidang IT. ITB dapat mengklaim kegiatan Pak Budi ini sebagai bagian dari program kerja ITB mendorong mahasiswanya untuk berwirausaha. Nanti ITB bisa gembar-gembor ke publik bahwa ITB berjasa untuk menciptakan pengusaha-pengusaha Indonesia. Pak Budi mengakui sendiri sangat boleh ITB melakukan ini justru beliau pengen ITB bersikap demikian. Ini cara Stanford bisa dicontoh (ITB kan kiblatnya MIT ? Iya gitu, he he).

Langkah kedua adalah ITB membebaskan dan men-support betul mahasiswa untuk berwirausaha selama studi. Pak Budi bercerita bahwa di kampus Luar Negeri sana (Stanford dan Berkeley) mahasiswa diizinkan cuti selama satu semester untuk fokus dalam kegiatan bisnis startup. Masa cuti ini tidak dimasukkan dalam masa studi normal. Sebelum cuti, mahasiswa ini harus menghadap tim reviewer dari kampus untuk ditanyai kelayakan bisnisnya. Jika oke, go !, jika tidak, Balik studi ya !. Nah, dalam prosesnya selama satu semester sang mahasiswa ini gagal, dan dia pengen balik ke kampus, kampus mengizinkan, tidak di-DO. Selain dua langkah ini, langkah lain adalah kampus kudu dinamis dengan pola/ritme kerja yang sama-sekali berbeda baik dari pimpinan kampus, dosen, mahasiswa, karyawan, dan lain sebagainya. Dinamisasi ini di-support betul. Sebagai contoh adalah ditiadakannya jam malam. ITB terbuka 24 jam bagi segenap civitas akademika yang ingin beraktivitas di dalamnya. Tidak kayak sekarang, jam 23.00 WIB mahasiswa yang nongkrong di unit diusir begitu saja. ITB mendorong kreativitas mahasiwa dengan diberikan kemudahan izin beraktivitas, akses pada stakeholders, dan sebagainya. Keluarannya tidak dengan menang di berbagai perlombaan bisnis lo, tapi alumni-alumni ITB siap berbisnis khususnya di bidang keilmuan yang digelutinya.

Oke itu aja dulu yak, ditunggu komentar-komentarnya. Semoga kita tetap semangat J
Pak Budi Rahardjo (2)

0 komentar: